Sabtu, 10 September 2011

Belajar Tashawuf dengan Thoriqoh (Bag.2)

Peran penting Imam Thariqah dan Mursyid
Yang dijadikan imam (baca ; panutan) dalam setiap manhaj dzikir adalah seseorang waliyullah yang benar – benar tabahur dalam ilmu syari’at serta hakekat, sebagaimana kedudukan para mujtahid dalam ilmu fiqih. Keadaan ini tentu untuk menjaga agar para muttabi’ (pengikut) tidak salah jalan dalam melakukan ibadah. Perbedaan istinbat (metode hukum) dalam setiap madzhab fiqih jelas akan menghasilkan pula suatu hasil hukum yang berbeda.
Namun itu semua tak mengapa sepanjang dalam koridor Al-Qur’an dan Al-Hadits. Contoh, madzhab Syafi’i yang mengutamakan ijma’ sahabiy sebelum qias, akan berbeda pendapatnya dalam menetapkan basmalahnya Al-Fatihah dalam shalat apakah harus dibaca jahr atau tidak, dengan pendapat madzhab Hanbali yang lebih mendahulukun qias. Syafi’iyyah dan yang sependapat dengannya mengharuskan bacaan jahr sementara Hanbaliyah dan yang sependapat dengannya mengharuskan bacaan sir atau tidak membacanya sama sekali. Perbedaan yang seperti ini terjadi pula dalam dunia tashawuf. Interpretasi zuhud misalnya. Bagi para imam yang memakai manhaj ihsan-nya itu “An ta’budallah Ka_annaka Tarahu” mengartikan zuhud dengan mengosongkan hati dari selain Allah. Sedangkan bagi para imam yang memakai manhaj ihsan-nya “Fainnahu Yaraka” mengartikan zuhud dengan meninggalkan urusan duniawi secara keseluruhan. Para calon salik diperbolehkan memilih untuk mengikuti metode imam thariqah siapa yang paling pas bagi dirinya sebagaimana diperbolehkannya dalam memilih mengikuti salah satu dari para pemuka mujtahid fiqih yang masyhur ke’alimannya.

Agar dzikir seorang salik dapat menghasilkan faedah seperti yang diharapkan, maka taushiah – taushiah dari para imam thariqah masing – masing juga amat penting untuk diperhatikan dan dimengerti. Demikian pula petunjuk dari para Mursyid (guru pembimbing) Thariqah. Karena para mursyid yang sah serta shahih adalah penerus dari para imam thariqah. Dan ini juga untuk menghindari deviasi system yang telah dibangun secara benar oleh para imam thariqah. Karena jika tidak maka bukan hal yang mustahil akan ada metode – metode “nyleneh” yang menyimpang dari islam.

Penulis pernah punya pengalaman ditanya tentang hal – ihwal thariqah oleh seorang dosen UIN Yogyakarta. Beliau adalah alumnus Al-Azhar, Mesir. Secara umum, beliau ini sebelumnya dikenal kurang begitu respect terhadap thariqah. Namun setelah berbincang – bincang dengan penulis maka terjadilah perubahan pandangan beliau terhadap persoalan thariqah. Berikut ini adalah sebagian petikan singkat pembicaraan dengannya.
“Antum menganut thariqah apa?”
Saya jawab, “Thariqah As-Syadziliyyah”
“Apakah pandangan antum tentang thariqah?”
“Dzikrulah. Itulah intinya”
“Dalam Thariqah As-Syadziliyyah dzikir pokok apa yang diamalkan?”
“Ya sesuai dengan surat Muhammad ayat 19 ; Fa’lam Annahu Lailahaillah”
“Kecuali itu adakah selainnya?”
“Tidak ada. Yang ada hanya penyertanya seperti istighfar, tasbih dan shalawat”
“Berapakah ‘adad (bilangan) dzikir yang diwajibkan?”
“Tidak ada”
“Aneh. Belum pernah saya memperoleh jawaban seperti ini dari seorang penganut thariqah”
“Tapi inilah yang saya ketahui dalam thariqah As-Syadziliyyah”
“Saya ingin tahu alasannya”
“Begini, suatu saat ada dua orang meminta dzikir yang diwajibkan kepada Syeikh As_Sayid Abil Hasan As-Syadzili ra. Salah seorang diantaranya berkata, “Berikanlah saya dzikir yang wajib Ya Sayyidi”. Lalu bagaimanakah jawaban beliau? “Apakah aku ini seorang rasul? Hingga harus mewajibkan suatu perkara wajib? Ketahuilah. Yang wajib itu telah masyhur. Dan yang dilarang juga telah ma’lum. Maka laksanakanlah yang wajib dan jauhilah yang dilarang!!”. Begitulah taushiah beliau”
“Subhanallah. Ini adalah thariqatus syar’i. Ini adalah thariqah yang benar. Sungguh terbukalah saya. Ternyata tidak semua thariqah seperti yang ada dalam benak pemikiran saya selama ini”.
“Lalu wirdul ‘am yang diamalkan kedudukannya dalam thariqah ini bagaimana?” Dosen ini bertanya lagi pada penulis.
“Murid atau Salik diminta untuk melazimkan (membiasakan dan merutinkan)-nya minimal tiap sehabis maghrib dan subuh sesuai dengan petunjuk mursyid, tujuannya agar si Salik dapat ber-takhalli, tahalli dan tajalli secara step by step sesuai dengan maratib (tingkatan – tingkatan)-nya masing – masing”

Bersambung ke bag. III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar