4. Masa Kerasulan di era Madinah
Peletakan Dasar-Dasar Negara Madinah
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Mekah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad mempunya ikedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaanduniawi. Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis merupakan kepala negara.
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, beliau saw segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat.
Dasar pertama, pembangunan mesjid, selain untuk tempat salat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Mesjid pada masa Nabi bahkan juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Dasar kedua, adalah ukhuwwah islamiyyah, persaudaraan sesama muslim. Nabi mempersaudarakan Antara golongan Muhajirin, orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah, dan Anshar, penduduk Madinah yangsudah masuk Islam dan ikut membantu kaum muhajirin tersebut. Dengan demikian, diharapkan, setiap muslim merasa terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Apa yangdilakukan Rasulullah ini berarti menciptakan suatu bentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orangArab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar.
Dalam perjanjian itu jelas disebutkan bahwa Rasulullah menjadi kepala pemerintahan karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada beliau. Dalam bidang sosial, dia juga meletakkan dasar persamaan antar sesama manusia. Perjanjian ini, dalam pandangan ketatanegaraan sekarang, sering disebut dengan Konstitusi Madinah.
Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekah dan musuh-musuh Islam lainnya menjadi risau. Kerisauan ini akan mendorong orang-orang Quraisy berbuat apa saja. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, Nabi, sebagai kepalapemerintahan, Mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Umat Islam diizinkan berperang dengan dua alasan:
(l ) untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya, dan
(2) menjaga keselamatan dalampenyebarankepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalang-halanginya.
Dalam sejarah negara Madinah ini memang banyak terjadi peperangan sebagai upaya kaum muslimin mempertahankan diri dari serangan musuh. Nabi sendiri, di awal pemerintahannya, mengadakan beberapa ekspedisi ke luar kota sebagai aksi siaga melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian damai dengan berbagai kabilah di sekitar Madinah juga diadakandengan maksud memperkuat kedudukan Madinah.
Perang Badar
Perang pertama yang sangat menentukan masa depan negara Islam ini adalah Perang Badar, perang antara kaum muslimin dengan musyrik Quraisy. Pada tanggal 8 Ramadhan tahun 2 Hijriah, Nabi bersama 305 orang muslim bergerak keluar kota membawa perlengkapan yang sederhana. Di daerah Badar, kurang lebih 120 kilometer dari Madinah, pasukan Nabi bertemu dengan pasukan Quraisy yang berjumlah sekitar 900 sampai 1000 orang.
Nabi sendiri yang memegang komando. Dalam perang ini kaum muslimin keluar sebagai pemenang. Namun, orang-orang Yahudi Madinah tidak senang. Mereka memang tidak sepenuh hati rnenerima perjanjian yang telah dibuat antara mereka dengan Nabi.
Tidak lama setelah perang tersebut, Nabi menandatangani Sebuah piagam perjanjian dengan beberapa suku Badui yang kuat. Suku Badui ini ingin sekali menjalin hubungan dengan Nabi setelah melihat kekuatan Nabi semakin meningkat.
Setelah perang Badar, Nabi juga menyerang suku Yahudi Madinah, Qainuqa, yang berkomplot dengan orang-orang Mekah. Orang-Orang Yahudi ini akhirnya memilih meninggalkan Madinah dan pergi menuju Adhri’at di perbatasan Syria.
Perang Uhud
Bagi kaum Quraisy Mekah, kekalahan mereka dalam perang Badar merupakan pukulan berat. Mereka bersumpah akan membalas dendam. Pada tahun 3 H, mereka berangkat menuju Madinah membawa tidak kurang dari 3000 pasukan berkendaraan unta, 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid ibn Walid, 700 orang di antara mereka memakai baju besi.
Nabi Muhammad menyongsong kedatangan mereka dengan pasukan sekitar 1000 (seribu) orang. Namun, baru saja melewati batas kota, Abdullah ibn Ubay, seorang munafik dengan 300 orang Yahudi membelot dan kembali ke Madinah.Mereka melanggar perjanjian dan disiplin perang.
Meskipun demikian, dengan 700 pasukan yang tertinggal Nabi melanjutkan perjalanan. Beberapa kilometer dari kota Madinah, tepatnya di bukit Uhud, kedua pasukanbertemu. Perang dahsyat pun berkobar. Pertama-tama, prajurit-prajurit Islam dapat memukul mundur tentaramusuh yang lebih besar itu. Pasukan berkuda yang dipimpin oleh Khalid ibn Walid gagal menembus benteng pasukan pemanah Islam. Dengan disiplin yang tinggi dan strategi perang yang jitu, pasukan yang lebih kecil itu ternyata mampu mengalahkan pasukan yang lebihbesar.
Kemenangan yang sudah diambang pintu ini tiba-tiba gagal karena godaan harta peninggalan musuh. Prajurit Islam mulai memungut harta rampasan perang tanpa menghiraukan gerakan musuh, termasuk didalamnya anggota pasukan pemanah yang telah diperingatkan Nabi agar tidak meninggalkan posnya.
Kelengahan kaum muslimin ini dimanfaatkan dengan baik oleh musuh. Khalid bin Walid berhasil melumpuhkan pasukan pemanah Islam, dan pasukan Quraisy yang tadinya sudah kabur berbalik menyerang. Pasukan Islam menjadi porak poranda dan tak mampu menangkis serangan tersebut. Satu persatu pahlawan Islam gugur, bahkan Nabi sendiri terkena serangan musuh. Perang ini berakhir dengan70 orang pejuang Islam syahid di medan laga.
Pengkhianatan Abdullah ibn Ubay dan pasukan Yahudi diganjar dengan tindakan tegas. Bani Nadir, satu dari dua suku Yahudi di Madinah yang berkomplot dengan Abdullah ibn
Ubay, diusir ke luar kota. Kebanyakan mereka mengungsi ke Khaibar. Sedangkan suku Yahudi lainnya, yaitu Bani Quraizah, Masih tetap di Madinah.
Perang Khandaq (Ahzab)
Masyarakat Yahudi yang mengungsi ke Khaibar itu kemudian mengadakan kontak dengan masyarakat Mekah untuk menyusun kekuatan bersama guna menyerang Madinah. Mereka membentuk pasukan gabungan yang terdiri dari 24.000 orang tentara. Didalamnya juga bergabung beberapa suku Arab lain. Mereka bergerak menuju Madinah pada tahun 5 H.
Atas usul Salman al-Farisi, Nabi memerintahkan umat Islam menggali parit untuk pertahanan.Setelah tentara sekutu tiba, mereka tertahan oleh parit itu. Namun, mereka mengepung Madinah dengan rnendirikan kemah-kemah di luar parit hampir sebulan lamanya.
Perang ini disebut perang Ahzab (sekutu beberapa suku) atau perang Khandaq (parit). Dalam suasana kritis itu, orang-orang Yahudi Bani Quraizahdi bawah pimpinan Ka’ab bin Asad berkhianat. Hal ini membuat umat Islam makin terjepit.
Setelah sebulan pengepungan, angin dan badai turun amat kencang, menghantam dan menerbangkan kemah-kemah dan seluruh perlengkapan tentara sekutu. Mereka terpaksa menghentikan pengepungan dan kembali ke negeri masing-masing tanpa hasil apa pun. Sementara itu, pengkhianat-pengkhianat Yahudi Bani Quraizah dijatuhi hukuman berat, hukuman mati.
Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, Nabi memimpin sekitar seribu kaum muslimin berangkat ke Mekah, bukan untuk berperang, melainkan untuk melakukan ibadah Umrah. Karena itu, mereka mengenaka npakaian ihram tanpa membawa renjata. Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah, beberapa kilometer dari Makkah.
Penduduk Mekah tidak mengizinkan mereka masuk kota. Akhirnya, diadakan perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah yang isinya antara lain:
(1) kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah tahun ini tetapi ditangguhkan sampai tahun depan,
(2) lama kunjungan dibatasi sampai tiga hari saja
(3) kaum muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah, sedang sebaliknya pihak Quraisy membolehkan orang-orang Madinah yang kembali ke Mekah,
(4) selama sepuluh tahun diberlakukan genjatan senjataantara masyarakat Madinah dan
Mekah,dan
(5) tiap Kabilah yang ingin masuk ke dalam persekutuan kaum Quraisy atau kaum muslimin, bebas melakukannya tanpa mendapat rintangan.
Kesediaan orang-orang Mekah untuk berunding dan membuat perjanjian dengan kaum muslimin itu benar-benar merupakan kemenangan diplomatik yang besar bagi umat Islam. Dengan perjanjian ini, harapan untuk mengambil alih Ka’bah dan menguasai Mekah sudah makin terbuka. Nabi memang sudah sejak lama berusaha merebut dan menguasai Mekah agar dapat menyiarkan Islam ke daerah-daerah lain. Ini merupakan
target utama beliau.
Ada dua faktor pokok yang mendorong kebijaksanaan ini:
Pertama, Mekah adalah pusat keagamaan bangsa Arab dan melalui konsolidasi bangsa Arab dalam Islam, Islam bisa tersebar keluar.
Kedua, apabila suku Nabi sendiri dapat diislamkan, Islam akan memperoleh dukungan yang kuat karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar.
Setahun kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai dengan rencana. Banyak orang Quraisy yang masuk Islam setelah menyaksikan kemajuankemajuan yang dicapai oleh masyarakat Islam Madinah.
Tahun Perutusan 1
Genjatan senjata telah memberi kesempatan kepada Nabi untuk menoleh berbagai negeri lain sambil memikirkan bagaimana cara mengislamkan mereka. Salah satu cara yang ditempuh Nabi adalah mengirim utusan dan surat kepada kepala-kepala negara dan pemerintahan. Di antara raja-raja yang dikirimi surat ialah raja Ghassan, Masir, Abesinia, Persia, dan Romawi. Namun, tak seorangpun yang masuk Islam. Ada yang menolak dengan baik dan simpati, tetapi ada juga yang menolak dengan kasar, seperti yang diperlihatkan oleh raja Ghassan. Utusan yang dikirim Nabi dibunuh dengan kejam oleh raja Ghassan.
Perang Mut’ah
Untuk membalas perlakuan ini, Nabi mengirim pasukan perang sebanyak tiga ribu orang. Peperangan terjadi di Mu’tah, sebelah utara lazirah Arab. Pasukan Islam mendapat kesulitan menghadapi tentara Ghassan yang mendapat bantuan dari Romawi. Beberapa pahlawan gugur melawan pasukan berkekuatan ratusan ribu orang itu. Melihat kenyataanyang tidak berimbang ini, Khalid ibn Walid, yang sudah masuk Islam, mengambil alih komando dan memerintahkan pasukan untuk menarik diri dan kembali ke Madinah.
Selama dua tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, dakwah Islam sudah menjangkau seluruh Jazirah Arab dan mendapat tanggapan yang positif. Hampir seluruh Jazirah Arab, termasuk suku-suku yang paling selatan, menggabungkan diri dalam Islam.
Hal ini membuat orang-orang Mekah merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah ternyata menjadi senjata bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya. Oleh karena itu, secara sepihak orang-orang kafir Quraisy membatalkan perjanjian tersebut.
Penaklukan Mekah
Melihat kenyataan ini, Rasulullah segera bertolak ke Mekah dengan sepuluh ribu orang tentara untuk melawan mereka. Nabi Muhammad tidak mengalami kesukaran apa-apa dan memasuki kota Mekah tanpa perlawanan. Beliau tampil sebagai pemenang. Patung-patung berhala di seluruh negeri dihancurkan. Setelah itu, Nabi berkhotbah menjanjikan ampunan Tuhan terhadap kafir Quraisy. Sesudah khotbah disampaikan, mereka datang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Sejak itu, Mekah berada di bawah kekuasaan Nabi.
Perang Hunain
Sekalipun Mekah dapat dikalahkan, masih ada dua suku Arab yang masih menentang, yaitu Bani Tsaqif di Taif dan Bani Hawazin di antara Taif dan Mekah. Kedua suku ini berkomplot membentuk pasukan untuk memerangi Islam. Mereka ingin menuntut bela atas mereka yang diruntuhkan Nabi dan umat Islam di berhala-berhala Ka’bah.
Nabi mengerahkan kira-kira 12.000 tentara menuju Hunain untuk menghadapi mereka. Pasukan ini dipimpin langsung oleh beliau sehingga umat Islam memenangkan pertempuran dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dengan ditaklukkannya Bani Tsaqif dan Bani Hawazin, seluruh Jazirah Arab berada di bawah kepemimpinan Nabi.
Perang Tabuk
Melihat kenyataan ini, Heraklius menyusun pasukan besardi utara Jazirah Arab, Syria, yang merupakan daerah pendudukan Romawi. Dalam pasukan besar itu bergabung Bani Ghassan dan Bani Lachmides.
Untuk menghadapi pasukan Heraklius ini banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri siap berperang bersama Nabi sehingga terhimpun pasukan Islam yang besar pula. Melihat besarnya pasukan Islam yang dipimpin Nabi, tentara Romawi itu menjadi kecut. Akhirnya mereka menarik diri, kembali ke daerahnya. Nabi sendiri tidak melakukan pengejaran, tetapi berkemah di Tabuk.
Di sini beliau membuat beberapa perjanjian dengan penduduk setempat. Dengan demikian, daerah perbatasan itu dapat dirangkul ke dalam barisan Islam. Perang Tabuk merupakan perang terakhir yang diikuti Rasulullah SAW.
Tahun Perutusan 2
Pada tahun 9 dan 10 H (630-632M) banyak suku dari berbagai pelosok Arab mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad menyatakan ketundukan mereka. Masuknya orang Mekah ke dalam agama Islam rupanya mempunyai pengaruh yang amat besar pada penduduk padang pasir yang liar itu. Tahun ini disebut dengan tahun perutusan. Persatuan bangsa Arab telah terwujud; peperangan antar suku yang berlangsung sebelumnya telah berubah menjadi persaudaraan seagama.
Haji Wada’
Dalam kesempatanmenunaikan ibadah haji yang terakhir, haji wada’, tahun 10 H (631 M), Nabi saw menyampaikan khotbahnya yang sangat bersejarah.Isi khotbah itu antara lain:
larangan menumpahkan darah kecuali dengan haq dan larangan mengambil harta orang lain dengan batil, karena nyawa dan harta benda adalah suci;
larangan riba dan larangan menganiaya;
perintah untuk memperlakukan para istri dengan baik dan lemah lembut dan perintah menjauhi dosa;
semua pertengkaran antara mereka di zaman Jahiliyah harus saling dimaafkan;
balas dendam dengan tebusan darah sebagaimana berlaku di zaman Jahiliyah tidak lagi dibenarkan;
persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan; hamba sahaya harus diperlakukan dengan baik, mereka makan seperti apa yang dimakan tuannya dan memakai seperti apa yang dipakai tuannya;
dan yang terpenting adalah bahwa umat Islam harus selalu berpegang kepada dua sumber yang tak pernah usang, Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Isi khotbah ini merupakan prinsip-prinsip yang mendasari gerakan Islam. Selanjutnya, prinsip-prinsip itu bila disimpulkan adalah kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi ,kebajikan dan solidaritas.
Wafatnya Rasulullah saw.
Setelah itu, Nabi saw segera kembali ke Madinah. Beliau mengatur organisasi masyarakat kabilah yang telah memeluk agama Islam. Petugas keagamaan dan para dai dikirim ke berbagai daerah dan kabilah untuk mengajarkan ajaran-ajaran islam, mengatur peradilan,dan memungut zakat.
Dua bulan setelah itu, Nabi saw menderita sakit demam. Tenaganya dengan cepat berkurang .Padahari senin, tanggal 12 Rabi’ul Awal 11 H / 8 Juni 632 M, Rasulullah SAW wafat di rumah istrinya Aisyah ra.
Dari perjalanan sejarah Nabi ini, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW, di samping sebagai pemimpin agama, juga seorang negarawan, pemimpin politik dan administrasi yang cakap. Hanya dalam waktu sebelas tahun menjadi pemimpin politik, beliau berhasil menundukkan seluruh jazirah Arab ke dalam kekuasaannva.
Salallahu ‘ala Muhammad, salallahu ‘alaihi wassalam.
.
Sumber:
Dr. Badri Yatim, MA, “Sejarah Peradaban Islam”, PT RajaGrafindo Persada, 2003, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar