Imam al-Ghazali (450-505H)
“Al-Ghazali adalah seorang pembela lslam dan kaum muslim, pemimpin bagi para pemimpin agama. Belum pernah ada seorangpun yang seperti dia, tutur kata maupun ucapannya, jalan pikiran maupun penalarannya, kecerdasan maupun perangainya.”
Abu al-Hasan ‘Abd al-Ghafir al-Farisi
Namanya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad ath-Thusi, ber-kunyah Abu Hamid, bergelar Zain ad-Din (tiara agama). Lahir pada tahun 450 H/1058 M di Thus dan meninggal di tempat yang sama pada tahun 505 H/1111 M pada usia yang ke 53 (lima puluh tiga).
Ayahnya, seperti halnya kakeknya, adalah seorang pemintal dan penjual kain wol, amat miskin namun sangat salih. Ayahnya meninggal selagi al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, masih kanakkanak, dan sebelum meninggal dia menitipkan mereka berdua kepada seorang temannya yangkemudian mengirim mereka ke madrasah (sekolah) di sekitar rumahnya, diThus. lni merupakan langkah awal karir intelektual al-Ghazali.
Selagi masih remaja, al-Ghazali belajar fiqh kepada Syaikh Ahmad bin Muhammad ar-Radhkani ath-Thusi, dan kemudian kepada Imam Abu Nashr al-Isma’ili di Jurjan, Mazardaran, yang darinyalah al-Ghazali membuat catatan-catatan (ta’liqat).
Mengenai gurunya yang terakhir ini dengan hasil catatannya darinya, al-Ghazali menceritakan pengalamannya yang menarik. Sekembali dari Jurjan menuju Thus, dia dan rombongannya diserang oleh gerombolan perampok yang merampas semua borang bawaan mereka. Al-Ghazali mengikuti mereka meskipun ketua rombongan tersebut sudah memperingatkan betapa bahaya perbuatannya’ Setelah bertemu gerombolan itu lagi, dia memohon agar mengembalikan lembaran-lembaran catatan pelajarannya, yang meski mungkin tampak tidak berharga bagi mereka.
“Apa isinya?” tanya ketua gerombolan”
Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa lembaran-lembaran itu hanya berisi catatan pelajaran yang dia dapat di Jurjan. Mendengar hal ini, ketua gerombolan itu tertawa dan berkata, “Bagaimana kau mengaku berilmu, kalau ternyata kau cuma membawa-bawanya saja? Jika kau terpisah dari catatan-catatanmu, maka kau pun sudah tidak tahu apa-apa.”
Kata-kata ketua gerombolan ini menyentak batinnya. Dari itulah ia lalu bertekad untuk menghafalkan seluruh kitab beserta catatan-catatannya. Tiga tahun kemudian, dia telah hafal semua catatan studinya, agar tidak terulang hal yang sama kalau mungkin dirampok lagi.
Tahun 470 H/1077-8 M, al-Ghazali pergi ke Nisaphur, di sana ia belajar tentangTeologi, Filsafat, logika, Dialektika, dan Ilmu Alam kepada Abu al-Ma’ali al-Juwayni yang dikenal dengan sebutan Imam al-Haramain. Kepadanya, al-Ghazali juga memperdalam wawasannya tentang tasawuf yang meski telah ia pelajari selama di Thus kepada Yusuf an-Nassaj.
Di bawah bimbingan sang guru, wawasannya Menjadi ensiklopedis, meliputi berbagai macam Ilmu pengetahuan yang berkembang saat itu. Karir intelektualnya memang melebihi manusia rata-rata, hingga disaat ia menuntut ilmu di Nishapur, sang guru berkata tentang dirinya dan dua koleganya, “Al-Ghazali layaknya lautan untuk diselami, al-Kiya layaknya singa yang mengamuk, dan al-Khawafi layaknya api ya ng berkobar-kobar.”
Dikatakan pula bahwa “Al-Khawafi menguasai di bidang verifikasi, al-Ghazali di bidang spekulasi, dan al-Kiya di bidang eksplanasi.”
Sebagainnana diceritakan oleh al-Ghazalisendiri, di periode ini ia rnulai enggan pada dogmatisme dan menjauhi sikap taklid. Sejak masa muda, demikian al-Ghazali ia sudah berhasrat untuk memahami makna sejati dari segala sesuatu dan sudah sampai pada kesimpulan bahwa gangguan terbesar dalam pencarian kebenaran adalah meyakini begitu saja otoritas orang tua atau guru (taqlid), serta ketaatan kaku pada warisan masa lalu. Dia menyitir hadits Nabi, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Nasrani, Yahudi atau Majusi.”
Dia penasaran, fitrah macam apa yang dimiliki manusia sebelunn teroengaruh oleh lingkungannya. Dengan demikian, dia pun mulai mencari pengetahuan yang tidak menyisakan keraguan apapun dan tanpa kemungkinan salah sedikitpun.
Al-Ghazali menemukan bahwa pengetahuan yang sudah dia miliki, kecualiyang dia alami sendiri, tidak memenuhi kriteria diatas, dan hingga saat itu dia menjadi seorang pencari kebenaran sejati dengan standar yang sangat ketat. “Dia yang tidak meragukan apa-apa tidak akan melakukan investigasi,” katanya, “dia yang tidak melakukan investigasi tidak akan mendapat pengetahuan apapun, dan dia yang tidak mendapat pengetahuan apapun akan selalu buta dan luput.”
Baru pada 494H/1091M, enam tahun setelah wafatnya al-Haramayn, al-Ghazali ditunjuk mengetuai bagian teologi di Madrasah Nidzamiyah, Baghdad, oleh Perdana Menteri Nidzam al-Mulk, berkat kemasyhurannya yang Sudah tersebar ke santero negeri. Ketika itu Umurnya baru beranjak usia 34 tahun. Kehadirannya di Baghdad mendapat sambutan Hangat. Kuliahnya di kelas, pidatonya yang fasih, Pengajarannya yang berjangkauan luas, kiasan-kiasannya yang halus dan paparannya yang jernih membuat takjub para pendengarnya. Semua itu mengundang ketertarikan banyak orang, termasuk orang yang sudah sangat terpelajar sekalipun, para bangsawan, amir dan bahkan hakim khalifah juga. Selain memberi kuliah, al-Ghazali juga dipercaya untuk memberi fatwa dan mengorang beberapa karya. Di sinilah kejayaan, kekayaan, dan kemasyhuran ada di genggamannva.
Meskipun begitu, api intelektualitasnya yang berkobar dan hasratnya untuk menyingkap kebenaran secara keseluruhan belumiah padam. Dia bahkan sudah mulai meragukan inderanya sendiri, dan selama dua bulan terjebak di alam skeptisisme. Namun perlahan setelah itu, berkat pertolongan Allah, benaknya mulai tenang dan bisa kembali menggunakan akal sehatnya untuk melakukan investigasi mendalam terhadap teologi skolastik, filsafat, dan akhirnya tasawuf, sembari meyakini bahwa ketiganva merupakan pencari kebettaran yang konsisten. investigasinya mernbuatnya rnenolak dua disiplin yang pertama, meskipun terkadang dia menggunakan dengan baik metode keduanya di beberapa karya berikutnya, namun pada puncaknya, dia memutuskan bahwa tasawuflah yang hanya bisa mengantarkan kepada kebenaran yang sejati.
Tahun 488 H/1096 M, al-Ghazali menginggalkan Baghdad berikut semua kejayaan, kemasyhuran dan kekayaannya, kecuali sejumlah kecil yang cukup untuk keluarganya, menuju ke Makkah untuk melakukan haji dan kemudian ke Damaskus (Syam) tanpa keinginan untuk kembali lagi ke Baghdad. Di Damaskus dia tinggal di menara masjid Umayyah, menjalani kehidupan asketis dan beribadah. Di tempat ini pula dia mulai menulis adikaryanya, Ihya’ Ullumud-Din. Dan tak lama setelah itu, al- Ghazali kembali merantau ke Jerussalem, Hebron, Hijaz, Kairo dan Aleksandria untuk membuat jiwanya semakin matang.
Setelah sepuluh tahun di tanah rantau, pada tahun 499 H/1106-7 M, al-Ghazali kembali lagi ke Baghdad untuk mengajar dan menyebarkan ilmunya di Madrasah Nidzamiah. Mengenai keputusannya ini, dia bercerita, bahwa kehendak Allah-lah yang membuatnya harus melakukannya. Dia sudah konsultasikan hal ini kepada para guru spiritualis yang sudah mengalami mukasyafah, dan mendapat dukungan dari mereka untuk menghentikan uzlah dan juga seklusinya. Mereka juga telah bermimpi bahwa saat itu adalah moment terpenuhinya janji Tuhan untuk mengutus seorang pembaharu di tiap abad. Semua itulah yang semakin memantapkan tekad al-Ghazali.
Aku tahu, meskipun aku akan “kembali” mengajar lagi, namun bukan berarti aku akan “kembali” lagi seperti dulu. Dulu, aku mengajar untuk mendapatkan kedudukan duniawi, dan aku serukan itu dengan ucapan dan tindakanku. Itulah dulu muksud dan tujuanku. Sekorang, aku serukan ilmu untuk meninggalkan dan untuk memberitahukan rendahnya nilai kedudukan duniawi. Inilah niat, maksud, dan tujuanku sekorang. Tuhan lebih tahu hal itu.
Aku harap aku bisa memperbaiki diriku dan orang lain. Entahlah, apa aku bisa memenuhi maksudku itu atau malah meleset ke tujuan lain. Namun aku yakin dengan pasti dan mantap: tiada daya dan upaya selain aleh Allah yang Maha Agung lagi Maha Luhur, aku tidak bisa bergerak kecuali Dia menggerakkanku, aku tidak bisa bertindak kecuali Dia membuatku bertindak. Maka, aku memahan kepada-Nya agar dia mau memperbaikiku dan memberiku hidayah, agar memperlihatkan kesejatian sebagai Kesejatian dan memberiku kekuatan, untuk rnengikutinya, dan agar memperlihatkan kebatilan sebagai Kebatilan dan memberiku kekuatan untuk menjauhinya.
Tidak lama setelah itu, al-Ghazali kembali ke Thus dan rnembangun madrasahnya sendiri di sana. Di sana dia mengajarkan teologi dan juga menggembleng para peminat tasawuf. Dia membagi waktunya untuk membaca al-Qur’an, mempelajari hadits, bergaul dengan orang-orang salih, mengajar dan shalat.
Pada hari Ahad, 14 Jumadil Akhir 505 H/18 Desember 1111 M), al-Ghazali meninggal dunia di usia 53 tahun.
Sumber: Prinsip-Prinsip Menapaki Jalan Spiritual Islami, versi terjemah dari Ayyuha al Walad, fi Nashihah al-Muta’allimiin wa Mau’idhatihim Liya ‘lamu wa Yumayyizu ‘Ilman Nafi’an min Ghairihi, karya Imam al Ghazali, terjemah oleh Muhammad Hilal, Diamond, Yogyakarta, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar