Minggu, 11 September 2011

Imam Syafi’i

Imam Syafi’i (150 – 204 H)

Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. (767 M) di Ghaza, Palestina, dan meninggal dunia pada hari Kamis malam Jum’at tanggal 29 Rajab 204 H (20 Januari 820M) di Pusthat, Mesir.

Para penulis biografi Imarn Syafi’i sepakat mengenai tahun kelahirannya, dan pada tahun itu pula Imam Abu Hanifah wafat di Bagdad. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai tempatnya. Ada tiga nama tempat atau daerah yang disebut-sebut, yaitu Ghazza(h), ‘Asqalan, Yaman. Ghazzah dan ‘Asqalan kebetulan terletak dalam wilayah Palestina. Yaqut dalam bukunya Mu’jam al-Udaba’ menyebut ketiga tempat itu berdasarkan tiga riwayat yang datang dari Imam Syafi’i sendiri, yaitu:

(1) “Wulidtu bi Ghazzah sanata mi’atin wa khamsin . . . “
(2) “Wulidtu bi ‘Asqalan wa ‘Asqalan bi Gllazzaft) ‘ala tsalatsi
farasilh wa kilahuma min Falasthin.”
(3) “Wulidtu bi al-Yaman wa khafat ummi ‘ala al-dhai’ah hamalatni
ilaMakkata ….”.[ Muhyiddin abdissalam Baltaji, Mauqif Imam Syf i, Mesir Mathabi' al-Ahram al-Tijariyah, 1972, hal 12.]

Riwayat yang berbeda-beda itu dapat digabungkan, yaitu beliau dilahirkan di Ghazza lalu dibesarkan di ‘Asqalan di tengah-tengah penduduk yang berasal dari Yaman. Yaqut sendiri setelah mengemukakan ketiga versi riwayat tersebut menegaskan, bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di Ghazza(h), kemudian pindah ke ‘Asqalan sampai usia remaja. [Dr. Ahmad al-Syurbasi, Al-Aimmat al-Arba'ah, terjemahan Staf Penerbit Mutiara, Jakarta 1979, hal. 119]

Bila kita perhatikan memang Yaman cukup jauh di Selatan, sehingga tidak mungkin dia salah sebut. Kenyataan menunjukkan, bahwa di daerah Palestina banyak terdapat orang Yaman, bahkan suku ibunya termasuk suku Yamani.

Syafi’i kecil bemama Muhammad. Lengkapnya: Muhammad bin Idris. Setelah anaknya yang bemama Abdullah lahir, maka beliau dipanggil Abu Abdillah. Silsilah leluhumya bertemu dengan silsilah Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf sebagaimana terlihat pada silsilah berikut: “Abu Abdillah, Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin al-Saib bin’Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf’. [Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah, Kairo: Mathba'ah al-Madani, tt, hal 246]

Abdu Manaf ini mempunyai empat orang puha, yaitu al- Muththalib, Hasyim, Abdu Syams dan Noufal. Kepada al-Muththalib inilah Syafi’i menisbatkan dirinya, dan al-Muththalib ini pula yang mengasuh Abdul Muththalib bin Hasyim, nenek Nabi Muhammad SAW.

Seperti juga ayahnya, maka Imam Syafi’i pun bersuku Quraisy. Hal itu berbeda dengan ibunya, Fathimah binti Abdillah al-Azdiyah yang bersuku Yaman. Sebenamya orang tua Imam Syafi’i itu penduduk Makkah. Tetapi pada suatu ketika mereka pergi ke Ghazza(h) untuk suatu keperluan, lalu mereka tinggal di perkampungan orang-orang asal Yaman, dan meninggal dunia di sana ketika Syafi’i masih bayi.

Hidup dalam keadaan yatim bersama ibunya yang miskin, namun mulia dalam keturunan telah membentuk pribadi Syafi’i menjadi orang yang dekat dengan masyarakat lingkungannya dan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Mungkin keadaan itu pula yang menyebabkannya berfikir tidak terlalu rasional tapi tidak pula terlalu hadisional. Berbeda dengan Abu Hanifah yang hidup serba berkecukupan dalam keluarga saudagar kaya; dan berbeda pula dengan Imam Mdik yang walaupun pada mulanya mengalami hidup miskin tapi akhimya beliau juga hidup berkectd
Imam Syafi’i pun selama berada di Madinah tinggal di rumah Imam Malik secara gratis, bahkan ketika Imam Syafi’i hendak pergi ke Iraq beliau disangoni uang untuk bekal dan biaya perjalanan. [Munawar Khalil op cit, hal. 167]

PENDIDIKAN

Bakat untuk menjadi alim besar oan mujtahid mandiri (mustaqil) xtdahmulai tampak dan tumbuh sejak rnasih kecil. Hal itu dapat dilihat pada ingatan dan hafalannya yang kuat, rninat dan semangat belajamya yang tinggi, ditunjang oleh kerajinan dan ketekunan yang tak kenal lelah. Bukti menunjukkan, bahwa ia sudah hafal serta telah menguasai isi kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia sepuluh tahun. Bahkan ia telah hafal al-Qu/an pada usia tujuh tahun. [Syarbini al-Khatib, Mughny al-Muhtaj, Mesin Musthafa al-Babi al-Halabi, 1985, hal 13]

Ia pemah tinggal di perkampungan Bani Hudzail untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan bahasa dan sasha Arab yang masih mumi dan asli, sehingga ia pun terkenal sebagai penyair yang mempesona pendengamya. Ia hidup bergaul dengan warga kabilah tersebut, mempelajari adat istiadat mereka dan cara hidup mereka sehari-hari. Kemudian ia belajar ilmu fiqh pada seorang alim besar, mufti kota Makkah dan guru besar di Masjidil haram bernama Muslim bin Khalid al-Zanji. Bahkan pada usia 15 tahun ia sudah mendapat kepercayaan dari sang guru untuk memberi fatwa di depan majlis yang banyak dikunjungi oleh ulama-ulama terkenal dari seantero pelosok dunia Islam ketika itu; di samping ia sendiri terus menambah ilmunya.

Di samping itu ia belajar ilmu hadits pada seorang ulama hadits kenamaan, al-Imam Sufyan bin’Uyainah (107 – 198 H). Karena merasa ilmunya masih kurang ditambah pula oleh adanya dorongan para ulama dan guru-gurunya yang berada di kota Makkah maka pergilah ia mengunjungi Imam Malik di Madinah untuk berguru dan bergaul. Di Madinah ia memperdalam ilmu tentang fiqh dan hadits, sehingga ia dikenal itu sebagai murid dan pengikut Imam Malik.

Apabila kita perhatikan riwayat-riwayat yang menceritakan tentang kegiatan dan usaha Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu, kita akan menemukan bermacam versi dan variasi, daq riwayat-riwayat itu bersumber dari beliau sendiri. Kalau riwayat-riwayat itu digabungkan maka akan diperoleh suatu gambaran adanya tahap-tahap yang dilalui oleh Imam Syafi’i.

Tahap-tahap itu adalah sebagai berikut:

Tahap l, masa kanak-kanak. Pada masa ini Syafi’i mulai belajar tulis baca, menghafal al-Qut’an dan beberapa buah hadits dengan cara turut menyimak pengajian yang diberikan oleh para guru di mesjid. Apa yang didengamya lalu dicatat dan dihafal. Karena keadaan ekonomi yang serba kekurangan,maka ia tidak segan-segan memanfaatkan barang-barang bekas seperti tulang,, ternbikar dan kertas-kertas bekas yang tak terpakai lagi sebagai tempat ia mencatat pelajaran sehingga ruangan tempat tidumya sarat dengan barang bekas penuh catatan. Dengan tekun catatan itu dihafalnya di luar kepala. Tidaklah heran bila pada tahap ini ia bersemboyan, bahwa “pengetahuan itu laksana binatang buruan, dan tulisan itulah talinya. Maka oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah suatu keteledoran apabila orang memburu masa lalu ia biarkan rusa itu di tengah orang ramai tanpa ikatan”.

Tahap II, masa remaja. Pada masa inilah ia pergi ke perkampungan kabilah Hudzail unfuk belajar bahasa dan adat istiadat mereka. Sekembalinya dari sana ia mulai pula belajar ilmu fiqh dan hadits serta mendapat kepercayaan memberi fatwa di Masjidilharam.

Tahap III, masa dewasa. Kegiatannya pada masa tahap ketiga ini ditandai dengan kepergiannya ke Madinah mengunjungi Imam Malik. Usianya ketika itu sudah mencapai 20 tahun. Sering ia diminta oleh gurunya (Imam Malik) membacakan isi al-Muwaththa’ di depan murid-murid madrasah Imam Malik di sana, di antara mereka terdapat pula ulama,ulama. Hal itu membuktikan, bahwa ia benar-benar telah menguasai isi kitab yang merupakan “bukuwajib”bagi mereka yang ingin mempelajari mazhab Malik pada masa itu.

Sementara itu ia mendengar pula bahwa di kota Baghdad berdiam dua orang ulama besar rnurid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah yaitu Imam Abu Yusuf dan Imam Muharnmad bin al-Hasan al-syaibani. Timbul hasra6rya untuk menyauk ilmu dari kedua ulama tersebut. Maka dengan resil dari Imam Malik berangkatlah ia ke Baghdad di Iraq itu. selama berada di kota Baghdad itu ia menjadi murid Imam Muhammad bin al-Hasan. Banyaklah kesempatannya untuk belajar, berdiskusi dan berbincang-bincang soal agama dengan sang guru; dan dapat pula ia rnenyalin dan mengutip naskah dan kitab-kitab yang terdapat di nrmah Imam tersebut.

Dengan demikian bertambah luaslah ilrnunya terutama tentang mazhab lraq yang dalam beberapa literatur disebut fiqh lragi.’ Di samping itu ia juga memperoleh pengetahuan tentang masalah-masalah peradilan dan hukum acara yang berlaku di Iraq tentang adat istiadat atau ‘uruf setempat. Imam Syafi’i rupanya menganut apa yang disebut “pendidikan seumur hidup” (the long life education) seperti diajarkan dalam Islam “thalabul ‘ilmi minal mahdi ilal lahdi”.

Bila direntang nama-nama para gurunya maka selain yang telah disebut di muka masih ada lagi nama-nama seperti Sa’ad bin Salim al-Qaddah, Daud bin Abdrrahman at-’Aththar dan AMulhamad bin Abdul ‘Aziz bin Abi Ruwad. Di Madinah beliau juga belajar pada Ibrahim bin Sa’ad al-Anshari, Abdul ‘Aziz bin Muhammad al- Darawardi, Ibrahim bin Yahya al-Usami, Muhammad bin Sa’id bin Abi Fudaik dan AMullah bin Nafi’ al-Shaig. Di Yaman Imam Syafi’i bertemu dengan ulama-ulama setempat seperti Mahaf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf (Hakim kota Shan’a), Amer bin Salmah (sahabat al-Auza’i) dan Yahya bin Hassan (sahabat al-Laits bin Sa’ad). Di Iraq, selain belajar pada Imam Abu Yusuf dan Imam Hasan al-Syaibani, juga beliau berguru kepada Waki’ bin al-Jarrah, Abu Usamah Hammad al-Kufi, Ismail bin ‘Athiyyah al-Bashri dan Abdulwahhab bin Adilmajid al Bastui.

Memperhatikan narna-nama di atas serta tempat tinggal mereka, jelas mereka memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu dan aliran yang tertentu pula, bahkan ada yang menganut faham muktazilah, Syi’ah dan sebagainya, dan adat istiadat yang berbeda pula. Belajar dan bergaul dengan orang-orang yang berbeda-beda keahlian, aliran dan faham serta tempat tinggal itu jelas akan memperluas cakrawala pemikirannya. Dalam diri Imam Syafi’i bertemu aliran hijazi dan iraqi alias aliran-aliran ahlul hadits dan ahlul ra’yi. Di samping itu pola pikir Mu’adz bin Jabal mengesan pula dalam otak Imam Syafi’i di mana pegangan utamanya adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sedangkan ra’yu hanya menrpakan altematif ketiga, artinya ra’yu baru dipakai bilamana hukum yang dicari tidak terdapat dalarn kedua sumber ini.

MURID-MURIDNYA

Tidaklah lengkap rasanya bila murid-murid tidak disebut di sini mengingat peranan mereka sangat besar di dalam menyebarluaskan mazhabnya. Mereka tersebar di mana-mana, terutama di Iraq dan Mesir, di samping mereka yang memilih kota Makkah sebagai tempat tinggalnya.

Di Iraq terdapat nama-nama antara lain:

(1) Al-Husein bin Muhammad al-Shabah al-Bazzar al-Za’farani (w. 260 H). Dialah yang menulis dan membukukan kitab Al-Hujjah, yang diimlakkan oleh Imam Syafi’i dan dia pula yang membacakannya di depan para peserta halaqah (pengajian) di Bagdad. Suaranya bagus dan bahasanya amat fasih. Pada mulanya dia menganut faham ‘iraqi, tetapi kemudian beralih kepada mazhab Syafi’i dan menjadi pengikut yang amat setia.

(2) Al-Husein bin Ali al-Karabisi (w. 240 H) seorang penulis yang produktif, telah menulis buku lebih seratus judul (juz). seperti juga temannya (al-Za’farani) al-Karabisi semula adalah penganut aliran iraqi, tetapi kemudian pindah kepada mazhab Syafi’i.

(3) Ahmad bin Hambal (164 – 241 H) mula berkenalan dengan Imam Syafi’i sejak di Makkah. Beliau ini seorang murid yang sangat brillian yang akhimya mendirikan mazhab sendiri.

(4) Sulaiman bin Daud al-Hasyimi (w. 220 H), berasal dari bani Abbas. Kecerdasannya menyamai Ahmad bin Hambal sehingga Imam Syafi’i pemah berucap: “Aku tidak tahu siapa di antara kedua orang ini yang lebih cerdas, Ahmad bin Hambal ataukah Suleiman bin Daud al-Hasyimi”.

(5) Ahmad bin Muhammad bin Yahya al-’Asy’ari al-Bashri, alim tentang hadits luas pengetattuannya dan berpandangan kritis, pembela mazhab gurunya sepeninggal sang guru dari kota Bagdad; lalu menggantikan gurunya mengajar di halaqah.

(6) Abu Tsaur al-Kilabi al-Bagdadi (w. 240 H), mula-mula menganut mazhab Hanafi kemudian pindah kepada mazhab Syafi’i.

Di Mesir terdapat nama-nama muridnya antara lain:

(1) Harmalanbin Yahya al-Tujibi (166 – 243H), guru Imam Muslim bin al-Hajjaj penyusun kitab shahih.

(2) Al-Rabi’bin sdaiman al-Muradi (w. 270H) yang menukil buku al-Risalah al-Jadidah dan al-tJmn karya Imarnsyafit, pindah dari Bagdad ke Mesir bersama-sama Imam Syafil.

(3) Abdullah bin Zubeir al-Humaidi (w. 219 H) juga darang dari Bagdad benama-sama Imam Syafi’i.

(4) Abu Ya’qub Yusuf bin yahya al-Bawaihi (w. 232 H). Dia lah yang menggantikan Imam Syafi’i mengajar di halaqah selama 27 tahun.

(5) Abu lbrahim.Ismail bin yahya al-Muzani (w. 264 H). Dia mengajar menggantikan al-Buwaithi mengisi lratqah, seorang ahli fiqh, banyak karyanya datam mazhab Syafi,i antara lain kitab al-Mukhtashar alKabir dan al-Shaghir.

(6) Abdurrahman bin Abdillah bin Abdilhakam (w. 257 H) seorang ahli sejarah Islam, sahabat kental Imam.Syafi’i.

(7) Muhammad bin Abdillah bin Abdilhakam (182 – 268 H). Sepeninggalan Imam Syafi’i ia kembali ke halaqah asuhan ayahnya dan mempelajari mazhab Maliki.

(8) Al-Rabi’ bin Sulaiman bin Daud at-Jizi (w. 256 H), seorang Faqih yang saleh tetapi sedikit sekali meriwayatkan buah pikiran Imam Syafi’i.

(9) Abu Bakar al-Humaidi (w 237 H), murid sekaligus sahabat Imam Syafi’i, belajar bersama-sama pada Sufyan bin’Uyaynah di Makkah kemudian pindah ke Mesir. Setelah Imam syafi’i wafat ia kembali ke Makkah.

(10) Ibnu Muqlas Abdul ‘aziz bin Umar (w. 234 H), ketika Imam Syafi’i tiba di Mesir ia segera bergabung sambil belajar.

(11) Abu Utsman Muhammad bin al-Syafi’i (w’ 232 H), putera sekaligus murid Imam Syafi’i.

(12) Abu Hanifah al-Asnawi (w’ 27lH)-orang Mesir asal Qibthi yang banyak menulis tentang mazhab Syafi’i.

SUKA DUKA KEHIDUPAN IMAM SYAFI’I

Kemangkatan Imam Malik sangat berpengaruh terhadap kehidupan lm-am Syafi’i, karena selama ia tinggal di Madinah yang cukup lama itu Imarn Maliklah yang menanggungnya. Sekarang Imam Malik telah tiada.

Pada suatu hari Wali (Gubemur) Yaman datang ke Madinah untuk ziarah ke makam Rasulullah SAW. Kepadanya diceritakan orang tentang keadaan Imam Syafi’i, kepribadiannya, kecakapannya dan ketinggian ilmunya. Maka tertariklah hati Gubemur, lalu diadakanlah pertemuan antara kedua beliau, dan tercapailah kesepakatan bahwa al Imam akan pindah ke Yaman diangkat sebagai sekretaris Gubernur. Tak lama kemudian beliau diangkat pula menjadi sekretaris Wilayah merangkap Kepala Daerah untuk Najran.

Di samping itu beliau tetap noengajar di mesjid-mesjid di wilayah Yaman sekaligus menjadi mufti. Ketika berada di Yaman itu, beliau menikah dengan seorang puteri bangsawan bemama Hamidah binti Nafi’ bin Utsman bin’Affan. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai tiga orang anak, seorang laki-laki dan dua orang perempuan

yang laki-laki bemama Muhammad, biasa dipanggil Abu Utsman yang kemudian menjadi ulama besar pula dan qadhi di daerahnya, meninggal dunia pada tahun 240 H. Adapun yang perempuan bemama Zainab dan Fathimah.

Di Yaman beliau terkenal seorang yang adil dan jujur. Karena itu beliau sangat disegani dan dihormati orang. Namun masih saja ada orang yang tidak merasa senang dengan keadilan dan kejujuran beliau, karena sulit bagi mereka untuk membujuk dan menjilat kepadanya agar ia memenuhi keinginan rnereka, hal mana sesungguhnya sudah menjadi kebiasaan orang pada waktu itu. Karena rasa iri dan frustasi, maka mereka lancarkanlah isyu dan fitnah atas diri Imam Syafi’i. Diisyukan bahwa Imam Syafi’i turut mengembangkan faham Syi’ah dan bersekongkol untuk menentang Khalifah Harun al-Rasyid di Bagdad. Akibat isyu dan fitnah tersebut beliau ditangkap, dan bersama-sama sepuluh orang pentolan Syi’ah dibawa ke Bagdad untuk dihadapkan ke muka sidang pengadilan Khalifah. Dengan kaki terikat beliau memasuki ruang sidang sambil mengucapkan salam keislaman “Asslamu ‘alaika ya amirul Mukminin wa barakatuh”. Beliau tidak menyebut kata “wa rahmatullahi”" Khalifah menjawab: “Wa ‘alaikassalam wa rahmatullahi wabarakatuh.”

Dengan perasaan heran Harun al-Rasyid memperhatikan sikap Imam Syafi’i yang begltu tenang padahal orang-orang Syi’ah yang dibawa bersamannya dari Yaman telah dijatuhi hukuman mati. Berkata al-Rasyid: ‘Engkau mulai dengan ucapan yang Sunnah tidak mewajibkannya, sedangkan kami menjawabnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban; amat mengherankan engkau telah berani bicara dalam majelis ini tanpa izin kami”. Imam Syafi’i nenjawab: “Sesungguhnya Allah telah berfirman ddam kitabNya yang mulia:

Selanjutnya beliau berkata: ‘Tuhan apabila berjanji pasti menepatinya. Kini DIA telah mengangkat baginda menjadi khalifah di bumiNya yang luas ini dan baginda telah rnemberi rasa aman kepada hamba ketika hamba dalam ketakutan dengan ucapan “warahmatullahi”, yang berarti baginda telah melimpahkan rahmat Tuhan kepada hamba atas kemurahan hati baginda sendiri”.

Mendengar ucapan Imam Syafi’i yang fasih itu rupanya tersentuh juga hati Harun al-Rasyid lalu ia berkata: “Bukankah engkau yang mempelopori komplotan pemberontak untuk menentangku? Bukankah engkau orang yang jelas kesalahannya?”. Imam Syafi’i menjawab: “Sekarang baginda telah mengemukakan apa yang terlintas di hati baginda, maha aku pun akan menjelaskan apa yang terasa di hati hamba untuk mencari keadilan dan kebenaran. Akan tetapi dapatkah orang melahirkan perasaannya dengan saksama kalau kakinya dirantai dengan besi yang berat ini? Hamba mohon kiranya rantai yang membelit di kaki hamba ini dapat dilepas, dan hamba diperkenankan duduk secara wajar. Allah Maha kaya lagi Maha terpuji”.

Khalifah lalu memerintahkan kepada pembantunya bernama Siraj supaya melepas rantai yang melingkari kaki Imam Syafi’i. Setelah rantai terlepas Imam Syafi’i terus membaca fimtan Allah yang berbunyi:

Selesai membaca ayat tersebut lalu ia berkata: ‘Hamba berlindung kepada Allah, baginda pihak yang menyuruh datang, sedangkan hamba yang disuruh datang. Tentu baginda dapat berbuat apa saja, sedangkan hamba tak dapat berbuat apapun. Benar-benar bohong orang yang telah mengadukan hamba kepada baginda. Hamba punya dua ikatan dengan baginda; pertama, hamba dan baginda sama-sama
muslim; kedua, hamba dan baginda masih satu turunan. Baginda haruslah berpegang kepada Kitabullah. Baginda anak paman Rasulullah yang harus rnelindungi agamanya”.

Mendengar kata-kata itu Khalifah tiba-tiba jadi gembira, lalu berkata: ‘Tenangkanlah pikiran anda. Saya menghargai ilmu-mu dan juga saya menghormati ikatan darah antara kita berdua”.

Kemudian terjadilah dialog antara kedua hamba Allah itu. Khalifah bertanya: “Seberapa jauh ilmu-mu tentang Kitabullah?” Dijawab oleh Lnam Syafi’i: “Kitab Allah itu banyak, mana yang baginda tanyakan?” Khalifah menjawab: ‘Yang kutanyakan adalah kitab yang diturunkan kepada anak paman saya, Muhammad Rasulullah”. Imam Syafi’i menimpa lagi: “^Al-Qur’an dari segi apa yang baginda maksud?” “Dari segi hafalan”, kata Khalifah. Imam Syafi’i menjawab tegas: “Hamba telah hafal al-Qut’an seluruhnya; hamba tahu tempat berhenti dan tempat memulai bacaan, tentang nasikh dan mansukhnya, yang samar-samar dan yang jelas tegas, yang mutasyabih dan yang rnuhkam, yang umum dan yang khusus”. Khalifah jadi heran lalu mengalihkan pertanyaan ke soal-soal ilmu falak (perbintangan), kedokteran, firasat dan lain-lain, yang semuanya dijawab oleh Imam Syafi’i dengan sangat memuaskan. Kemudian Khalifah bertanya pula: “Bagaimana pengetahuan Anda tentang silsilah keturunan bangsa Arab?” Imam Syafi’i lalu menjelaskan: ‘Ada yang mulia dan ada yang tidak baik. Hamba tahu silsilah keturunan hamba dan keturunan baginda”. Akhirnya Khalifah berkata “Apa yang akan Anda nasehatkan kepadaku?”

Lalu Imam Syafi’i menyampaikan nasehat yang pemah diucapkan oleh Thawus al-Yamani yang rupanya amat mengesan di hati Khalifah, sehingga baginda menangis rnendengamya. Khalifah kemudian memberi hadiah buat Imam Syafi’i, tetapi kali ini ditolaknya secara halus dan sopan.Maka bebaslah Imam Syafi’i dari tuduhan dan fitnah yang dilancarkan oleh omng-orang yang tidak senang kepadanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 184 H. ketika beliau berusia 34 tahun.

Beberapa hari kemudian Imam Syafi’i kembali mengunjungi Khalifah di istana. Pada pertemuan kali ini Khalifah memberinya hadiah berupa uang 1000 dinar, dan hadiah itu diterimanya. Akan tetapi uang itu diberikannya pula kepada pegawai-pegawai istana yang dijumpainya disepanjang jalan menuju gerbang keluar istana.

Akhimya sesampai di luar istana uangnya hanya tinggal sedikit lalu diberikannya kepada pelayan istana yang bemama Siraj yang sengaja membuntutinya untuk melihat apa yang dilakukan Imam Syafi’i dalam perjalanan menuju ke luar. Semua yang disaksikannya itu dilaporkannya kepada Khalifah, maka tahulah beliau bahwa Imam Syafi’i itu benar-benar seorang yang tinggi dan mulia dari keturunan bani al-Muththalib.

Pengalaman lain yang tak kurang pula berkesannya bagi Imam Syafi’i adalah pertemuannya dengan para ulama besar di masanya. Selama berada di Bagdad, kota budaya dan ilmu itu, ia sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah membahas masalah-masalah keagamaan, terutama dengan kedua murid dan sahabat abu Hanifah yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, pertemuan mana kadang-kadang juga dihadiri oleh Khalifah.

Wafatnya Imam Abu Yusuf tahun 182 H. dan Imam Muhammad bin al-Hasan tahun 188 H. kemudian mangkat pula Khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 193 H. disusul pula oleh al-Amin tahun 198 H. kesemuanya itu telah mendorong al lmam untuk kembali ke Bagdad. Yang jadi khalifah waktu itu adalah al-Makmun, adik al-Amin.

Sekalipun cuma sebulan ia tinggal di Bagdad, namun ia telah sempat menarik banyak pengunjung dari segala lapisan masyarakat, para ulama, cendikiawan, pegawai pemerintahan dan lain sebagainya.

Pada suatu ketika beberapa orang ulanna di Iraq bersepakat untuk mengadakan diskusi dengan Irnam Syafi’i. Topik diskusi telah ditetapkan. Tujuan diskusi itu sebenamya untuk mencari kelernahan Imam Syafi’i, namun yang kejadian malah sebaliknya. Semua masalah yang dikemukakan dapat dipecahkan oleh Imam Syafi’i dengan sangat memuaskan, bahkan Khalifah sendiri merasapuas dankagum sehingga Khalifah menawarkan jabatan “qadhi” untuk negeri Yaman kepada beliau. Untuk tawaran itu beliau menjawab: “Mudah-mudahan Allah memanjangkan usia baginda. Saya sama sekali tidak ambisi kepada pangkat dan jabatan yang tinggi itu. Saya bermaksud hendak pergi ke Mesir, itupun jika sekiranya baginda memperkenankannya”. Khalifah menjawab: “Jika demikian baiklah, Insya’ Allah.

Mengenai karya tulisnya, imam Syafi’i banyak menulis dalam berbagai bidang ilmu. Menurut beberapa ahli sejarah beliau telah menulis sebanyak 113 buah kitab/naskah dalam pelbagai bidang ilmu yang cukup luas dan beragam seperti ushul fiqh, fiqh, tafsir, sastera dan lain-lain. Sebagian besar karya Imam Syafi’i ditulis di Iraq sekitar tahun 195 – 199 H. pada waktu ia berusia antara 45 – 49 tahun. Tidak diperoleh informasi apakah Imam Syafi’i pemah menulis buku sewaktu berada di Mekkah. Yang jelas ketika ia berada di Mekkah pemah ia menulis surat (risalah) kepada seorang ulama ahli hadits bemama Abdul Rahman bin Mahdi yang kemudian meminta Imam Syafi’i agar mau menulis buku tentang ushul fiqh. Atas permintaan itu Imam Syafi’i lalu menulis kitab yang sangat populer yaitu Al-Risalah. Ada kemungkinan bahwa kitab itu mulai ditulis ketika dia berada di kota Mekkah, dan baru dipublikasi setelah dia pindah ke Iraq dengan perbaikan-perbaikan seperlunya atas kerja sama dengan murid-muridnya di sana. Al-Risalah merupakan kitab ushul fiqh yang tertua dan dianggap kitab ushul fiqh yang pertama.

Kitab-kitab Imam Syafi’i ada yang ditulis sendiri dan ada pula yang ia imlakkan kepada murid-muridnya, seperti kepada al Za’farani dan al-Rabi’. Perlu juga diketahui bahwa tidak semua kitab yang berisi buah pikiran Imam Syafi’i itu dinisbahkkan kepada namanya, tetapi ada pula yang dinisbahkan kepada murid-muridnya, umpamanya kitab-kitab mukhtashar. Kitab-kitab beliau seperti al-Umm, al-Risalah, Ikhtilaf aI ‘Iraqiyin, Ikhtilafu Malik, Ikhtilafu ‘AIi wa’ Abdillah dan masih ada beberapa lainnya, semuanya dinisbahkan kepada namanya sendiri, isi dan lafaznya asli dari beliau. Sedangkan kitab-kitab seperti Mukhtashar al-Buwaithi dan Mukhtashar al-Muzani adalah kitab-kitab yang dinisbahkan kepada murid-murid tersebut, isi dari beliau sedangkan lafaz dan susunan kalimatnya dari orang yang mengikhtisarkannya. Selain judul-judul yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi yang lainnya, seperti lbthal al-Istihsan, Ahkam al-Qur’an, Al-Musnad, Al-Ra’du ‘ala Muhammad ibn al-Hasan, Al-Qiyas, Al-lmla’, Al-Amali, Al-Qasamah, Al-Jizyah, Qital Ahl al- Baghyi, Siyar al-Auza’i, Ikhtilafu al-H adits, Istiqbal al-Qiblataini dan lain-lain.

Di antara judul-judul tersebut ada yang hanya dapat dijumpai namanya saja dalam karya-karya ulama sesudahnya dan ada pula yang dimasukkan ke dalam judul lain. Hanya beberapa judul saja yang dapat kita temukan beredar di Indonesia antara lain al-Risalah, al-Umm, al Ahkam al-Qur’an. Mengenai al-Umm yang dipandang sebagai “Buku Induk” dalam mazhab Syafi’i perlu mendapat perhatian khusus, karena ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa al-Umm itu bukan karya Imam Syafi’i tetapi karya Buwaiti yang diberikannya kepdada al-Rabi’ untuk disebarluaskan. Pendapat tersebut dilansir oleh seorang ulama tasawuf bemarna Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya Qut al-Qulub. Sementara itu ulama-ulama yang lain berpendapat bahwa al-Buwaithi hanyalah nnengurnpulkan apa yang ditulis atau diimlakkan Imam Syafi’i kemudian diserahkannya kepada al-Rabi’ dan oleh al-Rabi’ lalu ditambah dan dipublikasi.

Pendapat yang kedua ini tampaknya lebih benar tetapi perlu diselidiki lebih lanjut. Buwaiti bukanlah satu-satunya orang yang menulis dan meriwayatkan pendapat dan fatwa-fatwa al-Imam paling tidak masih ada dua orang lagi yang dekat dan giat mencatat dan meriwayatkan pendapat dan fatwa Imam Syafi’i selama ia berada di Iraq, yaitu al-za’farani dan al-Karabisi. sedangkan di Mesir terdapat pula nama-nama seperti Harmalah, al-Rabi’ dan lain-lain. Mengenai hubungan antara Imam Syafi’i dan al-Rabi’ ada dua hal yang perlu diperhatikan; pertama, bahwa al-Rabi’ boleh dikatakan orang yang paling rajin dan banyak mendampingi Imam Syafi’i selama di Mesir, Pada saat-saat ia tidak berada di dekat al-Imam, ia tetap mengikuti dari jauh, dan setelah berkumpul kembali maka ia tanyakan apa-apa yang tidak didengarnya selama ia absen. Jadi sedikit sekali kemungkinan al-Rabi’ tidak memiliki tulisan atau catatan langsung dari Imam Syafi’i selama ia berada di Mesir itu. Kedua, para ulama sepakat bahwa perawi kitab-kitab Imam Syafi’i adalah al-Rabi.

Dari berbagai informasi dapat kita dapati dan kemudian kita tarik kesimpulan bahwa Imam Syafi’i memang telah menyusun kitab-kitabnya; ada yang ditulisnya sendiri dan ada pula yang diimlakkannya kepada murid-muridnya, baik sewaktu ia berada di Iraq maupun setelah ia rnenetap di Mesir. Kitab-kitab ini telah dibacakan pula di hadapan murid-muridnya yang lain. Al-Za’farani adalah orang yang sangat fasih dan bagus membaca kitab-kitab Imam Syafi’i di Iraq, dan al-Rabi’ orang yang paling banyak menulis, mencatat dan meriwayatkan pendapat, fatwa dan kitab-kitab Imam Syafi’i di Mesir. Seperti diketahui, bahwa Imam Syafi’i setelah menetap di Mesir mengalami perkembangan baru dalam ijtihadnya, yaitu lahirnya pendapat atau qaul baru dalam beberapa masalah fiqh yang berbeda dengan pendapat atau qaul lama sewaktu ia berada di lraq. setelah terjadinya perubahan itu maka al-Rabi’ menulis dan meriwayatkan kembali apa yang pernah dinrlis oleh al-Buwaithi dan al-Za’farani sebelumnya (al-Hujjah atau al-Mabsut) serta memasukkan pendapat dan komentarnya sendiri. Itulah yang kita kenal sekarang dengan kitab al-Umm.

Logislah bila dikatakan, bahwa al-Umm itu intinya adalah al-Hujjah atau al-Mabsuth yang telah mengalami koreksi, penyaringan dan penambahan-penambahan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan dan adat istiadat setempat. Dalam hal ini rupanya al-Rabi’ sangatlah berhati-hati dan teliti. Redaksi (ibarat) yang terdapat di dalam naskah aslinya atau yang didengamya langsung dari Imam syafi’i tetap dipertahankannya sekalipun kadang-kadang jelas salah, namun tak lupa diberinya penjelasan. Dan apa-apa yang memang tidak didengamya langsung dari Imam Syafi’i dikatakannya bahwa dia tidak mendengarnya. Kadang-kadang al-Imam telah “meninggalkan” pendapat yang tercantum di dalam kitabnya, tetapi tulisannya masih tetap seperti apa adanya semula. Hal itu disebabkan perubahan terjadi setelah tulisan itu dibukukan. Ketika itu cukuplah bagi al-Rabi’ membubuhi keterangan atau catatan kecil bahwa dalam masalah tersebut telah terjadi perubahan.

Demikianlah kesimpulan Imam Abu zahrah yang kemudian menambahkan, bahwa bagi orang yang dapat merasakan dzauq (rasa bahasa) pastilah akan berkesimpulan bahwa gaya bahasa al-Umm tidak berbeda dengan gaya bahasa al-Risalah yaitu gaya bahasa Imam Syafi’i. Adapun bila di beberapa tempat terasa agak lain, itu hanyalah pengaruh perbedaan situasi dan kondisi sewaktu dicetuskannya pendapat tersebut serta perbedaan topik atau subjek (maudhu’) yang sedang dibicarakan.

Akhimya, dalam keadaan yang demikianlah para ulama telah datang berbondong-bondong menyalin, mencatat dan menukil kitab-kitab Imam Syafi’i itu.

.

Sumber: Imam Syafi’i, Mujtahid Tradisional Yang Dinamis, Drs. Ismail Thaliby, M.A., Kalam Mulia, Jakarta, 1993.

.

KITAB-KITAB
[diambil dari buku: Ulama Syafi'i dan Kitab-Kitabnya Dari Abad ke Abad]

Berkata Imam Abu Muhammad Qadli Husein (wafat 462 H.) dalam Muqaddimah kitab Ta’Iiqahnya, bahwa Imam Syafi’i rhm mengarang 113 (seratus tiga belas) kitab, terdiri dari kitab-kitab fiqih, Tafsir, Adab, dll.

Memang banyak karangan beliau, diantaranya:

1. Ar Risalah. (ushul Fiqh yang pertama di dunia).
2. Al Hujjah. (fiqih qaulul qadim).
3. Al Umm (qaulul jadid – 4 jilid besar).
4. Mukhtashar al Buwaithi. (dihimpun oleh murid beliau Al Buwaithi).
5. Mukhtashar Ar Rabi’i. (dihimpun oleh murid beliau Ar Rabi’ al Muradi).
6. Mukhtashar al Muzannii. (dihimpun oleh murid beliau al Muzanni).
7. Risalah fi Bayanin Nasikh al Mansukh. (ushul fiqih).
8. Ahkamul Qur’an. (ayat-ayat hukum dalam al-Qur’ an).
9. lkhtilaful Ahadits. (Hadits)
10. Al Amaali al Kabir. (fiqih),
11. Al Fiqhul ,Akbar. (Fiqih).
12. Kitabus Sunan. (hadits).
13. Kitabul Asma wal Qabail. (sejarah).
14. Jam’i'i Muzanni al Kabir. (fiqih).
15. Jam’i'i Muzanni al Shagir. (fiqih).
16. Al Qassamah. (fiqih)
17. Qital ahlil Baghy. (fiqih).
18. Al Musnad. (Hadits).
19. Ibtalul Istihsaan. (ushul fiqih)
20. Istiqbalul Qiblatain. (fiqih).
21. AI Jizyah. (fiqih).
22. Al qiyas (ushul fiqih).

.

wallahu a’lam.

1 komentar: