4. Masa Kerasulan di era Madinah
Peletakan Dasar-Dasar Negara Madinah
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Mekah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad mempunya ikedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaanduniawi. Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis merupakan kepala negara.
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu, beliau saw segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat.
Dasar pertama, pembangunan mesjid, selain untuk tempat salat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Mesjid pada masa Nabi bahkan juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Dasar kedua, adalah ukhuwwah islamiyyah, persaudaraan sesama muslim. Nabi mempersaudarakan Antara golongan Muhajirin, orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah, dan Anshar, penduduk Madinah yangsudah masuk Islam dan ikut membantu kaum muhajirin tersebut. Dengan demikian, diharapkan, setiap muslim merasa terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Apa yangdilakukan Rasulullah ini berarti menciptakan suatu bentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
Dasar ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orangArab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar.
Dalam perjanjian itu jelas disebutkan bahwa Rasulullah menjadi kepala pemerintahan karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada beliau. Dalam bidang sosial, dia juga meletakkan dasar persamaan antar sesama manusia. Perjanjian ini, dalam pandangan ketatanegaraan sekarang, sering disebut dengan Konstitusi Madinah.
Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekah dan musuh-musuh Islam lainnya menjadi risau. Kerisauan ini akan mendorong orang-orang Quraisy berbuat apa saja. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, Nabi, sebagai kepalapemerintahan, Mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Umat Islam diizinkan berperang dengan dua alasan:
(l ) untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya, dan
(2) menjaga keselamatan dalampenyebarankepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalang-halanginya.
Dalam sejarah negara Madinah ini memang banyak terjadi peperangan sebagai upaya kaum muslimin mempertahankan diri dari serangan musuh. Nabi sendiri, di awal pemerintahannya, mengadakan beberapa ekspedisi ke luar kota sebagai aksi siaga melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian damai dengan berbagai kabilah di sekitar Madinah juga diadakandengan maksud memperkuat kedudukan Madinah.
Perang Badar
Perang pertama yang sangat menentukan masa depan negara Islam ini adalah Perang Badar, perang antara kaum muslimin dengan musyrik Quraisy. Pada tanggal 8 Ramadhan tahun 2 Hijriah, Nabi bersama 305 orang muslim bergerak keluar kota membawa perlengkapan yang sederhana. Di daerah Badar, kurang lebih 120 kilometer dari Madinah, pasukan Nabi bertemu dengan pasukan Quraisy yang berjumlah sekitar 900 sampai 1000 orang.
Nabi sendiri yang memegang komando. Dalam perang ini kaum muslimin keluar sebagai pemenang. Namun, orang-orang Yahudi Madinah tidak senang. Mereka memang tidak sepenuh hati rnenerima perjanjian yang telah dibuat antara mereka dengan Nabi.
Tidak lama setelah perang tersebut, Nabi menandatangani Sebuah piagam perjanjian dengan beberapa suku Badui yang kuat. Suku Badui ini ingin sekali menjalin hubungan dengan Nabi setelah melihat kekuatan Nabi semakin meningkat.
Setelah perang Badar, Nabi juga menyerang suku Yahudi Madinah, Qainuqa, yang berkomplot dengan orang-orang Mekah. Orang-Orang Yahudi ini akhirnya memilih meninggalkan Madinah dan pergi menuju Adhri’at di perbatasan Syria.
Perang Uhud
Bagi kaum Quraisy Mekah, kekalahan mereka dalam perang Badar merupakan pukulan berat. Mereka bersumpah akan membalas dendam. Pada tahun 3 H, mereka berangkat menuju Madinah membawa tidak kurang dari 3000 pasukan berkendaraan unta, 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid ibn Walid, 700 orang di antara mereka memakai baju besi.
Nabi Muhammad menyongsong kedatangan mereka dengan pasukan sekitar 1000 (seribu) orang. Namun, baru saja melewati batas kota, Abdullah ibn Ubay, seorang munafik dengan 300 orang Yahudi membelot dan kembali ke Madinah.Mereka melanggar perjanjian dan disiplin perang.
Meskipun demikian, dengan 700 pasukan yang tertinggal Nabi melanjutkan perjalanan. Beberapa kilometer dari kota Madinah, tepatnya di bukit Uhud, kedua pasukanbertemu. Perang dahsyat pun berkobar. Pertama-tama, prajurit-prajurit Islam dapat memukul mundur tentaramusuh yang lebih besar itu. Pasukan berkuda yang dipimpin oleh Khalid ibn Walid gagal menembus benteng pasukan pemanah Islam. Dengan disiplin yang tinggi dan strategi perang yang jitu, pasukan yang lebih kecil itu ternyata mampu mengalahkan pasukan yang lebihbesar.
Kemenangan yang sudah diambang pintu ini tiba-tiba gagal karena godaan harta peninggalan musuh. Prajurit Islam mulai memungut harta rampasan perang tanpa menghiraukan gerakan musuh, termasuk didalamnya anggota pasukan pemanah yang telah diperingatkan Nabi agar tidak meninggalkan posnya.
Kelengahan kaum muslimin ini dimanfaatkan dengan baik oleh musuh. Khalid bin Walid berhasil melumpuhkan pasukan pemanah Islam, dan pasukan Quraisy yang tadinya sudah kabur berbalik menyerang. Pasukan Islam menjadi porak poranda dan tak mampu menangkis serangan tersebut. Satu persatu pahlawan Islam gugur, bahkan Nabi sendiri terkena serangan musuh. Perang ini berakhir dengan70 orang pejuang Islam syahid di medan laga.
Pengkhianatan Abdullah ibn Ubay dan pasukan Yahudi diganjar dengan tindakan tegas. Bani Nadir, satu dari dua suku Yahudi di Madinah yang berkomplot dengan Abdullah ibn
Ubay, diusir ke luar kota. Kebanyakan mereka mengungsi ke Khaibar. Sedangkan suku Yahudi lainnya, yaitu Bani Quraizah, Masih tetap di Madinah.
Perang Khandaq (Ahzab)
Masyarakat Yahudi yang mengungsi ke Khaibar itu kemudian mengadakan kontak dengan masyarakat Mekah untuk menyusun kekuatan bersama guna menyerang Madinah. Mereka membentuk pasukan gabungan yang terdiri dari 24.000 orang tentara. Didalamnya juga bergabung beberapa suku Arab lain. Mereka bergerak menuju Madinah pada tahun 5 H.
Atas usul Salman al-Farisi, Nabi memerintahkan umat Islam menggali parit untuk pertahanan.Setelah tentara sekutu tiba, mereka tertahan oleh parit itu. Namun, mereka mengepung Madinah dengan rnendirikan kemah-kemah di luar parit hampir sebulan lamanya.
Perang ini disebut perang Ahzab (sekutu beberapa suku) atau perang Khandaq (parit). Dalam suasana kritis itu, orang-orang Yahudi Bani Quraizahdi bawah pimpinan Ka’ab bin Asad berkhianat. Hal ini membuat umat Islam makin terjepit.
Setelah sebulan pengepungan, angin dan badai turun amat kencang, menghantam dan menerbangkan kemah-kemah dan seluruh perlengkapan tentara sekutu. Mereka terpaksa menghentikan pengepungan dan kembali ke negeri masing-masing tanpa hasil apa pun. Sementara itu, pengkhianat-pengkhianat Yahudi Bani Quraizah dijatuhi hukuman berat, hukuman mati.
Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, Nabi memimpin sekitar seribu kaum muslimin berangkat ke Mekah, bukan untuk berperang, melainkan untuk melakukan ibadah Umrah. Karena itu, mereka mengenaka npakaian ihram tanpa membawa renjata. Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah, beberapa kilometer dari Makkah.
Penduduk Mekah tidak mengizinkan mereka masuk kota. Akhirnya, diadakan perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah yang isinya antara lain:
(1) kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah tahun ini tetapi ditangguhkan sampai tahun depan,
(2) lama kunjungan dibatasi sampai tiga hari saja
(3) kaum muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah, sedang sebaliknya pihak Quraisy membolehkan orang-orang Madinah yang kembali ke Mekah,
(4) selama sepuluh tahun diberlakukan genjatan senjataantara masyarakat Madinah dan
Mekah,dan
(5) tiap Kabilah yang ingin masuk ke dalam persekutuan kaum Quraisy atau kaum muslimin, bebas melakukannya tanpa mendapat rintangan.
Kesediaan orang-orang Mekah untuk berunding dan membuat perjanjian dengan kaum muslimin itu benar-benar merupakan kemenangan diplomatik yang besar bagi umat Islam. Dengan perjanjian ini, harapan untuk mengambil alih Ka’bah dan menguasai Mekah sudah makin terbuka. Nabi memang sudah sejak lama berusaha merebut dan menguasai Mekah agar dapat menyiarkan Islam ke daerah-daerah lain. Ini merupakan
target utama beliau.
Ada dua faktor pokok yang mendorong kebijaksanaan ini:
Pertama, Mekah adalah pusat keagamaan bangsa Arab dan melalui konsolidasi bangsa Arab dalam Islam, Islam bisa tersebar keluar.
Kedua, apabila suku Nabi sendiri dapat diislamkan, Islam akan memperoleh dukungan yang kuat karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar.
Setahun kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai dengan rencana. Banyak orang Quraisy yang masuk Islam setelah menyaksikan kemajuankemajuan yang dicapai oleh masyarakat Islam Madinah.
Tahun Perutusan 1
Genjatan senjata telah memberi kesempatan kepada Nabi untuk menoleh berbagai negeri lain sambil memikirkan bagaimana cara mengislamkan mereka. Salah satu cara yang ditempuh Nabi adalah mengirim utusan dan surat kepada kepala-kepala negara dan pemerintahan. Di antara raja-raja yang dikirimi surat ialah raja Ghassan, Masir, Abesinia, Persia, dan Romawi. Namun, tak seorangpun yang masuk Islam. Ada yang menolak dengan baik dan simpati, tetapi ada juga yang menolak dengan kasar, seperti yang diperlihatkan oleh raja Ghassan. Utusan yang dikirim Nabi dibunuh dengan kejam oleh raja Ghassan.
Perang Mut’ah
Untuk membalas perlakuan ini, Nabi mengirim pasukan perang sebanyak tiga ribu orang. Peperangan terjadi di Mu’tah, sebelah utara lazirah Arab. Pasukan Islam mendapat kesulitan menghadapi tentara Ghassan yang mendapat bantuan dari Romawi. Beberapa pahlawan gugur melawan pasukan berkekuatan ratusan ribu orang itu. Melihat kenyataanyang tidak berimbang ini, Khalid ibn Walid, yang sudah masuk Islam, mengambil alih komando dan memerintahkan pasukan untuk menarik diri dan kembali ke Madinah.
Selama dua tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, dakwah Islam sudah menjangkau seluruh Jazirah Arab dan mendapat tanggapan yang positif. Hampir seluruh Jazirah Arab, termasuk suku-suku yang paling selatan, menggabungkan diri dalam Islam.
Hal ini membuat orang-orang Mekah merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah ternyata menjadi senjata bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya. Oleh karena itu, secara sepihak orang-orang kafir Quraisy membatalkan perjanjian tersebut.
Penaklukan Mekah
Melihat kenyataan ini, Rasulullah segera bertolak ke Mekah dengan sepuluh ribu orang tentara untuk melawan mereka. Nabi Muhammad tidak mengalami kesukaran apa-apa dan memasuki kota Mekah tanpa perlawanan. Beliau tampil sebagai pemenang. Patung-patung berhala di seluruh negeri dihancurkan. Setelah itu, Nabi berkhotbah menjanjikan ampunan Tuhan terhadap kafir Quraisy. Sesudah khotbah disampaikan, mereka datang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Sejak itu, Mekah berada di bawah kekuasaan Nabi.
Perang Hunain
Sekalipun Mekah dapat dikalahkan, masih ada dua suku Arab yang masih menentang, yaitu Bani Tsaqif di Taif dan Bani Hawazin di antara Taif dan Mekah. Kedua suku ini berkomplot membentuk pasukan untuk memerangi Islam. Mereka ingin menuntut bela atas mereka yang diruntuhkan Nabi dan umat Islam di berhala-berhala Ka’bah.
Nabi mengerahkan kira-kira 12.000 tentara menuju Hunain untuk menghadapi mereka. Pasukan ini dipimpin langsung oleh beliau sehingga umat Islam memenangkan pertempuran dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dengan ditaklukkannya Bani Tsaqif dan Bani Hawazin, seluruh Jazirah Arab berada di bawah kepemimpinan Nabi.
Perang Tabuk
Melihat kenyataan ini, Heraklius menyusun pasukan besardi utara Jazirah Arab, Syria, yang merupakan daerah pendudukan Romawi. Dalam pasukan besar itu bergabung Bani Ghassan dan Bani Lachmides.
Untuk menghadapi pasukan Heraklius ini banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri siap berperang bersama Nabi sehingga terhimpun pasukan Islam yang besar pula. Melihat besarnya pasukan Islam yang dipimpin Nabi, tentara Romawi itu menjadi kecut. Akhirnya mereka menarik diri, kembali ke daerahnya. Nabi sendiri tidak melakukan pengejaran, tetapi berkemah di Tabuk.
Di sini beliau membuat beberapa perjanjian dengan penduduk setempat. Dengan demikian, daerah perbatasan itu dapat dirangkul ke dalam barisan Islam. Perang Tabuk merupakan perang terakhir yang diikuti Rasulullah SAW.
Tahun Perutusan 2
Pada tahun 9 dan 10 H (630-632M) banyak suku dari berbagai pelosok Arab mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad menyatakan ketundukan mereka. Masuknya orang Mekah ke dalam agama Islam rupanya mempunyai pengaruh yang amat besar pada penduduk padang pasir yang liar itu. Tahun ini disebut dengan tahun perutusan. Persatuan bangsa Arab telah terwujud; peperangan antar suku yang berlangsung sebelumnya telah berubah menjadi persaudaraan seagama.
Haji Wada’
Dalam kesempatanmenunaikan ibadah haji yang terakhir, haji wada’, tahun 10 H (631 M), Nabi saw menyampaikan khotbahnya yang sangat bersejarah.Isi khotbah itu antara lain:
larangan menumpahkan darah kecuali dengan haq dan larangan mengambil harta orang lain dengan batil, karena nyawa dan harta benda adalah suci;
larangan riba dan larangan menganiaya;
perintah untuk memperlakukan para istri dengan baik dan lemah lembut dan perintah menjauhi dosa;
semua pertengkaran antara mereka di zaman Jahiliyah harus saling dimaafkan;
balas dendam dengan tebusan darah sebagaimana berlaku di zaman Jahiliyah tidak lagi dibenarkan;
persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan; hamba sahaya harus diperlakukan dengan baik, mereka makan seperti apa yang dimakan tuannya dan memakai seperti apa yang dipakai tuannya;
dan yang terpenting adalah bahwa umat Islam harus selalu berpegang kepada dua sumber yang tak pernah usang, Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Isi khotbah ini merupakan prinsip-prinsip yang mendasari gerakan Islam. Selanjutnya, prinsip-prinsip itu bila disimpulkan adalah kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi ,kebajikan dan solidaritas.
Wafatnya Rasulullah saw.
Setelah itu, Nabi saw segera kembali ke Madinah. Beliau mengatur organisasi masyarakat kabilah yang telah memeluk agama Islam. Petugas keagamaan dan para dai dikirim ke berbagai daerah dan kabilah untuk mengajarkan ajaran-ajaran islam, mengatur peradilan,dan memungut zakat.
Dua bulan setelah itu, Nabi saw menderita sakit demam. Tenaganya dengan cepat berkurang .Padahari senin, tanggal 12 Rabi’ul Awal 11 H / 8 Juni 632 M, Rasulullah SAW wafat di rumah istrinya Aisyah ra.
Dari perjalanan sejarah Nabi ini, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW, di samping sebagai pemimpin agama, juga seorang negarawan, pemimpin politik dan administrasi yang cakap. Hanya dalam waktu sebelas tahun menjadi pemimpin politik, beliau berhasil menundukkan seluruh jazirah Arab ke dalam kekuasaannva.
Salallahu ‘ala Muhammad, salallahu ‘alaihi wassalam.
.
Sumber:
Dr. Badri Yatim, MA, “Sejarah Peradaban Islam”, PT RajaGrafindo Persada, 2003, Jakarta.
PERJALANAN
Minggu, 11 September 2011
MAULID: Riwayat Hidup (Sangat Ringkas) Rasulullah SAW (3)
3. Masa Kerasulan di era Makkah
Menjelang usianya yang keempat puluh, dia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, beberapa kilometer di utara Mekah. Di sana Beliau mula-mula berjam-jam kemudian berhari-hari bertafakkur.
Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, Malaikat Jibril muncul di hadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama:
“BacalahdengannamaTuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu itu Maha Mulia. Dia telah mengajar dengan Qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui” (QS 96: 15).
Dengan turunnya wahyu pertama itu, berarti beliau telah dipilih Tuhan sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama. Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’.
Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya. Wahyu itu berbunyi sebagai berikut:
“Hai orang yang berselimut, bangun dan beri ingatlah. Hendaklah engkau besarkan Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan)yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah” (al-Muddatstsir:1-7).
Berdakwah diam-diam
Dengan turunnya perintah itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya.
Mula-mula istrinya sendiri, Khadijah, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Thalib yangbaru berumur 10 tahun. Kemudian, Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak .Lalu Zaid, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh Nabi sejak ibunya Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam.
Sebagai seorang pedagang yang berpengaruh, Abu Bakar berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya, seperti Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin’ Auf, Sa’ ad bin Abi Waqqash,dan Thalhah bin Ubaidillah. Mereka dibawa Abu Bakar langsung kepada Nabi dan masuk Islam di hadapan Nabi sendiri. Dengan dakwah secara diam-diam ini, belasan orang telah memeluk agama Islam.
Berdakwah Secara Terbuka
Setelah beberapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara individual turunlah perintah agar Nabi menjalankan dakwah secara terbuka.
Mula-mula ia mengundang dan menyeru kerabat karibnya dari Bani Abdul Muthalib. Ia mengatakan kepada mereka,
“Saya tidak melihat seorang pun di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Kubawakan kepadamu dunia dan akhirat yangterbaik.Tuhan memerintahkan saya mengajak kalian semua. Siapakah di antara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini?”.
Mereka semua menolak kecuali Ali.
Langkah dakwah seterusnya yang diambil Muhammad adalah menyeru masyarakat umum. Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam dengan terang-terangan, baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya.
Mula-mula ia menyeru penduduk Mekah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Di samping itu, ia juga menyeru orang-orang yangdatangke Mekah, dari berbagai negeri untuk mengerjakan haji. Kegiatan dakwah dijalankannya tanpa mengenal lelah. Dengan usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat.
Jumlah pengikut Nabi yang tadinya hanya belasan orang, makin hari makin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang yang tak punya. Meskipun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang lemah, namun semangat mereka sungguh membaja.
Setelahd akwah terang-terangan pemimpin Quraisy mulai berusaha menghalangi dakwah Rasul. Semakin bertambahnya jumlah pengikut Nabi semakin keras tantangan dilancarkan kaum Quraisy.
Beberapa literatur menerangkan, ada lima faktor yang mendorong orang Quraisy menentang seruan Islam itu.
( 1) Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan.
(2) Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disukai Quraisy.
(3)Para pemimpinQuraisy disetujui oleh kelas bangsawan tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
(4) Taklid kepada nenek moyang adalah Kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.
(5) Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi saw. Pertama-tama mereka mengira bahwa kekuatan Nabi terletak pada perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang amat disegani itu. Karena itu mereka menyusunsiasat bagaimana melepaskan hubunganNabi dengan Abu Thalib dan mengancam denganmengatakan:
“Kami minta Anda memilih satu di antara dua: Memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau Anda menyerahkannya kepada kami. Dengan demikian, Anda akan terhindar dari kesulitan yang tidak diinginkan”.
Nampaknya Abu Thalib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentika ndakwahnya. Namun, Nabi menolak dengan mengatakan:
“Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan mengucilkan saya”.
Abu Thalib sangat terharu Mendengar jawaban kemenakann yaitu, kemudian berkata: “Teruskanlah,demi Allah aku akan terus membelamu”.
Merasa gagal dengan cara ini, kaum Quraisy kemudian mengutus Walid ibn Mughirah dengan membawa Umarah ibn Walid, seorangpemuday ang gagahdantampan,untuk dipertukarkan dengan Nabi Muhammad. Walid bin Mughirah berkata kepada Abu Thalib: “Ambillah dia menjadi anak Saudara, tetapi serahkan Muhammad kepada kami untuk kami bunuh”. Usul ini tentu saja ditolak keras oleh Abu Thalib.
Untuk kali berikutnya mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka mengutus Utbah ibn Rabiah, seorang ahli retorika,untuk membujuk Nabi. Mereka menawarkan tahta, wanita, dan harta asal Nabi Muhammad bersedia menghentikan dakwahnya. Semuatawaranitu ditolak Muhammad denganmengatakan:
“Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya”.
Setelah cara-cara diplomatik dan bujuk rayu yang dilakukan oleh kaum Quraisy gagal, tindakan-tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah dilakukan semakin ditingkatkan. Tindakan kekerasan itu Iebih intensif dilaksanakan setelah mereka mengetahui bahwa di lingkungan rumah tangga mereka sendiri sudah ada yangmasuk Islam.
Budak-budak yang selama ini mereka anggap sebagai harta,sekarang sudah ada yang masuk Islam dan mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan tuan mereka. Budak-budak itu disiksa tuannya dengan sangat kejam. Para pemimpin Quraisy juga mengharuskan setiap keluarga untuk menyiksa anggota keluarganya yang masuk Islam sampai dia murtad kembali.
Hijrah Yang Pertama Para Sahabat
Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekah terhadap kaum muslimin itu, mendorong Nabi Muhammad untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya ke luar Mekah. Pada tahun kelima kerasulannya, Nabi menetapkan Habsyah (Ethiopia)sebagai negeri tempat pengungsian, karenaNegus (raja) negeri itu adalah seorang yang adil.
Rombongan pertama sejumlah sepuluh orang pria dan empat orang wanita, di antaranya Usman bin Affan beserta istrinya Rukayah puteri Rasulullah, Zubair ibn Awwam dan Abdurrahman ibn ‘Auf.
Kemudian menyusul rombongan kedua. Sejumlah hampir seratus orang, dipimpin oleh Ja’far ibn Abu Thalib. Usaha orang-orang Quraisy untuk menghalangi hijrah ke Habsyah ini, termasuk membujuk Negus agar menolak kehadiran umat Islam di sana, gagal.
Di sampingitu, semakinkejam mereka memperlakukan umat Islam, semakin banyak orang yang masuk Agama ini. Bahkan, di tengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang kuat Quraisy masuk Islam, Hamzah dan Umar ibn Khathab.
Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi umat Islam Semakin kuat.
Boikot Terhadap Bany Hasyim
Menguatnya posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum musyrik Quraisy. Mereka menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatanMuhammad yang bersandar pada perlindungan Bani Hasyim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Muhammad mereka harus melumpuhkan Bani Hasyim terlebih dahulu secara keseluruhan.
Cara yang ditempuh ialah pemboikotan. Mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang penduduk Mekah pun diperkenankan melakukan hubungan jual beli dengan Bani Hasyim. Persetujuan dibuat dalam bentuk piagamdan ditandatangani bersama dan disimpan di dalam Ka’bah.
Akibat boikot tersebut, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan dan kesengsaraan yang tak ada bandingannya. Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya pindahke suatu lembah di luar kota Mekah. Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsung selama tiga tahun. Ini merupakan tindakan paling menyiksa dan melemahkanumat Islam.
Pemboikotan itu baru berhenti setelah beberapa pemimpin Quraisy menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang keterlaluan.Setelahboikot dihentikan, Bani Hasyim seakan dapat bernafas kembali dan pulang ke rumah masing-masing.
Tahun Kesedihan dan Isra’ Mikraj
Namun, tidak lama kemudian Abu Thalib, paman Nabi yang merupakan pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari setelahitu, Khadijah, istri Nabi, meninggal dunia pula. Persitiwa itu terjadi padatahun kesepuluh kenabian. Tahun ini merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad SAW.
Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraisy tidak segan-segan lagi melampiaskan nafsu amarahnya terhadap Nabi.
Melihat reaksi penduduk Mekah demikian rupa, Nabi kemudian berusaha menyebarkan Islam ke luar kota. Namun, di Thaif ia diejek, disoraki, dan dilempari batu, bahkan sampai terluka di bagian kepala dan badannya.
Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah mengisra’ dan memikrajkan beliau pada tahun ke-10 kenabian itu. Berita tentang Isra’ dan Mikraj ini menggemparkan masyarakat Mekah. Bagi orang kafir, ia dijadikan bahan propaganda untuk mendustakan Nabi. Sedangkan bagi orang yang beriman, ia merupakan ujian keimanan.
Setelah peristiwa Isra’ dan Mikraj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam muncul.
Hijrah ke Yatsrib (Madinah)
Perkembangan mana datang dari sejumlah penduduk Yatsrib yang berhaji ke Mekah. Mereka, yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang.
Pertama, pada tahun kesepuluh kenabian, Beberapa orang Khazraj berkata kepada Nabi:
“Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antarasuku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benarmerindukan perdamaian. Kiranya Tuhan mempersatukanmerekakembali dengan perantaraan engkau dan ajaran-ajarunyang engkau bawa. Oleh karena ifu, kami akan berdakwah agar mereka mengetahuiagama yang kami terima dari engkauini “.
Mereka giat mendakwahkan Islamdi Yatsrib.
Kedua, pada tahun ke dua belas kenabian delegasiYatsrib, terdiri dari sepuluhorang suku Khazrajdan dua orang suku Aus serta seorang wanita menemui Nabi di suatu tempat bemama Aqabah.Di hadapan Nabi merekamenyatakan ikra rkesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke Yastrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja diutus Nabi atas permintaan Mereka .Ikrar ini disebut denganperjanjian”Aqabah Pertama”.
Pada musim haji berikutnya, jamaahhaji yang datangdari Yastrib Berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yatsrib, mereka meminta Pada Nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan Membela Nabi dari segala ancaman.Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini disebut perjanjian ‘Aqabah kedua.
Setelah kaum musyrikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi dan orang-orang Yatsrib itu, mereka kian giat melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin. Hal ini membuat Nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib.
Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan kota Mekah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal di Mekah bersama Nabi. Keduanya membela dan menemani Nabi sampai ia pun berhijrah ke Yatsrib karena kafir Quraisy sudah merencanakan akan membunuhnya.
Dalam perjalanan ke Yatsrib Nabi ditemani oleh Abu Bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Yatsrib, Nabi istirahat beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kalsum bin Hindun.
Di halaman rumah ini Nabi membangun sebuah mesjid. Inilah mesjid pertama yang dibangun Nabi, sebagai pusat peribadatan. Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan Nabi, setelah menyelesaikan Segala urusan di Mekah.
Sementara itu, penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu yang mereka tunggu-tunggu itu tiba. Nabi memasuki Yatsrib dan penduduk kota ini mengelu-elukan kedatangan beliau dengan penuh kegembiraan.
Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap Nabi, nama kota Yatsrib diubah menjadi Madinatun Nabi (kota Nabi) atau sering pula disebut Madinatul Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia. Dalam istilah sehari-hari, kota ini cukup disebut Madinah saja.
.
Menjelang usianya yang keempat puluh, dia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkontemplasi ke gua Hira, beberapa kilometer di utara Mekah. Di sana Beliau mula-mula berjam-jam kemudian berhari-hari bertafakkur.
Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, Malaikat Jibril muncul di hadapannya, menyampaikan wahyu Allah yang pertama:
“BacalahdengannamaTuhanmu yang telah mencipta. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu itu Maha Mulia. Dia telah mengajar dengan Qalam. Dia telah mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui” (QS 96: 15).
Dengan turunnya wahyu pertama itu, berarti beliau telah dipilih Tuhan sebagai Nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama. Setelah wahyu pertama itu datang, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu datang ke gua Hira’.
Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya. Wahyu itu berbunyi sebagai berikut:
“Hai orang yang berselimut, bangun dan beri ingatlah. Hendaklah engkau besarkan Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan)yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu bersabarlah” (al-Muddatstsir:1-7).
Berdakwah diam-diam
Dengan turunnya perintah itu, mulailah Rasulullah berdakwah. Pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya.
Mula-mula istrinya sendiri, Khadijah, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Thalib yangbaru berumur 10 tahun. Kemudian, Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak .Lalu Zaid, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh Nabi sejak ibunya Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam.
Sebagai seorang pedagang yang berpengaruh, Abu Bakar berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya, seperti Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin’ Auf, Sa’ ad bin Abi Waqqash,dan Thalhah bin Ubaidillah. Mereka dibawa Abu Bakar langsung kepada Nabi dan masuk Islam di hadapan Nabi sendiri. Dengan dakwah secara diam-diam ini, belasan orang telah memeluk agama Islam.
Berdakwah Secara Terbuka
Setelah beberapa lama dakwah tersebut dilaksanakan secara individual turunlah perintah agar Nabi menjalankan dakwah secara terbuka.
Mula-mula ia mengundang dan menyeru kerabat karibnya dari Bani Abdul Muthalib. Ia mengatakan kepada mereka,
“Saya tidak melihat seorang pun di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Kubawakan kepadamu dunia dan akhirat yangterbaik.Tuhan memerintahkan saya mengajak kalian semua. Siapakah di antara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini?”.
Mereka semua menolak kecuali Ali.
Langkah dakwah seterusnya yang diambil Muhammad adalah menyeru masyarakat umum. Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam dengan terang-terangan, baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya.
Mula-mula ia menyeru penduduk Mekah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Di samping itu, ia juga menyeru orang-orang yangdatangke Mekah, dari berbagai negeri untuk mengerjakan haji. Kegiatan dakwah dijalankannya tanpa mengenal lelah. Dengan usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat.
Jumlah pengikut Nabi yang tadinya hanya belasan orang, makin hari makin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang yang tak punya. Meskipun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang lemah, namun semangat mereka sungguh membaja.
Setelahd akwah terang-terangan pemimpin Quraisy mulai berusaha menghalangi dakwah Rasul. Semakin bertambahnya jumlah pengikut Nabi semakin keras tantangan dilancarkan kaum Quraisy.
Beberapa literatur menerangkan, ada lima faktor yang mendorong orang Quraisy menentang seruan Islam itu.
( 1) Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib. Yang terakhir ini sangat tidak mereka inginkan.
(2) Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disukai Quraisy.
(3)Para pemimpinQuraisy disetujui oleh kelas bangsawan tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
(4) Taklid kepada nenek moyang adalah Kebiasaan yang berurat berakar pada bangsa Arab.
(5) Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.
Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi saw. Pertama-tama mereka mengira bahwa kekuatan Nabi terletak pada perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang amat disegani itu. Karena itu mereka menyusunsiasat bagaimana melepaskan hubunganNabi dengan Abu Thalib dan mengancam denganmengatakan:
“Kami minta Anda memilih satu di antara dua: Memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau Anda menyerahkannya kepada kami. Dengan demikian, Anda akan terhindar dari kesulitan yang tidak diinginkan”.
Nampaknya Abu Thalib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentika ndakwahnya. Namun, Nabi menolak dengan mengatakan:
“Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan mengucilkan saya”.
Abu Thalib sangat terharu Mendengar jawaban kemenakann yaitu, kemudian berkata: “Teruskanlah,demi Allah aku akan terus membelamu”.
Merasa gagal dengan cara ini, kaum Quraisy kemudian mengutus Walid ibn Mughirah dengan membawa Umarah ibn Walid, seorangpemuday ang gagahdantampan,untuk dipertukarkan dengan Nabi Muhammad. Walid bin Mughirah berkata kepada Abu Thalib: “Ambillah dia menjadi anak Saudara, tetapi serahkan Muhammad kepada kami untuk kami bunuh”. Usul ini tentu saja ditolak keras oleh Abu Thalib.
Untuk kali berikutnya mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka mengutus Utbah ibn Rabiah, seorang ahli retorika,untuk membujuk Nabi. Mereka menawarkan tahta, wanita, dan harta asal Nabi Muhammad bersedia menghentikan dakwahnya. Semuatawaranitu ditolak Muhammad denganmengatakan:
“Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya”.
Setelah cara-cara diplomatik dan bujuk rayu yang dilakukan oleh kaum Quraisy gagal, tindakan-tindakan kekerasan secara fisik yang sebelumnya sudah dilakukan semakin ditingkatkan. Tindakan kekerasan itu Iebih intensif dilaksanakan setelah mereka mengetahui bahwa di lingkungan rumah tangga mereka sendiri sudah ada yangmasuk Islam.
Budak-budak yang selama ini mereka anggap sebagai harta,sekarang sudah ada yang masuk Islam dan mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan tuan mereka. Budak-budak itu disiksa tuannya dengan sangat kejam. Para pemimpin Quraisy juga mengharuskan setiap keluarga untuk menyiksa anggota keluarganya yang masuk Islam sampai dia murtad kembali.
Hijrah Yang Pertama Para Sahabat
Kekejaman yang dilakukan oleh penduduk Mekah terhadap kaum muslimin itu, mendorong Nabi Muhammad untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya ke luar Mekah. Pada tahun kelima kerasulannya, Nabi menetapkan Habsyah (Ethiopia)sebagai negeri tempat pengungsian, karenaNegus (raja) negeri itu adalah seorang yang adil.
Rombongan pertama sejumlah sepuluh orang pria dan empat orang wanita, di antaranya Usman bin Affan beserta istrinya Rukayah puteri Rasulullah, Zubair ibn Awwam dan Abdurrahman ibn ‘Auf.
Kemudian menyusul rombongan kedua. Sejumlah hampir seratus orang, dipimpin oleh Ja’far ibn Abu Thalib. Usaha orang-orang Quraisy untuk menghalangi hijrah ke Habsyah ini, termasuk membujuk Negus agar menolak kehadiran umat Islam di sana, gagal.
Di sampingitu, semakinkejam mereka memperlakukan umat Islam, semakin banyak orang yang masuk Agama ini. Bahkan, di tengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang kuat Quraisy masuk Islam, Hamzah dan Umar ibn Khathab.
Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi umat Islam Semakin kuat.
Boikot Terhadap Bany Hasyim
Menguatnya posisi umat Islam memperkeras reaksi kaum musyrik Quraisy. Mereka menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatanMuhammad yang bersandar pada perlindungan Bani Hasyim. Dengan demikian, untuk melumpuhkan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Muhammad mereka harus melumpuhkan Bani Hasyim terlebih dahulu secara keseluruhan.
Cara yang ditempuh ialah pemboikotan. Mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang penduduk Mekah pun diperkenankan melakukan hubungan jual beli dengan Bani Hasyim. Persetujuan dibuat dalam bentuk piagamdan ditandatangani bersama dan disimpan di dalam Ka’bah.
Akibat boikot tersebut, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan dan kesengsaraan yang tak ada bandingannya. Untuk meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya pindahke suatu lembah di luar kota Mekah. Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7 kenabian ini berlangsung selama tiga tahun. Ini merupakan tindakan paling menyiksa dan melemahkanumat Islam.
Pemboikotan itu baru berhenti setelah beberapa pemimpin Quraisy menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sungguh suatu tindakan yang keterlaluan.Setelahboikot dihentikan, Bani Hasyim seakan dapat bernafas kembali dan pulang ke rumah masing-masing.
Tahun Kesedihan dan Isra’ Mikraj
Namun, tidak lama kemudian Abu Thalib, paman Nabi yang merupakan pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Tiga hari setelahitu, Khadijah, istri Nabi, meninggal dunia pula. Persitiwa itu terjadi padatahun kesepuluh kenabian. Tahun ini merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad SAW.
Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraisy tidak segan-segan lagi melampiaskan nafsu amarahnya terhadap Nabi.
Melihat reaksi penduduk Mekah demikian rupa, Nabi kemudian berusaha menyebarkan Islam ke luar kota. Namun, di Thaif ia diejek, disoraki, dan dilempari batu, bahkan sampai terluka di bagian kepala dan badannya.
Untuk menghibur Nabi yang sedang ditimpa duka, Allah mengisra’ dan memikrajkan beliau pada tahun ke-10 kenabian itu. Berita tentang Isra’ dan Mikraj ini menggemparkan masyarakat Mekah. Bagi orang kafir, ia dijadikan bahan propaganda untuk mendustakan Nabi. Sedangkan bagi orang yang beriman, ia merupakan ujian keimanan.
Setelah peristiwa Isra’ dan Mikraj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam muncul.
Hijrah ke Yatsrib (Madinah)
Perkembangan mana datang dari sejumlah penduduk Yatsrib yang berhaji ke Mekah. Mereka, yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang.
Pertama, pada tahun kesepuluh kenabian, Beberapa orang Khazraj berkata kepada Nabi:
“Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antarasuku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benarmerindukan perdamaian. Kiranya Tuhan mempersatukanmerekakembali dengan perantaraan engkau dan ajaran-ajarunyang engkau bawa. Oleh karena ifu, kami akan berdakwah agar mereka mengetahuiagama yang kami terima dari engkauini “.
Mereka giat mendakwahkan Islamdi Yatsrib.
Kedua, pada tahun ke dua belas kenabian delegasiYatsrib, terdiri dari sepuluhorang suku Khazrajdan dua orang suku Aus serta seorang wanita menemui Nabi di suatu tempat bemama Aqabah.Di hadapan Nabi merekamenyatakan ikra rkesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke Yastrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja diutus Nabi atas permintaan Mereka .Ikrar ini disebut denganperjanjian”Aqabah Pertama”.
Pada musim haji berikutnya, jamaahhaji yang datangdari Yastrib Berjumlah 73 orang. Atas nama penduduk Yatsrib, mereka meminta Pada Nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib. Mereka berjanji akan Membela Nabi dari segala ancaman.Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini disebut perjanjian ‘Aqabah kedua.
Setelah kaum musyrikin Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi dan orang-orang Yatsrib itu, mereka kian giat melancarkan intimidasi terhadap kaum muslimin. Hal ini membuat Nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yatsrib.
Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan kota Mekah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal di Mekah bersama Nabi. Keduanya membela dan menemani Nabi sampai ia pun berhijrah ke Yatsrib karena kafir Quraisy sudah merencanakan akan membunuhnya.
Dalam perjalanan ke Yatsrib Nabi ditemani oleh Abu Bakar. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar lima kilometer dari Yatsrib, Nabi istirahat beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kalsum bin Hindun.
Di halaman rumah ini Nabi membangun sebuah mesjid. Inilah mesjid pertama yang dibangun Nabi, sebagai pusat peribadatan. Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan Nabi, setelah menyelesaikan Segala urusan di Mekah.
Sementara itu, penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Waktu yang mereka tunggu-tunggu itu tiba. Nabi memasuki Yatsrib dan penduduk kota ini mengelu-elukan kedatangan beliau dengan penuh kegembiraan.
Sejak itu, sebagai penghormatan terhadap Nabi, nama kota Yatsrib diubah menjadi Madinatun Nabi (kota Nabi) atau sering pula disebut Madinatul Munawwarah (kota yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia. Dalam istilah sehari-hari, kota ini cukup disebut Madinah saja.
.
MAULID: Riwayat Hidup (Sangat Ringkas) Rasulullah SAW (2)
2. Sebelum Masa Kerasulan
Keluarga Nabi saw
Nabi SAW adalah anggota Bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Kabilah ini memegang jabatan siqayah. Nabi Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernamaAbdullah anak Abdul Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah.
Kelahiran beliau saw
Tahun kelahiran Nabi dikenal dengan nama tahun gajah (570 M). Dinamakan demikian karena pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi (Ethiopia), dengan menunggang gajah menyerbu Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Beliau lahir dalam keadaan yatim karena ayahnya
Abdullah, meninggal dunia tiga bulan setelah dia menikahi Aminah. Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyyah. Dalam asuhannyalahMuhammad dibesarkan sampai usia empat tahun.
Setelah itu, kurang lebih dua tahun dia berada dalam asuhan ibu kandungnya. Ketika berusia enam tahun, dia menjadi yatim piatu. Seakan-akan Allah ingin melaksanakan sendiri pendidikan Muhammad, orang yang dipersiapkan untuk membawa risalah-Nya yang terakhir. Allah berfirman:
“Bukankah Allah mendapatimu sebagaianakyatim, lalu Dia melindungimu. Dan Allah mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk” (QS 95:6-7).
Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthalib mengambilalih tanggungjawab merawat Muhammad. Namun, dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia karena renta. langgung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abu Thalib. Seperti juga Abdul Muthalib, dia sangat disegani dan dihormati orang Quraisy dan penduduk Mekah secara keseluruhan, tetapi dia miskin.
Masa Muda
Dalam usia muda Beliau hidup sebagai penggembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Melalui kegiatan pengembalaan ini dia menemukan tempat untuk berpikir dan merenung.Dalam suasana demikian, dia ingin melihat sesuatu ai balik semuanya. Pemikiran dan perenungan ini membuatnya jauh dari segala pemikiran nafsu duniawi, sehingga ia rerhindar dari berbagai macam noda yang dapat merusak namanya.
Karena itu sejak muda ia sudah dijuluki al-amin, orang yang terpercaya.
Nabi Muhammad ikut untuk pertama kali dalam kafilah dagang ke Syria (Syam) dalam usia baru 12 tahun. Kafilah itu dipimpin oleh Abu Thalib. Dalam perjalanan ini, di Bushra, sebelah selatanSyria, ia bertemu dengan pendeta Kristen bernama Buhairah.
Pendeta ini melihat tanda-tanda kenabian pada Beliau Suai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan bahwa pendeta itu menasehatkan Abu Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki daerah Syria, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadapnya.
Pada usia yang ke dua puluh lima, Beliau berangkat ke Syria membawa barang dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda, Khadijah. Dalam perdagangan ini, beliau memperoleh laba yang besar.
Menikah dengan Khadijah ra
Khadijah kemudian melamarnya.Lamaran itu diterima dan perkawinan segera dilaksanakan.Ketika itu Beliau berusia 25 tahun dan khadijah 40 tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, Khadijah adalah wanita pertama yang masuk Islam dan banyak membantu Nabi dalam nerjuanganmenyebarkanIslam.
Perkawinan bahagia dan saling Mencintai itu dikaruniai enam orang anak; dua putera dan empat puteri: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kulsum, dan Fatimah. Kedua puteranya meninggal waktu kecil. Nabi Muhammad tidak kawin lagi sampai Khadijah meninggal ketika Beliau berusia 50 tahun.
Peristiwa penting yang memperlihatkan kebijaksanaan Beliau terjadi pada saat usianya 35 tahun. Waktu itu bangunan Ka’bahrusak berat.PerbaikanKabah dilakukan secara gotong royong. Para penduduk Mekah membantu pekerjaan itu dengan sukarela.Tetapi pada saat terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakkan hajar aswad di tempatnya semula, timbul perselisihan. Setiap suku merasa berhak melakukan tugas terakhir dan terhormat itu. Perselisihan semakin memuncak, namun akhimya para pemimpin Quraisy sepakat bahwa orang yang pertama masuk ke Ka’bah melalui pintu Shafa, akan dijadikan hakim untuk memutuskan perkara ini.
Ternyata, orangyangpertama masuk itu adalah beliau. Ia pun dipercaya menjadi hakim. Ia lantas membentangkan kain dan meletakkan hajar aswad di tengah-tengah, lalu meminta seluruh kepala suku memegang tepi kain itu dan mengangkatnya bersama-sama. Setelah sampai di dekat asal batu itu, beliau kemudian meletakkan batu itu pada tempatnya semula. Dengan demikian, perselisihan dapat diselesaikan dengan bijaksana, dan semua kepala suku merasa puas dengan cara penyelesaian seperti itu.
.
Wallahu a’lam.
Keluarga Nabi saw
Nabi SAW adalah anggota Bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Kabilah ini memegang jabatan siqayah. Nabi Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernamaAbdullah anak Abdul Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah.
Kelahiran beliau saw
Tahun kelahiran Nabi dikenal dengan nama tahun gajah (570 M). Dinamakan demikian karena pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi (Ethiopia), dengan menunggang gajah menyerbu Mekah untuk menghancurkan Ka’bah. Beliau lahir dalam keadaan yatim karena ayahnya
Abdullah, meninggal dunia tiga bulan setelah dia menikahi Aminah. Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyyah. Dalam asuhannyalahMuhammad dibesarkan sampai usia empat tahun.
Setelah itu, kurang lebih dua tahun dia berada dalam asuhan ibu kandungnya. Ketika berusia enam tahun, dia menjadi yatim piatu. Seakan-akan Allah ingin melaksanakan sendiri pendidikan Muhammad, orang yang dipersiapkan untuk membawa risalah-Nya yang terakhir. Allah berfirman:
“Bukankah Allah mendapatimu sebagaianakyatim, lalu Dia melindungimu. Dan Allah mendapatimu sebagai orang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk” (QS 95:6-7).
Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthalib mengambilalih tanggungjawab merawat Muhammad. Namun, dua tahun kemudian Abdul Muthalib meninggal dunia karena renta. langgung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya, Abu Thalib. Seperti juga Abdul Muthalib, dia sangat disegani dan dihormati orang Quraisy dan penduduk Mekah secara keseluruhan, tetapi dia miskin.
Masa Muda
Dalam usia muda Beliau hidup sebagai penggembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Melalui kegiatan pengembalaan ini dia menemukan tempat untuk berpikir dan merenung.Dalam suasana demikian, dia ingin melihat sesuatu ai balik semuanya. Pemikiran dan perenungan ini membuatnya jauh dari segala pemikiran nafsu duniawi, sehingga ia rerhindar dari berbagai macam noda yang dapat merusak namanya.
Karena itu sejak muda ia sudah dijuluki al-amin, orang yang terpercaya.
Nabi Muhammad ikut untuk pertama kali dalam kafilah dagang ke Syria (Syam) dalam usia baru 12 tahun. Kafilah itu dipimpin oleh Abu Thalib. Dalam perjalanan ini, di Bushra, sebelah selatanSyria, ia bertemu dengan pendeta Kristen bernama Buhairah.
Pendeta ini melihat tanda-tanda kenabian pada Beliau Suai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan bahwa pendeta itu menasehatkan Abu Thalib agar jangan terlalu jauh memasuki daerah Syria, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadapnya.
Pada usia yang ke dua puluh lima, Beliau berangkat ke Syria membawa barang dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda, Khadijah. Dalam perdagangan ini, beliau memperoleh laba yang besar.
Menikah dengan Khadijah ra
Khadijah kemudian melamarnya.Lamaran itu diterima dan perkawinan segera dilaksanakan.Ketika itu Beliau berusia 25 tahun dan khadijah 40 tahun. Dalam perkembangan selanjutnya, Khadijah adalah wanita pertama yang masuk Islam dan banyak membantu Nabi dalam nerjuanganmenyebarkanIslam.
Perkawinan bahagia dan saling Mencintai itu dikaruniai enam orang anak; dua putera dan empat puteri: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kulsum, dan Fatimah. Kedua puteranya meninggal waktu kecil. Nabi Muhammad tidak kawin lagi sampai Khadijah meninggal ketika Beliau berusia 50 tahun.
Peristiwa penting yang memperlihatkan kebijaksanaan Beliau terjadi pada saat usianya 35 tahun. Waktu itu bangunan Ka’bahrusak berat.PerbaikanKabah dilakukan secara gotong royong. Para penduduk Mekah membantu pekerjaan itu dengan sukarela.Tetapi pada saat terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakkan hajar aswad di tempatnya semula, timbul perselisihan. Setiap suku merasa berhak melakukan tugas terakhir dan terhormat itu. Perselisihan semakin memuncak, namun akhimya para pemimpin Quraisy sepakat bahwa orang yang pertama masuk ke Ka’bah melalui pintu Shafa, akan dijadikan hakim untuk memutuskan perkara ini.
Ternyata, orangyangpertama masuk itu adalah beliau. Ia pun dipercaya menjadi hakim. Ia lantas membentangkan kain dan meletakkan hajar aswad di tengah-tengah, lalu meminta seluruh kepala suku memegang tepi kain itu dan mengangkatnya bersama-sama. Setelah sampai di dekat asal batu itu, beliau kemudian meletakkan batu itu pada tempatnya semula. Dengan demikian, perselisihan dapat diselesaikan dengan bijaksana, dan semua kepala suku merasa puas dengan cara penyelesaian seperti itu.
.
Wallahu a’lam.
MAULID: Riwayat Hidup (Sangat Ringkas) Rasulullah SAW (1)
Beberapa literatur kisah hidup baginda Nabi saw dituliskan secara panjang lebar dan detail. Jarang ada buku ataupun kitab maulid yang mengungkapkan kisah hidup beliau saw secara menyeluruh namun ringkas. Tulisan ini mencoba merumuskan hal ini.
Tulisan ini direncanakan menjadi 4 (empat) bagian. Bagian pertama adalah pre-kondisi tanah Arab sebelum kelahiran baginda Nabi saw. Kemudian adalah masa sebelum kerasulan beliau. Yang ke tiga adalah masa kerasulan di era Makkah. Yang terakhir adalah masa kerasulan beliau saw di era Madinah sampai meninggalnya beliau. Insya Allah.
Semoga manfaat.
1. Pre-kondisi Sebelum Kelahiran Nabi saw
Geografis Tanah Arab
Ketika Nabi Muhammad SAW lahir (570 M), Mekah adalah Sebuah kota yang sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan Yaman di selatan dan Syria di utara. Dengan adanya Ka’bah di tengah kota, Mekah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala mengelilingi berhala utama, Hubal. Mekah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi.
Biasanya, dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami bangsaArab sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada Jazirah Arab, padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah di sekitar Jazirah. Jazirah Arab memang merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu.
Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Di sana tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah berair di musim hujan. Sebagian besar daerah jazirah adalah padang pasir Saharayang terletakdi tengah dan memiliki keadaandan sifat yang berbeda-beda, karena itu ia bisa dibagi menjadi tiga bagian:
1. Sahara Langit memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga Sahara Nufud. Oase Dan mata air sangat jarang, tiupan angin seringkali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
2. Sahara Selatan yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan al-Rub’al-khali (Bagian yang sepi).
3. Sahara Harrat, suatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang Berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di keluasan Saharaini, seluruhnya mencapai 29 buah.
Penduduk Sahara sangat sedikit terdiri dari suku-suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan dan nomadik, berpindah dari satu daerah ke daerahlain guna mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka, kambing dan onta.
Adapun daerah pesisir, bila dibandingkan dengan Sahara Sangat kecil, bagaikan selembar pita yang mengelilingi jazirah. Penduduk sudah hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga. Karenaitu, mereka sempat membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan.
Demografi
Bila dilihat dari asal usul keturunan, penduduk Jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu Qahthaniyun (keturunan Qahthan) dan ‘Adnaniyun (keturunan Ismail ibn Ibrahim). Pada mulanya wilayah utara diduduki golongan’Adnaniyun, dan wilayah selatan didiami golongan Qahthaniyfin. Akan tetapi, lama kelamaan kedua golongan itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya. Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas.
Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (tibe) dan dipimpin oleh seorang syekh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku.
Mereka suka berperang. Karena itu, peperangan antar suku sering sekali terjadi. Sikap ini nampaknya telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab. Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai wanita menjadi sangat rendah. Situasi seperti ini terus berlangsung sampai agama Islam lahir. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan terus menerus. Pada sisi yang lain, meskipun masyarakat Badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syekh atau amir (ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu. Di luar itu, syekh atau amir tidak kuasa mengatur anggota kabilahnya.
Budaya dan Peradaban
Akibat peperangan yang terus menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra-Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Syalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahuidari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam. Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Badui Arab dapat diketahui, antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu, Masyarakat Badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh penduduk Badui adalah penyair.
Lain halnya dengan penduduk negeri yang telah berbudaya dan mendiami pesisir Jazirah Arab, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahansesuai dengan perubahan situasidan kondisi yang mengitarinya. Mereka mampu membuat alat-alat dari besi, bahkan mendirikan kerajaankerajaan. Sampai kehadiran Nabi Muhammad, kota-kota mereka masih merupakan kota-kota perniagaan, dan memang Jazirah Arab ketika itu merupakan daerah yang terletak pada jalur perdagangan yang menghubungkan antara Syam dan Samudera India.
Sebagaimana masyarakat Badui, penduduk negeri ini juga mahir menggubah syair. Biasanya syair-syair itu dibacakan di pasarpasar ,mungkin semacam pagelaran pembacaan syair, seperti di pasar ‘Ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata bahasa, dan kiasan.
Melihat bahasa dan hubungan dagang bangsa Arab, tidak mungkin bangsa Arab tidak pernah memiliki peradaban yang tinggi, apalagi hubungan dagang itu berlangsung selama 2000 tahun. Arab ikut memberi saham dalam peradaban dunia, sebelum mereka bangkit kembali pada masa Islam.
Kerajaan-Kerajaan Sekitar
Golongan Qahthaniyfin, misalnya, pernah Mendirikan kerajaan Saba’ dan kerajaan Himyardi Yaman, bagian selatan jazirah Arab. Kerajaan Saba’ inilah yang membangun bendungan Ma’arib, sebuah bendungan raksasa yang menjadi sumbe rair untuk seluruh wilayah kerajaan. Pada masa kejayaannya, kemajuan kerajaan Saba’di bidang kebudayaan dan peradaban dapatdibandingkan dengan kota-kota dunia lain saat itu. Bekasbekas kerajaan ini sekarang masih terbenam dalam timbunan tanaha. Pada masa pemerintahan Saba’, bangsa Arab menjadi penghubung perdagangan antara Eropa dan dunia Timur Jauh.
Setelah kerajaan mengalami kemunduran, muncul kerajaan Himyar menggantikannya. Kerajaan baru ini terkenal dengan kekuatan armada niaga yang menjelajah mengarungi India, Cina, Somalia, dan Sumatera ke pelabuhan-pelabuhan Yaman. Perniagaan ketika itu dapat dikatakan dimonopoli Himyar. Terutama setelah bendungan Ma’arib runtuh, masa gemilang kerajaan Himyar sedikit demi sedikit memudar. Banyak bangunan roboh dibawa air dan sebagian besar penduduk mengungsi ke bagian utara Jazirah. Meskipun demikian, karena daerahnya berada pada jalur perdagangan yang strategisdan tanahnya subur, daerah ini tetap menjadi incaran kerajaan besar Romawi dan persia yang selalu bersaing untuk menguasainya.
Di sebelah utara Jazirahjuga pernah berdiri kerajaan-kerajaan. Tetapi, kerajaan-kerajaan tersebut lebih merupakan kerajaan protektorat. Ini terjadi karena kafilah-kafilah Romawi dan persia selalu mendapat gangguan dari suku-suku Arab yangmemeras dan merampoknya. Untuk melindungi kafilah-kafilah itu, atas inisiatif kerajaan besar tersebut didirikanlah kerajaan Hirah di bawah perlindungan Persia dan kerajaan Ghassan di bawah perlindungan Romawi. Kedua kerajaan ini berkembang dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu kira-kira abad ketiga sampai abad kedatangan Islam. Raja-raja yang berkuasa umumnya berasal dari keturunan Arab Yaman
Kondisi Hijaz
Bagian lain dari daerah Arab yang sama sekali tidak pernah dijajah oleh bangsa lain, baik karena sulit dijangkau maupun karena tandus dan miskin, adalah Hijaz. Kota terpentingdi daerah ini adalah Mekah, kota suci tempat Ka’bah berdiri. Ka’bah pada masa itu bukan saja disucikan dan dikunjungi oleh penganutpenganut agama asli Mekah, tetapi juga oleh orang-orang Yahudi yang bermukim di sekitarnya.
Untuk mengamankan para peziarahyang datang ke kota itu, didirikanlah suatu pemerintahan yang pada mulanya berada di tangan dua suku yang berkuasa, yaitu Jurhum, sebagai pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan Nabi Ibrahim), sebagai pemegang kekuasaan atas Ka’bah. Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qushai. Suku terakhir inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan politik dan urusan-urusan yang berhubungan dengan Ka’bah. Semenjak itu, suku Quraisy menjadi suku yang mendominasi masyarakat Arab.
Ada sepuluh jabatan tinggi yang dibagi-bagikan kepada kabilah-kabilah asal suku Quraisy, yaitu hijabah, penjagakunci-kunci Ka’bah; siqayah, pengawas diyat, mata air zamzam untuk dipergunakan oleh para peziarah, kekuasaan hakim sipil dan kriminal; sifarah, kuasa usaha negara atau duta; liwa’, jabatan ketentaraan; rifudah, pengurus pajak untuk orang miskin; nadwah, jabatan ketua dewan; khaimmah, pengurus balai musyawarah; khazinah, jabatan administrasi keuangan; dan azlam, penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa. Dalam pada itu, sudah menjadi kebiasaan bahwa anggota yang tertua mempunyai pengaruh paling besar dan memakai gelar rais.
Setelah kerajaan Himyar jatuh, jalur-jalur perdagangan didominasi oleh kerajaan Romawi dan Persia. Pusat perdagangan bangsa Arab serentak kemudian beralih ke daerah Hijaz. Mekah pun menjadi masyhur dan disegani. Begitu pula suku Quraisy. Kondisi ini membawa dampak positif bagi mereka, perdagangan menjadi semakin maju. Akan tetapi, kemajuan Mekah tidaklah sebandingdengan kemajuan yang pernah dicapai kerajaan-kerajaan Arab sebelumnya. Meskipun demikian, dengan Mekah menjadi pusat peradaban, bangsa Arab bagaikan memulai babakan baru dalam hal kebudayaan dan peradaban.
Pengaruh Budaya Bangsa Lain
Jadi, apa yang berkembang menjelang kebangkitan Islam itu di sekitarnya merupakan pengaruh dari budaya bangsa-bangsa yang lebih awal maju daripada kebudayaan dan peradaban Arab. Pengaruh tersebut tmasuk ke jazirah Arab melalui beberapa jalur; Yang terpenting di antaranya adalah:
(l ) melalui hubungan dagang dengan bangsa lain,
(2) melalui kerajaan-kerajaan protektorat, Hirah dan Ghassan, dan
(3) masuknya misi yahudi dan Kristen.
Melalui jalur perdagangan, bangsa Arab berhubungan dengan bangsa-bangsa Syria, Persia, Habsyi, Mesir (eibthi), dan Romawi yang semuanya telah mendapat pengaruh dari kebudayaan Hellenisme. Melalui kerajaan-kerajaan protektorat, banyak berdiri koloni-koloni tawanan perang Romawi dan persia di Ghassan dan Hirah. Penganut agama Yahudi juga banya mendirikan koloni di Jazirah Arab, yang terpentingdi antaranya adalah yatsrib. Penduduk koloni ini terdiri dari orang-orang yahudi dan orang-orang Arab
yang menganut agamaYahudi. Mayoritas penganut agama yahudi tersebut pandai bercocok tanam dan membuat alat-alat dari besi, seperti perhiasan dan persenjataan.
Sama dengan penganut agama yahudi, orang-orang Kristen juga mendapat pengaruh dari kebudayaan Hellenisme dan pemikiran Yunani. Aliran Kristen yang masuk ke Jazirah Arab ialah aliran Nestorian di Hirah dan aliran Jacob-Barady di Ghassan. Daerah Kristen yang terpenting adalah Najran, sebuah daerah yang subur. Penganut agama Kristen tersebut berhubungan dengan Habasyah (Ethiopia), negara yang melindungi agama ini. Penganut aliran Nestorianlah yang bertindak sebagai penghubung antara kebudayaan Yunani dan kebudayaa nArab pada masa awal kebangkitan Islam.
Paganisme
Walaupun agamaYahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala tersebut dipusatkan di Ka’bah, meskipun di tempat-tempat lain juga ada.
Berhala-berhalayang terpenting adalah Hubal, yang dianggap sebagaidewa terbesar,terletak di Kabah; Lata, dewa tertua, terletak di Thaif; Uua, bertempat di Hijaz, kedudukannya berada di bawah Hubal, dan Manat yang Bertempat di Yatsrib. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakandan mengetahui nasib baik dan nasib buruk.
.
Demikianlah keadaanbangsadan jazirahArab menjelangkebangkitan Islam.
Wallahu a’lam.
Tulisan ini direncanakan menjadi 4 (empat) bagian. Bagian pertama adalah pre-kondisi tanah Arab sebelum kelahiran baginda Nabi saw. Kemudian adalah masa sebelum kerasulan beliau. Yang ke tiga adalah masa kerasulan di era Makkah. Yang terakhir adalah masa kerasulan beliau saw di era Madinah sampai meninggalnya beliau. Insya Allah.
Semoga manfaat.
1. Pre-kondisi Sebelum Kelahiran Nabi saw
Geografis Tanah Arab
Ketika Nabi Muhammad SAW lahir (570 M), Mekah adalah Sebuah kota yang sangat penting dan terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan Yaman di selatan dan Syria di utara. Dengan adanya Ka’bah di tengah kota, Mekah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala mengelilingi berhala utama, Hubal. Mekah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi.
Biasanya, dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami bangsaArab sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada Jazirah Arab, padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah di sekitar Jazirah. Jazirah Arab memang merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu.
Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Di sana tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah berair di musim hujan. Sebagian besar daerah jazirah adalah padang pasir Saharayang terletakdi tengah dan memiliki keadaandan sifat yang berbeda-beda, karena itu ia bisa dibagi menjadi tiga bagian:
1. Sahara Langit memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga Sahara Nufud. Oase Dan mata air sangat jarang, tiupan angin seringkali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
2. Sahara Selatan yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan al-Rub’al-khali (Bagian yang sepi).
3. Sahara Harrat, suatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang Berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di keluasan Saharaini, seluruhnya mencapai 29 buah.
Penduduk Sahara sangat sedikit terdiri dari suku-suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan dan nomadik, berpindah dari satu daerah ke daerahlain guna mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka, kambing dan onta.
Adapun daerah pesisir, bila dibandingkan dengan Sahara Sangat kecil, bagaikan selembar pita yang mengelilingi jazirah. Penduduk sudah hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga. Karenaitu, mereka sempat membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan.
Demografi
Bila dilihat dari asal usul keturunan, penduduk Jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu Qahthaniyun (keturunan Qahthan) dan ‘Adnaniyun (keturunan Ismail ibn Ibrahim). Pada mulanya wilayah utara diduduki golongan’Adnaniyun, dan wilayah selatan didiami golongan Qahthaniyfin. Akan tetapi, lama kelamaan kedua golongan itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya. Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas.
Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan). Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (tibe) dan dipimpin oleh seorang syekh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku.
Mereka suka berperang. Karena itu, peperangan antar suku sering sekali terjadi. Sikap ini nampaknya telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab. Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai wanita menjadi sangat rendah. Situasi seperti ini terus berlangsung sampai agama Islam lahir. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan terus menerus. Pada sisi yang lain, meskipun masyarakat Badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syekh atau amir (ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu. Di luar itu, syekh atau amir tidak kuasa mengatur anggota kabilahnya.
Budaya dan Peradaban
Akibat peperangan yang terus menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra-Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad Syalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahuidari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam. Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Badui Arab dapat diketahui, antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu, Masyarakat Badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh penduduk Badui adalah penyair.
Lain halnya dengan penduduk negeri yang telah berbudaya dan mendiami pesisir Jazirah Arab, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu mengalami perubahansesuai dengan perubahan situasidan kondisi yang mengitarinya. Mereka mampu membuat alat-alat dari besi, bahkan mendirikan kerajaankerajaan. Sampai kehadiran Nabi Muhammad, kota-kota mereka masih merupakan kota-kota perniagaan, dan memang Jazirah Arab ketika itu merupakan daerah yang terletak pada jalur perdagangan yang menghubungkan antara Syam dan Samudera India.
Sebagaimana masyarakat Badui, penduduk negeri ini juga mahir menggubah syair. Biasanya syair-syair itu dibacakan di pasarpasar ,mungkin semacam pagelaran pembacaan syair, seperti di pasar ‘Ukaz. Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata bahasa, dan kiasan.
Melihat bahasa dan hubungan dagang bangsa Arab, tidak mungkin bangsa Arab tidak pernah memiliki peradaban yang tinggi, apalagi hubungan dagang itu berlangsung selama 2000 tahun. Arab ikut memberi saham dalam peradaban dunia, sebelum mereka bangkit kembali pada masa Islam.
Kerajaan-Kerajaan Sekitar
Golongan Qahthaniyfin, misalnya, pernah Mendirikan kerajaan Saba’ dan kerajaan Himyardi Yaman, bagian selatan jazirah Arab. Kerajaan Saba’ inilah yang membangun bendungan Ma’arib, sebuah bendungan raksasa yang menjadi sumbe rair untuk seluruh wilayah kerajaan. Pada masa kejayaannya, kemajuan kerajaan Saba’di bidang kebudayaan dan peradaban dapatdibandingkan dengan kota-kota dunia lain saat itu. Bekasbekas kerajaan ini sekarang masih terbenam dalam timbunan tanaha. Pada masa pemerintahan Saba’, bangsa Arab menjadi penghubung perdagangan antara Eropa dan dunia Timur Jauh.
Setelah kerajaan mengalami kemunduran, muncul kerajaan Himyar menggantikannya. Kerajaan baru ini terkenal dengan kekuatan armada niaga yang menjelajah mengarungi India, Cina, Somalia, dan Sumatera ke pelabuhan-pelabuhan Yaman. Perniagaan ketika itu dapat dikatakan dimonopoli Himyar. Terutama setelah bendungan Ma’arib runtuh, masa gemilang kerajaan Himyar sedikit demi sedikit memudar. Banyak bangunan roboh dibawa air dan sebagian besar penduduk mengungsi ke bagian utara Jazirah. Meskipun demikian, karena daerahnya berada pada jalur perdagangan yang strategisdan tanahnya subur, daerah ini tetap menjadi incaran kerajaan besar Romawi dan persia yang selalu bersaing untuk menguasainya.
Di sebelah utara Jazirahjuga pernah berdiri kerajaan-kerajaan. Tetapi, kerajaan-kerajaan tersebut lebih merupakan kerajaan protektorat. Ini terjadi karena kafilah-kafilah Romawi dan persia selalu mendapat gangguan dari suku-suku Arab yangmemeras dan merampoknya. Untuk melindungi kafilah-kafilah itu, atas inisiatif kerajaan besar tersebut didirikanlah kerajaan Hirah di bawah perlindungan Persia dan kerajaan Ghassan di bawah perlindungan Romawi. Kedua kerajaan ini berkembang dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu kira-kira abad ketiga sampai abad kedatangan Islam. Raja-raja yang berkuasa umumnya berasal dari keturunan Arab Yaman
Kondisi Hijaz
Bagian lain dari daerah Arab yang sama sekali tidak pernah dijajah oleh bangsa lain, baik karena sulit dijangkau maupun karena tandus dan miskin, adalah Hijaz. Kota terpentingdi daerah ini adalah Mekah, kota suci tempat Ka’bah berdiri. Ka’bah pada masa itu bukan saja disucikan dan dikunjungi oleh penganutpenganut agama asli Mekah, tetapi juga oleh orang-orang Yahudi yang bermukim di sekitarnya.
Untuk mengamankan para peziarahyang datang ke kota itu, didirikanlah suatu pemerintahan yang pada mulanya berada di tangan dua suku yang berkuasa, yaitu Jurhum, sebagai pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan Nabi Ibrahim), sebagai pemegang kekuasaan atas Ka’bah. Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qushai. Suku terakhir inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan politik dan urusan-urusan yang berhubungan dengan Ka’bah. Semenjak itu, suku Quraisy menjadi suku yang mendominasi masyarakat Arab.
Ada sepuluh jabatan tinggi yang dibagi-bagikan kepada kabilah-kabilah asal suku Quraisy, yaitu hijabah, penjagakunci-kunci Ka’bah; siqayah, pengawas diyat, mata air zamzam untuk dipergunakan oleh para peziarah, kekuasaan hakim sipil dan kriminal; sifarah, kuasa usaha negara atau duta; liwa’, jabatan ketentaraan; rifudah, pengurus pajak untuk orang miskin; nadwah, jabatan ketua dewan; khaimmah, pengurus balai musyawarah; khazinah, jabatan administrasi keuangan; dan azlam, penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa. Dalam pada itu, sudah menjadi kebiasaan bahwa anggota yang tertua mempunyai pengaruh paling besar dan memakai gelar rais.
Setelah kerajaan Himyar jatuh, jalur-jalur perdagangan didominasi oleh kerajaan Romawi dan Persia. Pusat perdagangan bangsa Arab serentak kemudian beralih ke daerah Hijaz. Mekah pun menjadi masyhur dan disegani. Begitu pula suku Quraisy. Kondisi ini membawa dampak positif bagi mereka, perdagangan menjadi semakin maju. Akan tetapi, kemajuan Mekah tidaklah sebandingdengan kemajuan yang pernah dicapai kerajaan-kerajaan Arab sebelumnya. Meskipun demikian, dengan Mekah menjadi pusat peradaban, bangsa Arab bagaikan memulai babakan baru dalam hal kebudayaan dan peradaban.
Pengaruh Budaya Bangsa Lain
Jadi, apa yang berkembang menjelang kebangkitan Islam itu di sekitarnya merupakan pengaruh dari budaya bangsa-bangsa yang lebih awal maju daripada kebudayaan dan peradaban Arab. Pengaruh tersebut tmasuk ke jazirah Arab melalui beberapa jalur; Yang terpenting di antaranya adalah:
(l ) melalui hubungan dagang dengan bangsa lain,
(2) melalui kerajaan-kerajaan protektorat, Hirah dan Ghassan, dan
(3) masuknya misi yahudi dan Kristen.
Melalui jalur perdagangan, bangsa Arab berhubungan dengan bangsa-bangsa Syria, Persia, Habsyi, Mesir (eibthi), dan Romawi yang semuanya telah mendapat pengaruh dari kebudayaan Hellenisme. Melalui kerajaan-kerajaan protektorat, banyak berdiri koloni-koloni tawanan perang Romawi dan persia di Ghassan dan Hirah. Penganut agama Yahudi juga banya mendirikan koloni di Jazirah Arab, yang terpentingdi antaranya adalah yatsrib. Penduduk koloni ini terdiri dari orang-orang yahudi dan orang-orang Arab
yang menganut agamaYahudi. Mayoritas penganut agama yahudi tersebut pandai bercocok tanam dan membuat alat-alat dari besi, seperti perhiasan dan persenjataan.
Sama dengan penganut agama yahudi, orang-orang Kristen juga mendapat pengaruh dari kebudayaan Hellenisme dan pemikiran Yunani. Aliran Kristen yang masuk ke Jazirah Arab ialah aliran Nestorian di Hirah dan aliran Jacob-Barady di Ghassan. Daerah Kristen yang terpenting adalah Najran, sebuah daerah yang subur. Penganut agama Kristen tersebut berhubungan dengan Habasyah (Ethiopia), negara yang melindungi agama ini. Penganut aliran Nestorianlah yang bertindak sebagai penghubung antara kebudayaan Yunani dan kebudayaa nArab pada masa awal kebangkitan Islam.
Paganisme
Walaupun agamaYahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala tersebut dipusatkan di Ka’bah, meskipun di tempat-tempat lain juga ada.
Berhala-berhalayang terpenting adalah Hubal, yang dianggap sebagaidewa terbesar,terletak di Kabah; Lata, dewa tertua, terletak di Thaif; Uua, bertempat di Hijaz, kedudukannya berada di bawah Hubal, dan Manat yang Bertempat di Yatsrib. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakandan mengetahui nasib baik dan nasib buruk.
.
Demikianlah keadaanbangsadan jazirahArab menjelangkebangkitan Islam.
Wallahu a’lam.
Biografi Gus Dur
Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dipastikan meninggal dunia Rabu 30 Desember 2009 pukul 18.45 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Gus Dur dirawat di Ruang VVIP Nomor 116 Gedung A RSCM setelah sebelumnya menjalani perawatan medis di RS Jombang Jawa Timur, pada Kamis (24/12/2009), karena kelelahan setelah melakukan ziarah dan kunjungan ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur.
Selamat jalan putera terbaik umat dan bangsa. Jasamu akan dikenang di negeri ini. Semoga amal dan ibadahnya diterima Allah SWT serta diampuni segala kesalahan dan dosanya. Semoga diberi kemurahan dan ridlo-Nya. Semoga Allah menempatkannya di Jannah, Insya Allah… amien.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu wawassi’ madkholahu wa a’idzhu min adzaabil qobri wa ‘adzaabinnaar wa adkhilhuljannata ma’al abror… amien
.
Biografi Gus Dur
Rabu Jul 22, 2009 2:00 pm
Latar Belakang Keluarga
Abdurrahman “Addakhil”, demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya.
Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.
Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara.
Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.
Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.
Perjalanan Karir
Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.
Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian.
Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.
Penghargaan
• Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
• Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
• Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
• Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
• Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
• Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000
• Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
• Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
• Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
• Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
• Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
• Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
• Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
• Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003.
Sumber: http://forum.nu.or.id/viewtopic.php?f=4&t=892&sid=735255e9179b4378c757ed4301a6635b
.
.
Nama:
Abdurrahman Wahid
Lahir:
Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.
Orang Tua:
Wahid Hasyim (ayah), Solechah (ibu).
Istri :
Sinta Nuriyah
Anak-anak :
Alisa Qotrunada Zannuba Arifah Anisa Hayatunufus Inayah Wulandari
Pendidikan :
• Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
• Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
• Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)
Karir
• Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)
• Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
• Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
• Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
• Ketua Forum Demokrasi (1990)
• Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
• Anggota MPR (1999)
• Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Penghargaan
• Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
• Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/99134/Biografi_Singkat_Gus_Dur
.
Al Fatehah …
Gus Dur dirawat di Ruang VVIP Nomor 116 Gedung A RSCM setelah sebelumnya menjalani perawatan medis di RS Jombang Jawa Timur, pada Kamis (24/12/2009), karena kelelahan setelah melakukan ziarah dan kunjungan ke beberapa pondok pesantren di Jawa Timur.
Selamat jalan putera terbaik umat dan bangsa. Jasamu akan dikenang di negeri ini. Semoga amal dan ibadahnya diterima Allah SWT serta diampuni segala kesalahan dan dosanya. Semoga diberi kemurahan dan ridlo-Nya. Semoga Allah menempatkannya di Jannah, Insya Allah… amien.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu wawassi’ madkholahu wa a’idzhu min adzaabil qobri wa ‘adzaabinnaar wa adkhilhuljannata ma’al abror… amien
.
Biografi Gus Dur
Rabu Jul 22, 2009 2:00 pm
Latar Belakang Keluarga
Abdurrahman “Addakhil”, demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya.
Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.
Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara.
Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.
Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.
Perjalanan Karir
Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.
Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian.
Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.
Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.
Penghargaan
• Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
• Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
• Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
• Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
• Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
• Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000
• Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
• Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
• Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
• Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
• Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
• Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
• Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
• Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003.
Sumber: http://forum.nu.or.id/viewtopic.php?f=4&t=892&sid=735255e9179b4378c757ed4301a6635b
.
.
Nama:
Abdurrahman Wahid
Lahir:
Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.
Orang Tua:
Wahid Hasyim (ayah), Solechah (ibu).
Istri :
Sinta Nuriyah
Anak-anak :
Alisa Qotrunada Zannuba Arifah Anisa Hayatunufus Inayah Wulandari
Pendidikan :
• Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
• Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
• Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)
Karir
• Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)
• Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
• Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
• Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
• Ketua Forum Demokrasi (1990)
• Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
• Anggota MPR (1999)
• Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Penghargaan
• Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
• Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/99134/Biografi_Singkat_Gus_Dur
.
Al Fatehah …
Siapa Imam al Mahdi
Merujuk kepada kitab-kitab para ulama Islam yang mu’tabar dan diakui kesahihannya, di antara kitab-kitab tersebut ialah Al-Hawi Lii Fatawa karangan Imam As-Suyuti, Mukhtasar Fil Mahdi Al-Muntadzar dan As-Sawaiqul Mukhriqat karangan Ibnu Hajjar Al-Haitami, At-Tawadhihu Fl Tawaturi Ma Jaa Fil Muntadziri Waddajal Wal Masihi karangan Al-Allamah AsSyaukani, Ibrazul Wahmil Maknun Min Kalam Ibni Khaldun karangan Al-Muhaddits Sayid Ahmad Siddiq Al-Ghumari dan banyak lagi kitab-kitab lainnya yang menerangkan secara jelas tanda-tanda dan sifat-sifat Al-Mahdi sebagaimana yang disebutkan oleh hadits-hadits Rasulullah SAW.
Kitab-kitab tersebut menerangkan bahawa nama Al-Mahdi ialah Muhammad bin Abdullah sementara gelarannya pula ialah Abu Abdullah. Menurut riwayat yang sahih Al-Mahdi adalah dari keturunan Sayidina Hassan bin Ali. Sesungguhnya telah tsabit bahawa Al-Mahdi adalah keturunan Hassan bin Ali sebagaimana yang tersebut di dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Daud dalam Sunannya,
“Telah berkata Ali sambil memandang puteranya Hassan,” Sesungguhnya Puteraku ini ialah sayid sebagaimana yang telah dinamakan oleh Nabi SA W. Dari keturunannya akan lahir seorang lelaki yang namanya seperti nama Nabi kamu, menyerupai baginda dalam perangai dan tidak menyerupai baginda dalam rupa dan bentuk.”
Hadits ini telah disahkan oleh para ulama di antaranya Al-Manawi di dalam kitabnya Al-Kabir, Ibnu Atsir dalam kitabnya An-Nihayah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalan kitabnya Gharibul Hadits dan Al-Manarul Munif Fi Sahihi Wad Dha’if, Al-Muhaddits Sayid Ahmad Siddiq Al-Ghumari di dalam kitabnya Aqidah Ahlil Islam Fi Nuzuli Isa AS dan lain-lain lagi.
Di dalam kitab Naqdul Manqul, pengarang kitab tersebut memetik kenyataan lbnu Qayyim Al-Jauziyah, “kebanyakan hadits-hadits menunjukkan bahawa Al-Mahdi adalah anak dari Sayidina Hassan bin Ali.”
Abu Thahir Muhd Syamsul Haq dalam kitabnya ‘Aunal Ma’bud (syarah Sunan Abu Daud), memetik kenyataan Al-Hafiz Imanuddin yang menyebut bahawa hadits-hadits mengenai Al-Mahdi menunjukkan bahawa Ia dari ahli bait Rasulullah SAW, zuriat Fatimah dari anaknya Hassan bin Ali. (silakan merujuk kitab ‘Aunal Ma’bud juzu’ II m.s 374 dan 382)
Tersebut di dalam kitab Hasyiah As-Sabban ms 137, bahawa riwayat yang mengatakan Al-Mahdi dari keturunan Al-Hussin adalah terlalu lemah. Sementara di dalam kitab Al-Iza’ah m.s 147 riwayat yang mengatakan Al-Mahdi dari keturunan AI-Hussin bin Ali adalah dha’if.
Terdapat juga hadits-hadits yang menyatakan bahawa Al-Mahdi dari keturunan Al-Abbas bin Abdul Muttalib. Maka para ulama hadits menghimpunkan hadits yang berlawanan. Iaitu hadits-hadits yang mengatakan Al-Mahdi dari keturunan Sayidina Hassan bin Ali adalah sah dan hadits yang mengatakan AI-Mahdi dari keturunan Al-Abbas dan Al.Hussin adalah dha’if. Ini adalah sebagaimana kenyataan yang dibuat oleh Al-Hafiz Abut Hassan Ad-Darqatni.
Hadits-hadits Tentang Al-Mahdi
1. Dari Jabir bin Abdullah ra katanya ; “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, : “Sentiasa ada di kalangan umatku golongan yang berperang di atas kebenaran, mereka sentiasa zahir hingga hari Qiamat. Sabdanya lagi: “Kemudian turun Isya bin Maryam AS dari langit, dan berkata pemimpin mereka (Imam Mahdi), silalah menjadi imam solat kami dan Nabi Isya menjawab, tidak, bahawa sebahagian Kamu sebagai kemuliaan Allah SWT ke atas umat ini (umat Islam) . Hadits riwayat Muslim.
2. Dari Ali bin Abu Talib bahawa Rasulullah SAW bersabda : “Al-Mahdi itu dari ahlul bait, Allah membawa kebaikan dengannya dalam satu malam. Hadith riwayat Imam Ahmad.
3. Dari Dzar dari Abdullah dari Nabi SAW yang bersabda : “Sekiranya dunia hanya tinggal sehari sahaja (sebelum qiamat) nescaya Allah memanjangkan hari itu sehingga bangkit padanya seorang lelaki dari keturunanku atau dari kaum keluargaku, yang namanya spt namaku, nama bapanya spt nama bapaku, ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan saksama sebagaimana bumi dipenuhi kezaliman dan kekejaman. Hadith riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
4. Dari Abu Said Al-Khudri ra berkata : “Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ; “Akan lahir dari umatku seorang lelaki yang menyeru dengan sunahku, Allah menurunkan hujan dari langit untuknya, bumi mengeluarkan kasil dan darinya buni dipenuhi dengan kedurjaan dan kekejaman. Ia memerintah umat ini selama tujuh tahun dan akan berada di baitul Maqdis. Hadith riwayat At-Tabarani.
5. Dari Aishah ra katanya, Rasulullah SAW telah bersabda : “Al-Mahdi itu seorang lelaki dari cucuku, ia akan berperang atas sunnahku seperti aku berperang atas wahyu”. Hadith riwayat Na’im bin Hammad
6. Dari Said bin Al-Musaiyab dari Ummu Salmah yang berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Al-Mahdi itu dari keturunanku dari anak cucu Fatimah”. Hadith riwayat Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, An-Nasa’i, At-Tabarani dan Al-Hakim
7. “Andaikan dunia tinggal sehari sungguh Allah akan panjangkan hari tersebut sehingga diutus padanya seorang lelaki dari ahli baitku namanya serupa namaku dan nama ayahnya serupa nama ayahku. Ia akan penuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan.” (HR abu Dawud)
8. “Kalian perangi jazirah Arab dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian Persia (Iran), dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Rum, dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Dajjal,dan Allah beri kalian kemenangan.” (HR Muslim)
Di akhir zaman justru umat islam berperang melawan Jazirah Arab (Saudi/Wahaby??, pen.), kemudian melawan Persia (Iran/Syiah?, pen.), kemudian melawan Rum (Eropa/Nashara?, pen.). Baru setelah itu melawan Dajjal dan antek-anteknya. Dan Allah akan memberi kemenangan kepada umat islam.
.
Tidak terdapat hadits yang menyebut mengapa AI-Mahdi dinamakan Al-Mahdi, tetapi terdapat dua atsar sahabat dalam hal ini. Abdullah bin Syuzab berkata,
“Sebab ia dinamakan Al-Mahdi ialah kerana ia menunjukkan satu gunung di gunung negeri Syam. Ia mengeluarkan dari gua gunung tersebut lembaran-lembaran kitab Taurat. Al-Mahdi berhujah melawan orang-orang Yahudi menggunakan kitab tersebut dan mereka akhirnya kalah. Maka salah satu kumpulan orang-orang Yahudi memeluk Islam.” Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Hafiz Ad-Dani dalam Sunannya.
Daripada Ka’ab bin Alaqamah berkata,
“Sebab dinamakannya Al-Mahdi ialah kerana ia menunjukkan pada suatu perkara yang telah hilang, dia mengeluarkan peti dari negeri Antakiah (peti berisi lembaran kitab Taurat dan lain-lain). Diriwayatkan oleh Na’im bin Hammad dalam kitabnya Al-Fitan.
Al-Muhaddits Sayid Ahmad Siddiq Al-Ghumari menerangkan di dalam kitabnya Aqidah Ahlil Islam Fi Nuzuli Isa AS bahawa Al-Mahdi dilahirkan di Madinah Al-Munawwarah serta dibesarkan di sana. Sebelum umat Islam berbai’at dengannya, berlakulah satu peperangan yang besar di antara penduduk Madinah dengan tentera-tentera As-Syufiani. Dalam peperangan tersebut, penduduk Madinah mengalami kekalahan dan mereka lari bersama-sama Al-Mahdi ke Makkah. Di Makkah datanglah orang dari berbagai-bagal negeri kerana berbai’at dengannya di suatu tempat iaitu di antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim.
.
Tidak akan lenyap dunia ini hingga Arab dikuasai oleh seseorang dari keluargaku yang namanya menyamai namaku. Dalam riwayat lain oleh Abu Daud: Namanya menyamai namaku dan nama bapanya menyamai nama bapaku (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dari Abdullah bin Mas’ud dari pada Nabi SAW sabdanya: “Kalau tidak tinggal dari dunia kecuali sehari, nescaya Allah panjangkan hari itu sampai diutuskan kepadanya seorang lelaki dari keluargaku sama namanya dengan namaku dan nama ayahnya dengan ayahku dan dia memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana ia telah dipenuhi dengan kezaliman” (Abu Dawud dan Tabani)
Daripada Abu Said Al-Khudri r.a. katanya, Rasulullah bersabda: Mahdi itu dari keturunanku, luas dahinya, tinggi hidungnya(mancung). Ia akan memerintah bumi dengan penuh kejujuran dan keadilan sebagaimana bumi sebelum itu penuh dengan kezaliman dan kecurangan. Ia memerintah selama 7 tahun. (Abu Dawud)
.
wallahu a’lam
Sumber: http://www.tayibah.com/eIslam/imam_mahdi.htm
Kitab-kitab tersebut menerangkan bahawa nama Al-Mahdi ialah Muhammad bin Abdullah sementara gelarannya pula ialah Abu Abdullah. Menurut riwayat yang sahih Al-Mahdi adalah dari keturunan Sayidina Hassan bin Ali. Sesungguhnya telah tsabit bahawa Al-Mahdi adalah keturunan Hassan bin Ali sebagaimana yang tersebut di dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Daud dalam Sunannya,
“Telah berkata Ali sambil memandang puteranya Hassan,” Sesungguhnya Puteraku ini ialah sayid sebagaimana yang telah dinamakan oleh Nabi SA W. Dari keturunannya akan lahir seorang lelaki yang namanya seperti nama Nabi kamu, menyerupai baginda dalam perangai dan tidak menyerupai baginda dalam rupa dan bentuk.”
Hadits ini telah disahkan oleh para ulama di antaranya Al-Manawi di dalam kitabnya Al-Kabir, Ibnu Atsir dalam kitabnya An-Nihayah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalan kitabnya Gharibul Hadits dan Al-Manarul Munif Fi Sahihi Wad Dha’if, Al-Muhaddits Sayid Ahmad Siddiq Al-Ghumari di dalam kitabnya Aqidah Ahlil Islam Fi Nuzuli Isa AS dan lain-lain lagi.
Di dalam kitab Naqdul Manqul, pengarang kitab tersebut memetik kenyataan lbnu Qayyim Al-Jauziyah, “kebanyakan hadits-hadits menunjukkan bahawa Al-Mahdi adalah anak dari Sayidina Hassan bin Ali.”
Abu Thahir Muhd Syamsul Haq dalam kitabnya ‘Aunal Ma’bud (syarah Sunan Abu Daud), memetik kenyataan Al-Hafiz Imanuddin yang menyebut bahawa hadits-hadits mengenai Al-Mahdi menunjukkan bahawa Ia dari ahli bait Rasulullah SAW, zuriat Fatimah dari anaknya Hassan bin Ali. (silakan merujuk kitab ‘Aunal Ma’bud juzu’ II m.s 374 dan 382)
Tersebut di dalam kitab Hasyiah As-Sabban ms 137, bahawa riwayat yang mengatakan Al-Mahdi dari keturunan Al-Hussin adalah terlalu lemah. Sementara di dalam kitab Al-Iza’ah m.s 147 riwayat yang mengatakan Al-Mahdi dari keturunan AI-Hussin bin Ali adalah dha’if.
Terdapat juga hadits-hadits yang menyatakan bahawa Al-Mahdi dari keturunan Al-Abbas bin Abdul Muttalib. Maka para ulama hadits menghimpunkan hadits yang berlawanan. Iaitu hadits-hadits yang mengatakan Al-Mahdi dari keturunan Sayidina Hassan bin Ali adalah sah dan hadits yang mengatakan AI-Mahdi dari keturunan Al-Abbas dan Al.Hussin adalah dha’if. Ini adalah sebagaimana kenyataan yang dibuat oleh Al-Hafiz Abut Hassan Ad-Darqatni.
Hadits-hadits Tentang Al-Mahdi
1. Dari Jabir bin Abdullah ra katanya ; “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, : “Sentiasa ada di kalangan umatku golongan yang berperang di atas kebenaran, mereka sentiasa zahir hingga hari Qiamat. Sabdanya lagi: “Kemudian turun Isya bin Maryam AS dari langit, dan berkata pemimpin mereka (Imam Mahdi), silalah menjadi imam solat kami dan Nabi Isya menjawab, tidak, bahawa sebahagian Kamu sebagai kemuliaan Allah SWT ke atas umat ini (umat Islam) . Hadits riwayat Muslim.
2. Dari Ali bin Abu Talib bahawa Rasulullah SAW bersabda : “Al-Mahdi itu dari ahlul bait, Allah membawa kebaikan dengannya dalam satu malam. Hadith riwayat Imam Ahmad.
3. Dari Dzar dari Abdullah dari Nabi SAW yang bersabda : “Sekiranya dunia hanya tinggal sehari sahaja (sebelum qiamat) nescaya Allah memanjangkan hari itu sehingga bangkit padanya seorang lelaki dari keturunanku atau dari kaum keluargaku, yang namanya spt namaku, nama bapanya spt nama bapaku, ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan saksama sebagaimana bumi dipenuhi kezaliman dan kekejaman. Hadith riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
4. Dari Abu Said Al-Khudri ra berkata : “Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ; “Akan lahir dari umatku seorang lelaki yang menyeru dengan sunahku, Allah menurunkan hujan dari langit untuknya, bumi mengeluarkan kasil dan darinya buni dipenuhi dengan kedurjaan dan kekejaman. Ia memerintah umat ini selama tujuh tahun dan akan berada di baitul Maqdis. Hadith riwayat At-Tabarani.
5. Dari Aishah ra katanya, Rasulullah SAW telah bersabda : “Al-Mahdi itu seorang lelaki dari cucuku, ia akan berperang atas sunnahku seperti aku berperang atas wahyu”. Hadith riwayat Na’im bin Hammad
6. Dari Said bin Al-Musaiyab dari Ummu Salmah yang berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Al-Mahdi itu dari keturunanku dari anak cucu Fatimah”. Hadith riwayat Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, An-Nasa’i, At-Tabarani dan Al-Hakim
7. “Andaikan dunia tinggal sehari sungguh Allah akan panjangkan hari tersebut sehingga diutus padanya seorang lelaki dari ahli baitku namanya serupa namaku dan nama ayahnya serupa nama ayahku. Ia akan penuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan.” (HR abu Dawud)
8. “Kalian perangi jazirah Arab dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian Persia (Iran), dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Rum, dan Allah beri kalian kemenangan. Kemudian kalian perangi Dajjal,dan Allah beri kalian kemenangan.” (HR Muslim)
Di akhir zaman justru umat islam berperang melawan Jazirah Arab (Saudi/Wahaby??, pen.), kemudian melawan Persia (Iran/Syiah?, pen.), kemudian melawan Rum (Eropa/Nashara?, pen.). Baru setelah itu melawan Dajjal dan antek-anteknya. Dan Allah akan memberi kemenangan kepada umat islam.
.
Tidak terdapat hadits yang menyebut mengapa AI-Mahdi dinamakan Al-Mahdi, tetapi terdapat dua atsar sahabat dalam hal ini. Abdullah bin Syuzab berkata,
“Sebab ia dinamakan Al-Mahdi ialah kerana ia menunjukkan satu gunung di gunung negeri Syam. Ia mengeluarkan dari gua gunung tersebut lembaran-lembaran kitab Taurat. Al-Mahdi berhujah melawan orang-orang Yahudi menggunakan kitab tersebut dan mereka akhirnya kalah. Maka salah satu kumpulan orang-orang Yahudi memeluk Islam.” Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Hafiz Ad-Dani dalam Sunannya.
Daripada Ka’ab bin Alaqamah berkata,
“Sebab dinamakannya Al-Mahdi ialah kerana ia menunjukkan pada suatu perkara yang telah hilang, dia mengeluarkan peti dari negeri Antakiah (peti berisi lembaran kitab Taurat dan lain-lain). Diriwayatkan oleh Na’im bin Hammad dalam kitabnya Al-Fitan.
Al-Muhaddits Sayid Ahmad Siddiq Al-Ghumari menerangkan di dalam kitabnya Aqidah Ahlil Islam Fi Nuzuli Isa AS bahawa Al-Mahdi dilahirkan di Madinah Al-Munawwarah serta dibesarkan di sana. Sebelum umat Islam berbai’at dengannya, berlakulah satu peperangan yang besar di antara penduduk Madinah dengan tentera-tentera As-Syufiani. Dalam peperangan tersebut, penduduk Madinah mengalami kekalahan dan mereka lari bersama-sama Al-Mahdi ke Makkah. Di Makkah datanglah orang dari berbagai-bagal negeri kerana berbai’at dengannya di suatu tempat iaitu di antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim.
.
Tidak akan lenyap dunia ini hingga Arab dikuasai oleh seseorang dari keluargaku yang namanya menyamai namaku. Dalam riwayat lain oleh Abu Daud: Namanya menyamai namaku dan nama bapanya menyamai nama bapaku (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dari Abdullah bin Mas’ud dari pada Nabi SAW sabdanya: “Kalau tidak tinggal dari dunia kecuali sehari, nescaya Allah panjangkan hari itu sampai diutuskan kepadanya seorang lelaki dari keluargaku sama namanya dengan namaku dan nama ayahnya dengan ayahku dan dia memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana ia telah dipenuhi dengan kezaliman” (Abu Dawud dan Tabani)
Daripada Abu Said Al-Khudri r.a. katanya, Rasulullah bersabda: Mahdi itu dari keturunanku, luas dahinya, tinggi hidungnya(mancung). Ia akan memerintah bumi dengan penuh kejujuran dan keadilan sebagaimana bumi sebelum itu penuh dengan kezaliman dan kecurangan. Ia memerintah selama 7 tahun. (Abu Dawud)
.
wallahu a’lam
Sumber: http://www.tayibah.com/eIslam/imam_mahdi.htm
Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali (450-505H)
“Al-Ghazali adalah seorang pembela lslam dan kaum muslim, pemimpin bagi para pemimpin agama. Belum pernah ada seorangpun yang seperti dia, tutur kata maupun ucapannya, jalan pikiran maupun penalarannya, kecerdasan maupun perangainya.”
Abu al-Hasan ‘Abd al-Ghafir al-Farisi
Namanya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad ath-Thusi, ber-kunyah Abu Hamid, bergelar Zain ad-Din (tiara agama). Lahir pada tahun 450 H/1058 M di Thus dan meninggal di tempat yang sama pada tahun 505 H/1111 M pada usia yang ke 53 (lima puluh tiga).
Ayahnya, seperti halnya kakeknya, adalah seorang pemintal dan penjual kain wol, amat miskin namun sangat salih. Ayahnya meninggal selagi al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, masih kanakkanak, dan sebelum meninggal dia menitipkan mereka berdua kepada seorang temannya yangkemudian mengirim mereka ke madrasah (sekolah) di sekitar rumahnya, diThus. lni merupakan langkah awal karir intelektual al-Ghazali.
Selagi masih remaja, al-Ghazali belajar fiqh kepada Syaikh Ahmad bin Muhammad ar-Radhkani ath-Thusi, dan kemudian kepada Imam Abu Nashr al-Isma’ili di Jurjan, Mazardaran, yang darinyalah al-Ghazali membuat catatan-catatan (ta’liqat).
Mengenai gurunya yang terakhir ini dengan hasil catatannya darinya, al-Ghazali menceritakan pengalamannya yang menarik. Sekembali dari Jurjan menuju Thus, dia dan rombongannya diserang oleh gerombolan perampok yang merampas semua borang bawaan mereka. Al-Ghazali mengikuti mereka meskipun ketua rombongan tersebut sudah memperingatkan betapa bahaya perbuatannya’ Setelah bertemu gerombolan itu lagi, dia memohon agar mengembalikan lembaran-lembaran catatan pelajarannya, yang meski mungkin tampak tidak berharga bagi mereka.
“Apa isinya?” tanya ketua gerombolan”
Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa lembaran-lembaran itu hanya berisi catatan pelajaran yang dia dapat di Jurjan. Mendengar hal ini, ketua gerombolan itu tertawa dan berkata, “Bagaimana kau mengaku berilmu, kalau ternyata kau cuma membawa-bawanya saja? Jika kau terpisah dari catatan-catatanmu, maka kau pun sudah tidak tahu apa-apa.”
Kata-kata ketua gerombolan ini menyentak batinnya. Dari itulah ia lalu bertekad untuk menghafalkan seluruh kitab beserta catatan-catatannya. Tiga tahun kemudian, dia telah hafal semua catatan studinya, agar tidak terulang hal yang sama kalau mungkin dirampok lagi.
Tahun 470 H/1077-8 M, al-Ghazali pergi ke Nisaphur, di sana ia belajar tentangTeologi, Filsafat, logika, Dialektika, dan Ilmu Alam kepada Abu al-Ma’ali al-Juwayni yang dikenal dengan sebutan Imam al-Haramain. Kepadanya, al-Ghazali juga memperdalam wawasannya tentang tasawuf yang meski telah ia pelajari selama di Thus kepada Yusuf an-Nassaj.
Di bawah bimbingan sang guru, wawasannya Menjadi ensiklopedis, meliputi berbagai macam Ilmu pengetahuan yang berkembang saat itu. Karir intelektualnya memang melebihi manusia rata-rata, hingga disaat ia menuntut ilmu di Nishapur, sang guru berkata tentang dirinya dan dua koleganya, “Al-Ghazali layaknya lautan untuk diselami, al-Kiya layaknya singa yang mengamuk, dan al-Khawafi layaknya api ya ng berkobar-kobar.”
Dikatakan pula bahwa “Al-Khawafi menguasai di bidang verifikasi, al-Ghazali di bidang spekulasi, dan al-Kiya di bidang eksplanasi.”
Sebagainnana diceritakan oleh al-Ghazalisendiri, di periode ini ia rnulai enggan pada dogmatisme dan menjauhi sikap taklid. Sejak masa muda, demikian al-Ghazali ia sudah berhasrat untuk memahami makna sejati dari segala sesuatu dan sudah sampai pada kesimpulan bahwa gangguan terbesar dalam pencarian kebenaran adalah meyakini begitu saja otoritas orang tua atau guru (taqlid), serta ketaatan kaku pada warisan masa lalu. Dia menyitir hadits Nabi, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Nasrani, Yahudi atau Majusi.”
Dia penasaran, fitrah macam apa yang dimiliki manusia sebelunn teroengaruh oleh lingkungannya. Dengan demikian, dia pun mulai mencari pengetahuan yang tidak menyisakan keraguan apapun dan tanpa kemungkinan salah sedikitpun.
Al-Ghazali menemukan bahwa pengetahuan yang sudah dia miliki, kecualiyang dia alami sendiri, tidak memenuhi kriteria diatas, dan hingga saat itu dia menjadi seorang pencari kebenaran sejati dengan standar yang sangat ketat. “Dia yang tidak meragukan apa-apa tidak akan melakukan investigasi,” katanya, “dia yang tidak melakukan investigasi tidak akan mendapat pengetahuan apapun, dan dia yang tidak mendapat pengetahuan apapun akan selalu buta dan luput.”
Baru pada 494H/1091M, enam tahun setelah wafatnya al-Haramayn, al-Ghazali ditunjuk mengetuai bagian teologi di Madrasah Nidzamiyah, Baghdad, oleh Perdana Menteri Nidzam al-Mulk, berkat kemasyhurannya yang Sudah tersebar ke santero negeri. Ketika itu Umurnya baru beranjak usia 34 tahun. Kehadirannya di Baghdad mendapat sambutan Hangat. Kuliahnya di kelas, pidatonya yang fasih, Pengajarannya yang berjangkauan luas, kiasan-kiasannya yang halus dan paparannya yang jernih membuat takjub para pendengarnya. Semua itu mengundang ketertarikan banyak orang, termasuk orang yang sudah sangat terpelajar sekalipun, para bangsawan, amir dan bahkan hakim khalifah juga. Selain memberi kuliah, al-Ghazali juga dipercaya untuk memberi fatwa dan mengorang beberapa karya. Di sinilah kejayaan, kekayaan, dan kemasyhuran ada di genggamannva.
Meskipun begitu, api intelektualitasnya yang berkobar dan hasratnya untuk menyingkap kebenaran secara keseluruhan belumiah padam. Dia bahkan sudah mulai meragukan inderanya sendiri, dan selama dua bulan terjebak di alam skeptisisme. Namun perlahan setelah itu, berkat pertolongan Allah, benaknya mulai tenang dan bisa kembali menggunakan akal sehatnya untuk melakukan investigasi mendalam terhadap teologi skolastik, filsafat, dan akhirnya tasawuf, sembari meyakini bahwa ketiganva merupakan pencari kebettaran yang konsisten. investigasinya mernbuatnya rnenolak dua disiplin yang pertama, meskipun terkadang dia menggunakan dengan baik metode keduanya di beberapa karya berikutnya, namun pada puncaknya, dia memutuskan bahwa tasawuflah yang hanya bisa mengantarkan kepada kebenaran yang sejati.
Tahun 488 H/1096 M, al-Ghazali menginggalkan Baghdad berikut semua kejayaan, kemasyhuran dan kekayaannya, kecuali sejumlah kecil yang cukup untuk keluarganya, menuju ke Makkah untuk melakukan haji dan kemudian ke Damaskus (Syam) tanpa keinginan untuk kembali lagi ke Baghdad. Di Damaskus dia tinggal di menara masjid Umayyah, menjalani kehidupan asketis dan beribadah. Di tempat ini pula dia mulai menulis adikaryanya, Ihya’ Ullumud-Din. Dan tak lama setelah itu, al- Ghazali kembali merantau ke Jerussalem, Hebron, Hijaz, Kairo dan Aleksandria untuk membuat jiwanya semakin matang.
Setelah sepuluh tahun di tanah rantau, pada tahun 499 H/1106-7 M, al-Ghazali kembali lagi ke Baghdad untuk mengajar dan menyebarkan ilmunya di Madrasah Nidzamiah. Mengenai keputusannya ini, dia bercerita, bahwa kehendak Allah-lah yang membuatnya harus melakukannya. Dia sudah konsultasikan hal ini kepada para guru spiritualis yang sudah mengalami mukasyafah, dan mendapat dukungan dari mereka untuk menghentikan uzlah dan juga seklusinya. Mereka juga telah bermimpi bahwa saat itu adalah moment terpenuhinya janji Tuhan untuk mengutus seorang pembaharu di tiap abad. Semua itulah yang semakin memantapkan tekad al-Ghazali.
Aku tahu, meskipun aku akan “kembali” mengajar lagi, namun bukan berarti aku akan “kembali” lagi seperti dulu. Dulu, aku mengajar untuk mendapatkan kedudukan duniawi, dan aku serukan itu dengan ucapan dan tindakanku. Itulah dulu muksud dan tujuanku. Sekorang, aku serukan ilmu untuk meninggalkan dan untuk memberitahukan rendahnya nilai kedudukan duniawi. Inilah niat, maksud, dan tujuanku sekorang. Tuhan lebih tahu hal itu.
Aku harap aku bisa memperbaiki diriku dan orang lain. Entahlah, apa aku bisa memenuhi maksudku itu atau malah meleset ke tujuan lain. Namun aku yakin dengan pasti dan mantap: tiada daya dan upaya selain aleh Allah yang Maha Agung lagi Maha Luhur, aku tidak bisa bergerak kecuali Dia menggerakkanku, aku tidak bisa bertindak kecuali Dia membuatku bertindak. Maka, aku memahan kepada-Nya agar dia mau memperbaikiku dan memberiku hidayah, agar memperlihatkan kesejatian sebagai Kesejatian dan memberiku kekuatan, untuk rnengikutinya, dan agar memperlihatkan kebatilan sebagai Kebatilan dan memberiku kekuatan untuk menjauhinya.
Tidak lama setelah itu, al-Ghazali kembali ke Thus dan rnembangun madrasahnya sendiri di sana. Di sana dia mengajarkan teologi dan juga menggembleng para peminat tasawuf. Dia membagi waktunya untuk membaca al-Qur’an, mempelajari hadits, bergaul dengan orang-orang salih, mengajar dan shalat.
Pada hari Ahad, 14 Jumadil Akhir 505 H/18 Desember 1111 M), al-Ghazali meninggal dunia di usia 53 tahun.
Sumber: Prinsip-Prinsip Menapaki Jalan Spiritual Islami, versi terjemah dari Ayyuha al Walad, fi Nashihah al-Muta’allimiin wa Mau’idhatihim Liya ‘lamu wa Yumayyizu ‘Ilman Nafi’an min Ghairihi, karya Imam al Ghazali, terjemah oleh Muhammad Hilal, Diamond, Yogyakarta, 2010.
“Al-Ghazali adalah seorang pembela lslam dan kaum muslim, pemimpin bagi para pemimpin agama. Belum pernah ada seorangpun yang seperti dia, tutur kata maupun ucapannya, jalan pikiran maupun penalarannya, kecerdasan maupun perangainya.”
Abu al-Hasan ‘Abd al-Ghafir al-Farisi
Namanya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad ath-Thusi, ber-kunyah Abu Hamid, bergelar Zain ad-Din (tiara agama). Lahir pada tahun 450 H/1058 M di Thus dan meninggal di tempat yang sama pada tahun 505 H/1111 M pada usia yang ke 53 (lima puluh tiga).
Ayahnya, seperti halnya kakeknya, adalah seorang pemintal dan penjual kain wol, amat miskin namun sangat salih. Ayahnya meninggal selagi al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, masih kanakkanak, dan sebelum meninggal dia menitipkan mereka berdua kepada seorang temannya yangkemudian mengirim mereka ke madrasah (sekolah) di sekitar rumahnya, diThus. lni merupakan langkah awal karir intelektual al-Ghazali.
Selagi masih remaja, al-Ghazali belajar fiqh kepada Syaikh Ahmad bin Muhammad ar-Radhkani ath-Thusi, dan kemudian kepada Imam Abu Nashr al-Isma’ili di Jurjan, Mazardaran, yang darinyalah al-Ghazali membuat catatan-catatan (ta’liqat).
Mengenai gurunya yang terakhir ini dengan hasil catatannya darinya, al-Ghazali menceritakan pengalamannya yang menarik. Sekembali dari Jurjan menuju Thus, dia dan rombongannya diserang oleh gerombolan perampok yang merampas semua borang bawaan mereka. Al-Ghazali mengikuti mereka meskipun ketua rombongan tersebut sudah memperingatkan betapa bahaya perbuatannya’ Setelah bertemu gerombolan itu lagi, dia memohon agar mengembalikan lembaran-lembaran catatan pelajarannya, yang meski mungkin tampak tidak berharga bagi mereka.
“Apa isinya?” tanya ketua gerombolan”
Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa lembaran-lembaran itu hanya berisi catatan pelajaran yang dia dapat di Jurjan. Mendengar hal ini, ketua gerombolan itu tertawa dan berkata, “Bagaimana kau mengaku berilmu, kalau ternyata kau cuma membawa-bawanya saja? Jika kau terpisah dari catatan-catatanmu, maka kau pun sudah tidak tahu apa-apa.”
Kata-kata ketua gerombolan ini menyentak batinnya. Dari itulah ia lalu bertekad untuk menghafalkan seluruh kitab beserta catatan-catatannya. Tiga tahun kemudian, dia telah hafal semua catatan studinya, agar tidak terulang hal yang sama kalau mungkin dirampok lagi.
Tahun 470 H/1077-8 M, al-Ghazali pergi ke Nisaphur, di sana ia belajar tentangTeologi, Filsafat, logika, Dialektika, dan Ilmu Alam kepada Abu al-Ma’ali al-Juwayni yang dikenal dengan sebutan Imam al-Haramain. Kepadanya, al-Ghazali juga memperdalam wawasannya tentang tasawuf yang meski telah ia pelajari selama di Thus kepada Yusuf an-Nassaj.
Di bawah bimbingan sang guru, wawasannya Menjadi ensiklopedis, meliputi berbagai macam Ilmu pengetahuan yang berkembang saat itu. Karir intelektualnya memang melebihi manusia rata-rata, hingga disaat ia menuntut ilmu di Nishapur, sang guru berkata tentang dirinya dan dua koleganya, “Al-Ghazali layaknya lautan untuk diselami, al-Kiya layaknya singa yang mengamuk, dan al-Khawafi layaknya api ya ng berkobar-kobar.”
Dikatakan pula bahwa “Al-Khawafi menguasai di bidang verifikasi, al-Ghazali di bidang spekulasi, dan al-Kiya di bidang eksplanasi.”
Sebagainnana diceritakan oleh al-Ghazalisendiri, di periode ini ia rnulai enggan pada dogmatisme dan menjauhi sikap taklid. Sejak masa muda, demikian al-Ghazali ia sudah berhasrat untuk memahami makna sejati dari segala sesuatu dan sudah sampai pada kesimpulan bahwa gangguan terbesar dalam pencarian kebenaran adalah meyakini begitu saja otoritas orang tua atau guru (taqlid), serta ketaatan kaku pada warisan masa lalu. Dia menyitir hadits Nabi, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang membuat dia menjadi Nasrani, Yahudi atau Majusi.”
Dia penasaran, fitrah macam apa yang dimiliki manusia sebelunn teroengaruh oleh lingkungannya. Dengan demikian, dia pun mulai mencari pengetahuan yang tidak menyisakan keraguan apapun dan tanpa kemungkinan salah sedikitpun.
Al-Ghazali menemukan bahwa pengetahuan yang sudah dia miliki, kecualiyang dia alami sendiri, tidak memenuhi kriteria diatas, dan hingga saat itu dia menjadi seorang pencari kebenaran sejati dengan standar yang sangat ketat. “Dia yang tidak meragukan apa-apa tidak akan melakukan investigasi,” katanya, “dia yang tidak melakukan investigasi tidak akan mendapat pengetahuan apapun, dan dia yang tidak mendapat pengetahuan apapun akan selalu buta dan luput.”
Baru pada 494H/1091M, enam tahun setelah wafatnya al-Haramayn, al-Ghazali ditunjuk mengetuai bagian teologi di Madrasah Nidzamiyah, Baghdad, oleh Perdana Menteri Nidzam al-Mulk, berkat kemasyhurannya yang Sudah tersebar ke santero negeri. Ketika itu Umurnya baru beranjak usia 34 tahun. Kehadirannya di Baghdad mendapat sambutan Hangat. Kuliahnya di kelas, pidatonya yang fasih, Pengajarannya yang berjangkauan luas, kiasan-kiasannya yang halus dan paparannya yang jernih membuat takjub para pendengarnya. Semua itu mengundang ketertarikan banyak orang, termasuk orang yang sudah sangat terpelajar sekalipun, para bangsawan, amir dan bahkan hakim khalifah juga. Selain memberi kuliah, al-Ghazali juga dipercaya untuk memberi fatwa dan mengorang beberapa karya. Di sinilah kejayaan, kekayaan, dan kemasyhuran ada di genggamannva.
Meskipun begitu, api intelektualitasnya yang berkobar dan hasratnya untuk menyingkap kebenaran secara keseluruhan belumiah padam. Dia bahkan sudah mulai meragukan inderanya sendiri, dan selama dua bulan terjebak di alam skeptisisme. Namun perlahan setelah itu, berkat pertolongan Allah, benaknya mulai tenang dan bisa kembali menggunakan akal sehatnya untuk melakukan investigasi mendalam terhadap teologi skolastik, filsafat, dan akhirnya tasawuf, sembari meyakini bahwa ketiganva merupakan pencari kebettaran yang konsisten. investigasinya mernbuatnya rnenolak dua disiplin yang pertama, meskipun terkadang dia menggunakan dengan baik metode keduanya di beberapa karya berikutnya, namun pada puncaknya, dia memutuskan bahwa tasawuflah yang hanya bisa mengantarkan kepada kebenaran yang sejati.
Tahun 488 H/1096 M, al-Ghazali menginggalkan Baghdad berikut semua kejayaan, kemasyhuran dan kekayaannya, kecuali sejumlah kecil yang cukup untuk keluarganya, menuju ke Makkah untuk melakukan haji dan kemudian ke Damaskus (Syam) tanpa keinginan untuk kembali lagi ke Baghdad. Di Damaskus dia tinggal di menara masjid Umayyah, menjalani kehidupan asketis dan beribadah. Di tempat ini pula dia mulai menulis adikaryanya, Ihya’ Ullumud-Din. Dan tak lama setelah itu, al- Ghazali kembali merantau ke Jerussalem, Hebron, Hijaz, Kairo dan Aleksandria untuk membuat jiwanya semakin matang.
Setelah sepuluh tahun di tanah rantau, pada tahun 499 H/1106-7 M, al-Ghazali kembali lagi ke Baghdad untuk mengajar dan menyebarkan ilmunya di Madrasah Nidzamiah. Mengenai keputusannya ini, dia bercerita, bahwa kehendak Allah-lah yang membuatnya harus melakukannya. Dia sudah konsultasikan hal ini kepada para guru spiritualis yang sudah mengalami mukasyafah, dan mendapat dukungan dari mereka untuk menghentikan uzlah dan juga seklusinya. Mereka juga telah bermimpi bahwa saat itu adalah moment terpenuhinya janji Tuhan untuk mengutus seorang pembaharu di tiap abad. Semua itulah yang semakin memantapkan tekad al-Ghazali.
Aku tahu, meskipun aku akan “kembali” mengajar lagi, namun bukan berarti aku akan “kembali” lagi seperti dulu. Dulu, aku mengajar untuk mendapatkan kedudukan duniawi, dan aku serukan itu dengan ucapan dan tindakanku. Itulah dulu muksud dan tujuanku. Sekorang, aku serukan ilmu untuk meninggalkan dan untuk memberitahukan rendahnya nilai kedudukan duniawi. Inilah niat, maksud, dan tujuanku sekorang. Tuhan lebih tahu hal itu.
Aku harap aku bisa memperbaiki diriku dan orang lain. Entahlah, apa aku bisa memenuhi maksudku itu atau malah meleset ke tujuan lain. Namun aku yakin dengan pasti dan mantap: tiada daya dan upaya selain aleh Allah yang Maha Agung lagi Maha Luhur, aku tidak bisa bergerak kecuali Dia menggerakkanku, aku tidak bisa bertindak kecuali Dia membuatku bertindak. Maka, aku memahan kepada-Nya agar dia mau memperbaikiku dan memberiku hidayah, agar memperlihatkan kesejatian sebagai Kesejatian dan memberiku kekuatan, untuk rnengikutinya, dan agar memperlihatkan kebatilan sebagai Kebatilan dan memberiku kekuatan untuk menjauhinya.
Tidak lama setelah itu, al-Ghazali kembali ke Thus dan rnembangun madrasahnya sendiri di sana. Di sana dia mengajarkan teologi dan juga menggembleng para peminat tasawuf. Dia membagi waktunya untuk membaca al-Qur’an, mempelajari hadits, bergaul dengan orang-orang salih, mengajar dan shalat.
Pada hari Ahad, 14 Jumadil Akhir 505 H/18 Desember 1111 M), al-Ghazali meninggal dunia di usia 53 tahun.
Sumber: Prinsip-Prinsip Menapaki Jalan Spiritual Islami, versi terjemah dari Ayyuha al Walad, fi Nashihah al-Muta’allimiin wa Mau’idhatihim Liya ‘lamu wa Yumayyizu ‘Ilman Nafi’an min Ghairihi, karya Imam al Ghazali, terjemah oleh Muhammad Hilal, Diamond, Yogyakarta, 2010.
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i (150 – 204 H)
Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. (767 M) di Ghaza, Palestina, dan meninggal dunia pada hari Kamis malam Jum’at tanggal 29 Rajab 204 H (20 Januari 820M) di Pusthat, Mesir.
Para penulis biografi Imarn Syafi’i sepakat mengenai tahun kelahirannya, dan pada tahun itu pula Imam Abu Hanifah wafat di Bagdad. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai tempatnya. Ada tiga nama tempat atau daerah yang disebut-sebut, yaitu Ghazza(h), ‘Asqalan, Yaman. Ghazzah dan ‘Asqalan kebetulan terletak dalam wilayah Palestina. Yaqut dalam bukunya Mu’jam al-Udaba’ menyebut ketiga tempat itu berdasarkan tiga riwayat yang datang dari Imam Syafi’i sendiri, yaitu:
(1) “Wulidtu bi Ghazzah sanata mi’atin wa khamsin . . . “
(2) “Wulidtu bi ‘Asqalan wa ‘Asqalan bi Gllazzaft) ‘ala tsalatsi
farasilh wa kilahuma min Falasthin.”
(3) “Wulidtu bi al-Yaman wa khafat ummi ‘ala al-dhai’ah hamalatni
ilaMakkata ….”.[ Muhyiddin abdissalam Baltaji, Mauqif Imam Syf i, Mesir Mathabi' al-Ahram al-Tijariyah, 1972, hal 12.]
Riwayat yang berbeda-beda itu dapat digabungkan, yaitu beliau dilahirkan di Ghazza lalu dibesarkan di ‘Asqalan di tengah-tengah penduduk yang berasal dari Yaman. Yaqut sendiri setelah mengemukakan ketiga versi riwayat tersebut menegaskan, bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di Ghazza(h), kemudian pindah ke ‘Asqalan sampai usia remaja. [Dr. Ahmad al-Syurbasi, Al-Aimmat al-Arba'ah, terjemahan Staf Penerbit Mutiara, Jakarta 1979, hal. 119]
Bila kita perhatikan memang Yaman cukup jauh di Selatan, sehingga tidak mungkin dia salah sebut. Kenyataan menunjukkan, bahwa di daerah Palestina banyak terdapat orang Yaman, bahkan suku ibunya termasuk suku Yamani.
Syafi’i kecil bemama Muhammad. Lengkapnya: Muhammad bin Idris. Setelah anaknya yang bemama Abdullah lahir, maka beliau dipanggil Abu Abdillah. Silsilah leluhumya bertemu dengan silsilah Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf sebagaimana terlihat pada silsilah berikut: “Abu Abdillah, Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin al-Saib bin’Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf’. [Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah, Kairo: Mathba'ah al-Madani, tt, hal 246]
Abdu Manaf ini mempunyai empat orang puha, yaitu al- Muththalib, Hasyim, Abdu Syams dan Noufal. Kepada al-Muththalib inilah Syafi’i menisbatkan dirinya, dan al-Muththalib ini pula yang mengasuh Abdul Muththalib bin Hasyim, nenek Nabi Muhammad SAW.
Seperti juga ayahnya, maka Imam Syafi’i pun bersuku Quraisy. Hal itu berbeda dengan ibunya, Fathimah binti Abdillah al-Azdiyah yang bersuku Yaman. Sebenamya orang tua Imam Syafi’i itu penduduk Makkah. Tetapi pada suatu ketika mereka pergi ke Ghazza(h) untuk suatu keperluan, lalu mereka tinggal di perkampungan orang-orang asal Yaman, dan meninggal dunia di sana ketika Syafi’i masih bayi.
Hidup dalam keadaan yatim bersama ibunya yang miskin, namun mulia dalam keturunan telah membentuk pribadi Syafi’i menjadi orang yang dekat dengan masyarakat lingkungannya dan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Mungkin keadaan itu pula yang menyebabkannya berfikir tidak terlalu rasional tapi tidak pula terlalu hadisional. Berbeda dengan Abu Hanifah yang hidup serba berkecukupan dalam keluarga saudagar kaya; dan berbeda pula dengan Imam Mdik yang walaupun pada mulanya mengalami hidup miskin tapi akhimya beliau juga hidup berkectd
Imam Syafi’i pun selama berada di Madinah tinggal di rumah Imam Malik secara gratis, bahkan ketika Imam Syafi’i hendak pergi ke Iraq beliau disangoni uang untuk bekal dan biaya perjalanan. [Munawar Khalil op cit, hal. 167]
PENDIDIKAN
Bakat untuk menjadi alim besar oan mujtahid mandiri (mustaqil) xtdahmulai tampak dan tumbuh sejak rnasih kecil. Hal itu dapat dilihat pada ingatan dan hafalannya yang kuat, rninat dan semangat belajamya yang tinggi, ditunjang oleh kerajinan dan ketekunan yang tak kenal lelah. Bukti menunjukkan, bahwa ia sudah hafal serta telah menguasai isi kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia sepuluh tahun. Bahkan ia telah hafal al-Qu/an pada usia tujuh tahun. [Syarbini al-Khatib, Mughny al-Muhtaj, Mesin Musthafa al-Babi al-Halabi, 1985, hal 13]
Ia pemah tinggal di perkampungan Bani Hudzail untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan bahasa dan sasha Arab yang masih mumi dan asli, sehingga ia pun terkenal sebagai penyair yang mempesona pendengamya. Ia hidup bergaul dengan warga kabilah tersebut, mempelajari adat istiadat mereka dan cara hidup mereka sehari-hari. Kemudian ia belajar ilmu fiqh pada seorang alim besar, mufti kota Makkah dan guru besar di Masjidil haram bernama Muslim bin Khalid al-Zanji. Bahkan pada usia 15 tahun ia sudah mendapat kepercayaan dari sang guru untuk memberi fatwa di depan majlis yang banyak dikunjungi oleh ulama-ulama terkenal dari seantero pelosok dunia Islam ketika itu; di samping ia sendiri terus menambah ilmunya.
Di samping itu ia belajar ilmu hadits pada seorang ulama hadits kenamaan, al-Imam Sufyan bin’Uyainah (107 – 198 H). Karena merasa ilmunya masih kurang ditambah pula oleh adanya dorongan para ulama dan guru-gurunya yang berada di kota Makkah maka pergilah ia mengunjungi Imam Malik di Madinah untuk berguru dan bergaul. Di Madinah ia memperdalam ilmu tentang fiqh dan hadits, sehingga ia dikenal itu sebagai murid dan pengikut Imam Malik.
Apabila kita perhatikan riwayat-riwayat yang menceritakan tentang kegiatan dan usaha Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu, kita akan menemukan bermacam versi dan variasi, daq riwayat-riwayat itu bersumber dari beliau sendiri. Kalau riwayat-riwayat itu digabungkan maka akan diperoleh suatu gambaran adanya tahap-tahap yang dilalui oleh Imam Syafi’i.
Tahap-tahap itu adalah sebagai berikut:
Tahap l, masa kanak-kanak. Pada masa ini Syafi’i mulai belajar tulis baca, menghafal al-Qut’an dan beberapa buah hadits dengan cara turut menyimak pengajian yang diberikan oleh para guru di mesjid. Apa yang didengamya lalu dicatat dan dihafal. Karena keadaan ekonomi yang serba kekurangan,maka ia tidak segan-segan memanfaatkan barang-barang bekas seperti tulang,, ternbikar dan kertas-kertas bekas yang tak terpakai lagi sebagai tempat ia mencatat pelajaran sehingga ruangan tempat tidumya sarat dengan barang bekas penuh catatan. Dengan tekun catatan itu dihafalnya di luar kepala. Tidaklah heran bila pada tahap ini ia bersemboyan, bahwa “pengetahuan itu laksana binatang buruan, dan tulisan itulah talinya. Maka oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah suatu keteledoran apabila orang memburu masa lalu ia biarkan rusa itu di tengah orang ramai tanpa ikatan”.
Tahap II, masa remaja. Pada masa inilah ia pergi ke perkampungan kabilah Hudzail unfuk belajar bahasa dan adat istiadat mereka. Sekembalinya dari sana ia mulai pula belajar ilmu fiqh dan hadits serta mendapat kepercayaan memberi fatwa di Masjidilharam.
Tahap III, masa dewasa. Kegiatannya pada masa tahap ketiga ini ditandai dengan kepergiannya ke Madinah mengunjungi Imam Malik. Usianya ketika itu sudah mencapai 20 tahun. Sering ia diminta oleh gurunya (Imam Malik) membacakan isi al-Muwaththa’ di depan murid-murid madrasah Imam Malik di sana, di antara mereka terdapat pula ulama,ulama. Hal itu membuktikan, bahwa ia benar-benar telah menguasai isi kitab yang merupakan “bukuwajib”bagi mereka yang ingin mempelajari mazhab Malik pada masa itu.
Sementara itu ia mendengar pula bahwa di kota Baghdad berdiam dua orang ulama besar rnurid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah yaitu Imam Abu Yusuf dan Imam Muharnmad bin al-Hasan al-syaibani. Timbul hasra6rya untuk menyauk ilmu dari kedua ulama tersebut. Maka dengan resil dari Imam Malik berangkatlah ia ke Baghdad di Iraq itu. selama berada di kota Baghdad itu ia menjadi murid Imam Muhammad bin al-Hasan. Banyaklah kesempatannya untuk belajar, berdiskusi dan berbincang-bincang soal agama dengan sang guru; dan dapat pula ia rnenyalin dan mengutip naskah dan kitab-kitab yang terdapat di nrmah Imam tersebut.
Dengan demikian bertambah luaslah ilrnunya terutama tentang mazhab lraq yang dalam beberapa literatur disebut fiqh lragi.’ Di samping itu ia juga memperoleh pengetahuan tentang masalah-masalah peradilan dan hukum acara yang berlaku di Iraq tentang adat istiadat atau ‘uruf setempat. Imam Syafi’i rupanya menganut apa yang disebut “pendidikan seumur hidup” (the long life education) seperti diajarkan dalam Islam “thalabul ‘ilmi minal mahdi ilal lahdi”.
Bila direntang nama-nama para gurunya maka selain yang telah disebut di muka masih ada lagi nama-nama seperti Sa’ad bin Salim al-Qaddah, Daud bin Abdrrahman at-’Aththar dan AMulhamad bin Abdul ‘Aziz bin Abi Ruwad. Di Madinah beliau juga belajar pada Ibrahim bin Sa’ad al-Anshari, Abdul ‘Aziz bin Muhammad al- Darawardi, Ibrahim bin Yahya al-Usami, Muhammad bin Sa’id bin Abi Fudaik dan AMullah bin Nafi’ al-Shaig. Di Yaman Imam Syafi’i bertemu dengan ulama-ulama setempat seperti Mahaf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf (Hakim kota Shan’a), Amer bin Salmah (sahabat al-Auza’i) dan Yahya bin Hassan (sahabat al-Laits bin Sa’ad). Di Iraq, selain belajar pada Imam Abu Yusuf dan Imam Hasan al-Syaibani, juga beliau berguru kepada Waki’ bin al-Jarrah, Abu Usamah Hammad al-Kufi, Ismail bin ‘Athiyyah al-Bashri dan Abdulwahhab bin Adilmajid al Bastui.
Memperhatikan narna-nama di atas serta tempat tinggal mereka, jelas mereka memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu dan aliran yang tertentu pula, bahkan ada yang menganut faham muktazilah, Syi’ah dan sebagainya, dan adat istiadat yang berbeda pula. Belajar dan bergaul dengan orang-orang yang berbeda-beda keahlian, aliran dan faham serta tempat tinggal itu jelas akan memperluas cakrawala pemikirannya. Dalam diri Imam Syafi’i bertemu aliran hijazi dan iraqi alias aliran-aliran ahlul hadits dan ahlul ra’yi. Di samping itu pola pikir Mu’adz bin Jabal mengesan pula dalam otak Imam Syafi’i di mana pegangan utamanya adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sedangkan ra’yu hanya menrpakan altematif ketiga, artinya ra’yu baru dipakai bilamana hukum yang dicari tidak terdapat dalarn kedua sumber ini.
MURID-MURIDNYA
Tidaklah lengkap rasanya bila murid-murid tidak disebut di sini mengingat peranan mereka sangat besar di dalam menyebarluaskan mazhabnya. Mereka tersebar di mana-mana, terutama di Iraq dan Mesir, di samping mereka yang memilih kota Makkah sebagai tempat tinggalnya.
Di Iraq terdapat nama-nama antara lain:
(1) Al-Husein bin Muhammad al-Shabah al-Bazzar al-Za’farani (w. 260 H). Dialah yang menulis dan membukukan kitab Al-Hujjah, yang diimlakkan oleh Imam Syafi’i dan dia pula yang membacakannya di depan para peserta halaqah (pengajian) di Bagdad. Suaranya bagus dan bahasanya amat fasih. Pada mulanya dia menganut faham ‘iraqi, tetapi kemudian beralih kepada mazhab Syafi’i dan menjadi pengikut yang amat setia.
(2) Al-Husein bin Ali al-Karabisi (w. 240 H) seorang penulis yang produktif, telah menulis buku lebih seratus judul (juz). seperti juga temannya (al-Za’farani) al-Karabisi semula adalah penganut aliran iraqi, tetapi kemudian pindah kepada mazhab Syafi’i.
(3) Ahmad bin Hambal (164 – 241 H) mula berkenalan dengan Imam Syafi’i sejak di Makkah. Beliau ini seorang murid yang sangat brillian yang akhimya mendirikan mazhab sendiri.
(4) Sulaiman bin Daud al-Hasyimi (w. 220 H), berasal dari bani Abbas. Kecerdasannya menyamai Ahmad bin Hambal sehingga Imam Syafi’i pemah berucap: “Aku tidak tahu siapa di antara kedua orang ini yang lebih cerdas, Ahmad bin Hambal ataukah Suleiman bin Daud al-Hasyimi”.
(5) Ahmad bin Muhammad bin Yahya al-’Asy’ari al-Bashri, alim tentang hadits luas pengetattuannya dan berpandangan kritis, pembela mazhab gurunya sepeninggal sang guru dari kota Bagdad; lalu menggantikan gurunya mengajar di halaqah.
(6) Abu Tsaur al-Kilabi al-Bagdadi (w. 240 H), mula-mula menganut mazhab Hanafi kemudian pindah kepada mazhab Syafi’i.
Di Mesir terdapat nama-nama muridnya antara lain:
(1) Harmalanbin Yahya al-Tujibi (166 – 243H), guru Imam Muslim bin al-Hajjaj penyusun kitab shahih.
(2) Al-Rabi’bin sdaiman al-Muradi (w. 270H) yang menukil buku al-Risalah al-Jadidah dan al-tJmn karya Imarnsyafit, pindah dari Bagdad ke Mesir bersama-sama Imam Syafil.
(3) Abdullah bin Zubeir al-Humaidi (w. 219 H) juga darang dari Bagdad benama-sama Imam Syafi’i.
(4) Abu Ya’qub Yusuf bin yahya al-Bawaihi (w. 232 H). Dia lah yang menggantikan Imam Syafi’i mengajar di halaqah selama 27 tahun.
(5) Abu lbrahim.Ismail bin yahya al-Muzani (w. 264 H). Dia mengajar menggantikan al-Buwaithi mengisi lratqah, seorang ahli fiqh, banyak karyanya datam mazhab Syafi,i antara lain kitab al-Mukhtashar alKabir dan al-Shaghir.
(6) Abdurrahman bin Abdillah bin Abdilhakam (w. 257 H) seorang ahli sejarah Islam, sahabat kental Imam.Syafi’i.
(7) Muhammad bin Abdillah bin Abdilhakam (182 – 268 H). Sepeninggalan Imam Syafi’i ia kembali ke halaqah asuhan ayahnya dan mempelajari mazhab Maliki.
(8) Al-Rabi’ bin Sulaiman bin Daud at-Jizi (w. 256 H), seorang Faqih yang saleh tetapi sedikit sekali meriwayatkan buah pikiran Imam Syafi’i.
(9) Abu Bakar al-Humaidi (w 237 H), murid sekaligus sahabat Imam Syafi’i, belajar bersama-sama pada Sufyan bin’Uyaynah di Makkah kemudian pindah ke Mesir. Setelah Imam syafi’i wafat ia kembali ke Makkah.
(10) Ibnu Muqlas Abdul ‘aziz bin Umar (w. 234 H), ketika Imam Syafi’i tiba di Mesir ia segera bergabung sambil belajar.
(11) Abu Utsman Muhammad bin al-Syafi’i (w’ 232 H), putera sekaligus murid Imam Syafi’i.
(12) Abu Hanifah al-Asnawi (w’ 27lH)-orang Mesir asal Qibthi yang banyak menulis tentang mazhab Syafi’i.
SUKA DUKA KEHIDUPAN IMAM SYAFI’I
Kemangkatan Imam Malik sangat berpengaruh terhadap kehidupan lm-am Syafi’i, karena selama ia tinggal di Madinah yang cukup lama itu Imarn Maliklah yang menanggungnya. Sekarang Imam Malik telah tiada.
Pada suatu hari Wali (Gubemur) Yaman datang ke Madinah untuk ziarah ke makam Rasulullah SAW. Kepadanya diceritakan orang tentang keadaan Imam Syafi’i, kepribadiannya, kecakapannya dan ketinggian ilmunya. Maka tertariklah hati Gubemur, lalu diadakanlah pertemuan antara kedua beliau, dan tercapailah kesepakatan bahwa al Imam akan pindah ke Yaman diangkat sebagai sekretaris Gubernur. Tak lama kemudian beliau diangkat pula menjadi sekretaris Wilayah merangkap Kepala Daerah untuk Najran.
Di samping itu beliau tetap noengajar di mesjid-mesjid di wilayah Yaman sekaligus menjadi mufti. Ketika berada di Yaman itu, beliau menikah dengan seorang puteri bangsawan bemama Hamidah binti Nafi’ bin Utsman bin’Affan. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai tiga orang anak, seorang laki-laki dan dua orang perempuan
yang laki-laki bemama Muhammad, biasa dipanggil Abu Utsman yang kemudian menjadi ulama besar pula dan qadhi di daerahnya, meninggal dunia pada tahun 240 H. Adapun yang perempuan bemama Zainab dan Fathimah.
Di Yaman beliau terkenal seorang yang adil dan jujur. Karena itu beliau sangat disegani dan dihormati orang. Namun masih saja ada orang yang tidak merasa senang dengan keadilan dan kejujuran beliau, karena sulit bagi mereka untuk membujuk dan menjilat kepadanya agar ia memenuhi keinginan rnereka, hal mana sesungguhnya sudah menjadi kebiasaan orang pada waktu itu. Karena rasa iri dan frustasi, maka mereka lancarkanlah isyu dan fitnah atas diri Imam Syafi’i. Diisyukan bahwa Imam Syafi’i turut mengembangkan faham Syi’ah dan bersekongkol untuk menentang Khalifah Harun al-Rasyid di Bagdad. Akibat isyu dan fitnah tersebut beliau ditangkap, dan bersama-sama sepuluh orang pentolan Syi’ah dibawa ke Bagdad untuk dihadapkan ke muka sidang pengadilan Khalifah. Dengan kaki terikat beliau memasuki ruang sidang sambil mengucapkan salam keislaman “Asslamu ‘alaika ya amirul Mukminin wa barakatuh”. Beliau tidak menyebut kata “wa rahmatullahi”" Khalifah menjawab: “Wa ‘alaikassalam wa rahmatullahi wabarakatuh.”
Dengan perasaan heran Harun al-Rasyid memperhatikan sikap Imam Syafi’i yang begltu tenang padahal orang-orang Syi’ah yang dibawa bersamannya dari Yaman telah dijatuhi hukuman mati. Berkata al-Rasyid: ‘Engkau mulai dengan ucapan yang Sunnah tidak mewajibkannya, sedangkan kami menjawabnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban; amat mengherankan engkau telah berani bicara dalam majelis ini tanpa izin kami”. Imam Syafi’i nenjawab: “Sesungguhnya Allah telah berfirman ddam kitabNya yang mulia:
Selanjutnya beliau berkata: ‘Tuhan apabila berjanji pasti menepatinya. Kini DIA telah mengangkat baginda menjadi khalifah di bumiNya yang luas ini dan baginda telah rnemberi rasa aman kepada hamba ketika hamba dalam ketakutan dengan ucapan “warahmatullahi”, yang berarti baginda telah melimpahkan rahmat Tuhan kepada hamba atas kemurahan hati baginda sendiri”.
Mendengar ucapan Imam Syafi’i yang fasih itu rupanya tersentuh juga hati Harun al-Rasyid lalu ia berkata: “Bukankah engkau yang mempelopori komplotan pemberontak untuk menentangku? Bukankah engkau orang yang jelas kesalahannya?”. Imam Syafi’i menjawab: “Sekarang baginda telah mengemukakan apa yang terlintas di hati baginda, maha aku pun akan menjelaskan apa yang terasa di hati hamba untuk mencari keadilan dan kebenaran. Akan tetapi dapatkah orang melahirkan perasaannya dengan saksama kalau kakinya dirantai dengan besi yang berat ini? Hamba mohon kiranya rantai yang membelit di kaki hamba ini dapat dilepas, dan hamba diperkenankan duduk secara wajar. Allah Maha kaya lagi Maha terpuji”.
Khalifah lalu memerintahkan kepada pembantunya bernama Siraj supaya melepas rantai yang melingkari kaki Imam Syafi’i. Setelah rantai terlepas Imam Syafi’i terus membaca fimtan Allah yang berbunyi:
Selesai membaca ayat tersebut lalu ia berkata: ‘Hamba berlindung kepada Allah, baginda pihak yang menyuruh datang, sedangkan hamba yang disuruh datang. Tentu baginda dapat berbuat apa saja, sedangkan hamba tak dapat berbuat apapun. Benar-benar bohong orang yang telah mengadukan hamba kepada baginda. Hamba punya dua ikatan dengan baginda; pertama, hamba dan baginda sama-sama
muslim; kedua, hamba dan baginda masih satu turunan. Baginda haruslah berpegang kepada Kitabullah. Baginda anak paman Rasulullah yang harus rnelindungi agamanya”.
Mendengar kata-kata itu Khalifah tiba-tiba jadi gembira, lalu berkata: ‘Tenangkanlah pikiran anda. Saya menghargai ilmu-mu dan juga saya menghormati ikatan darah antara kita berdua”.
Kemudian terjadilah dialog antara kedua hamba Allah itu. Khalifah bertanya: “Seberapa jauh ilmu-mu tentang Kitabullah?” Dijawab oleh Lnam Syafi’i: “Kitab Allah itu banyak, mana yang baginda tanyakan?” Khalifah menjawab: ‘Yang kutanyakan adalah kitab yang diturunkan kepada anak paman saya, Muhammad Rasulullah”. Imam Syafi’i menimpa lagi: “^Al-Qur’an dari segi apa yang baginda maksud?” “Dari segi hafalan”, kata Khalifah. Imam Syafi’i menjawab tegas: “Hamba telah hafal al-Qut’an seluruhnya; hamba tahu tempat berhenti dan tempat memulai bacaan, tentang nasikh dan mansukhnya, yang samar-samar dan yang jelas tegas, yang mutasyabih dan yang rnuhkam, yang umum dan yang khusus”. Khalifah jadi heran lalu mengalihkan pertanyaan ke soal-soal ilmu falak (perbintangan), kedokteran, firasat dan lain-lain, yang semuanya dijawab oleh Imam Syafi’i dengan sangat memuaskan. Kemudian Khalifah bertanya pula: “Bagaimana pengetahuan Anda tentang silsilah keturunan bangsa Arab?” Imam Syafi’i lalu menjelaskan: ‘Ada yang mulia dan ada yang tidak baik. Hamba tahu silsilah keturunan hamba dan keturunan baginda”. Akhirnya Khalifah berkata “Apa yang akan Anda nasehatkan kepadaku?”
Lalu Imam Syafi’i menyampaikan nasehat yang pemah diucapkan oleh Thawus al-Yamani yang rupanya amat mengesan di hati Khalifah, sehingga baginda menangis rnendengamya. Khalifah kemudian memberi hadiah buat Imam Syafi’i, tetapi kali ini ditolaknya secara halus dan sopan.Maka bebaslah Imam Syafi’i dari tuduhan dan fitnah yang dilancarkan oleh omng-orang yang tidak senang kepadanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 184 H. ketika beliau berusia 34 tahun.
Beberapa hari kemudian Imam Syafi’i kembali mengunjungi Khalifah di istana. Pada pertemuan kali ini Khalifah memberinya hadiah berupa uang 1000 dinar, dan hadiah itu diterimanya. Akan tetapi uang itu diberikannya pula kepada pegawai-pegawai istana yang dijumpainya disepanjang jalan menuju gerbang keluar istana.
Akhimya sesampai di luar istana uangnya hanya tinggal sedikit lalu diberikannya kepada pelayan istana yang bemama Siraj yang sengaja membuntutinya untuk melihat apa yang dilakukan Imam Syafi’i dalam perjalanan menuju ke luar. Semua yang disaksikannya itu dilaporkannya kepada Khalifah, maka tahulah beliau bahwa Imam Syafi’i itu benar-benar seorang yang tinggi dan mulia dari keturunan bani al-Muththalib.
Pengalaman lain yang tak kurang pula berkesannya bagi Imam Syafi’i adalah pertemuannya dengan para ulama besar di masanya. Selama berada di Bagdad, kota budaya dan ilmu itu, ia sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah membahas masalah-masalah keagamaan, terutama dengan kedua murid dan sahabat abu Hanifah yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, pertemuan mana kadang-kadang juga dihadiri oleh Khalifah.
Wafatnya Imam Abu Yusuf tahun 182 H. dan Imam Muhammad bin al-Hasan tahun 188 H. kemudian mangkat pula Khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 193 H. disusul pula oleh al-Amin tahun 198 H. kesemuanya itu telah mendorong al lmam untuk kembali ke Bagdad. Yang jadi khalifah waktu itu adalah al-Makmun, adik al-Amin.
Sekalipun cuma sebulan ia tinggal di Bagdad, namun ia telah sempat menarik banyak pengunjung dari segala lapisan masyarakat, para ulama, cendikiawan, pegawai pemerintahan dan lain sebagainya.
Pada suatu ketika beberapa orang ulanna di Iraq bersepakat untuk mengadakan diskusi dengan Irnam Syafi’i. Topik diskusi telah ditetapkan. Tujuan diskusi itu sebenamya untuk mencari kelernahan Imam Syafi’i, namun yang kejadian malah sebaliknya. Semua masalah yang dikemukakan dapat dipecahkan oleh Imam Syafi’i dengan sangat memuaskan, bahkan Khalifah sendiri merasapuas dankagum sehingga Khalifah menawarkan jabatan “qadhi” untuk negeri Yaman kepada beliau. Untuk tawaran itu beliau menjawab: “Mudah-mudahan Allah memanjangkan usia baginda. Saya sama sekali tidak ambisi kepada pangkat dan jabatan yang tinggi itu. Saya bermaksud hendak pergi ke Mesir, itupun jika sekiranya baginda memperkenankannya”. Khalifah menjawab: “Jika demikian baiklah, Insya’ Allah.
Mengenai karya tulisnya, imam Syafi’i banyak menulis dalam berbagai bidang ilmu. Menurut beberapa ahli sejarah beliau telah menulis sebanyak 113 buah kitab/naskah dalam pelbagai bidang ilmu yang cukup luas dan beragam seperti ushul fiqh, fiqh, tafsir, sastera dan lain-lain. Sebagian besar karya Imam Syafi’i ditulis di Iraq sekitar tahun 195 – 199 H. pada waktu ia berusia antara 45 – 49 tahun. Tidak diperoleh informasi apakah Imam Syafi’i pemah menulis buku sewaktu berada di Mekkah. Yang jelas ketika ia berada di Mekkah pemah ia menulis surat (risalah) kepada seorang ulama ahli hadits bemama Abdul Rahman bin Mahdi yang kemudian meminta Imam Syafi’i agar mau menulis buku tentang ushul fiqh. Atas permintaan itu Imam Syafi’i lalu menulis kitab yang sangat populer yaitu Al-Risalah. Ada kemungkinan bahwa kitab itu mulai ditulis ketika dia berada di kota Mekkah, dan baru dipublikasi setelah dia pindah ke Iraq dengan perbaikan-perbaikan seperlunya atas kerja sama dengan murid-muridnya di sana. Al-Risalah merupakan kitab ushul fiqh yang tertua dan dianggap kitab ushul fiqh yang pertama.
Kitab-kitab Imam Syafi’i ada yang ditulis sendiri dan ada pula yang ia imlakkan kepada murid-muridnya, seperti kepada al Za’farani dan al-Rabi’. Perlu juga diketahui bahwa tidak semua kitab yang berisi buah pikiran Imam Syafi’i itu dinisbahkkan kepada namanya, tetapi ada pula yang dinisbahkan kepada murid-muridnya, umpamanya kitab-kitab mukhtashar. Kitab-kitab beliau seperti al-Umm, al-Risalah, Ikhtilaf aI ‘Iraqiyin, Ikhtilafu Malik, Ikhtilafu ‘AIi wa’ Abdillah dan masih ada beberapa lainnya, semuanya dinisbahkan kepada namanya sendiri, isi dan lafaznya asli dari beliau. Sedangkan kitab-kitab seperti Mukhtashar al-Buwaithi dan Mukhtashar al-Muzani adalah kitab-kitab yang dinisbahkan kepada murid-murid tersebut, isi dari beliau sedangkan lafaz dan susunan kalimatnya dari orang yang mengikhtisarkannya. Selain judul-judul yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi yang lainnya, seperti lbthal al-Istihsan, Ahkam al-Qur’an, Al-Musnad, Al-Ra’du ‘ala Muhammad ibn al-Hasan, Al-Qiyas, Al-lmla’, Al-Amali, Al-Qasamah, Al-Jizyah, Qital Ahl al- Baghyi, Siyar al-Auza’i, Ikhtilafu al-H adits, Istiqbal al-Qiblataini dan lain-lain.
Di antara judul-judul tersebut ada yang hanya dapat dijumpai namanya saja dalam karya-karya ulama sesudahnya dan ada pula yang dimasukkan ke dalam judul lain. Hanya beberapa judul saja yang dapat kita temukan beredar di Indonesia antara lain al-Risalah, al-Umm, al Ahkam al-Qur’an. Mengenai al-Umm yang dipandang sebagai “Buku Induk” dalam mazhab Syafi’i perlu mendapat perhatian khusus, karena ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa al-Umm itu bukan karya Imam Syafi’i tetapi karya Buwaiti yang diberikannya kepdada al-Rabi’ untuk disebarluaskan. Pendapat tersebut dilansir oleh seorang ulama tasawuf bemarna Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya Qut al-Qulub. Sementara itu ulama-ulama yang lain berpendapat bahwa al-Buwaithi hanyalah nnengurnpulkan apa yang ditulis atau diimlakkan Imam Syafi’i kemudian diserahkannya kepada al-Rabi’ dan oleh al-Rabi’ lalu ditambah dan dipublikasi.
Pendapat yang kedua ini tampaknya lebih benar tetapi perlu diselidiki lebih lanjut. Buwaiti bukanlah satu-satunya orang yang menulis dan meriwayatkan pendapat dan fatwa-fatwa al-Imam paling tidak masih ada dua orang lagi yang dekat dan giat mencatat dan meriwayatkan pendapat dan fatwa Imam Syafi’i selama ia berada di Iraq, yaitu al-za’farani dan al-Karabisi. sedangkan di Mesir terdapat pula nama-nama seperti Harmalah, al-Rabi’ dan lain-lain. Mengenai hubungan antara Imam Syafi’i dan al-Rabi’ ada dua hal yang perlu diperhatikan; pertama, bahwa al-Rabi’ boleh dikatakan orang yang paling rajin dan banyak mendampingi Imam Syafi’i selama di Mesir, Pada saat-saat ia tidak berada di dekat al-Imam, ia tetap mengikuti dari jauh, dan setelah berkumpul kembali maka ia tanyakan apa-apa yang tidak didengarnya selama ia absen. Jadi sedikit sekali kemungkinan al-Rabi’ tidak memiliki tulisan atau catatan langsung dari Imam Syafi’i selama ia berada di Mesir itu. Kedua, para ulama sepakat bahwa perawi kitab-kitab Imam Syafi’i adalah al-Rabi.
Dari berbagai informasi dapat kita dapati dan kemudian kita tarik kesimpulan bahwa Imam Syafi’i memang telah menyusun kitab-kitabnya; ada yang ditulisnya sendiri dan ada pula yang diimlakkannya kepada murid-muridnya, baik sewaktu ia berada di Iraq maupun setelah ia rnenetap di Mesir. Kitab-kitab ini telah dibacakan pula di hadapan murid-muridnya yang lain. Al-Za’farani adalah orang yang sangat fasih dan bagus membaca kitab-kitab Imam Syafi’i di Iraq, dan al-Rabi’ orang yang paling banyak menulis, mencatat dan meriwayatkan pendapat, fatwa dan kitab-kitab Imam Syafi’i di Mesir. Seperti diketahui, bahwa Imam Syafi’i setelah menetap di Mesir mengalami perkembangan baru dalam ijtihadnya, yaitu lahirnya pendapat atau qaul baru dalam beberapa masalah fiqh yang berbeda dengan pendapat atau qaul lama sewaktu ia berada di lraq. setelah terjadinya perubahan itu maka al-Rabi’ menulis dan meriwayatkan kembali apa yang pernah dinrlis oleh al-Buwaithi dan al-Za’farani sebelumnya (al-Hujjah atau al-Mabsut) serta memasukkan pendapat dan komentarnya sendiri. Itulah yang kita kenal sekarang dengan kitab al-Umm.
Logislah bila dikatakan, bahwa al-Umm itu intinya adalah al-Hujjah atau al-Mabsuth yang telah mengalami koreksi, penyaringan dan penambahan-penambahan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan dan adat istiadat setempat. Dalam hal ini rupanya al-Rabi’ sangatlah berhati-hati dan teliti. Redaksi (ibarat) yang terdapat di dalam naskah aslinya atau yang didengamya langsung dari Imam syafi’i tetap dipertahankannya sekalipun kadang-kadang jelas salah, namun tak lupa diberinya penjelasan. Dan apa-apa yang memang tidak didengamya langsung dari Imam Syafi’i dikatakannya bahwa dia tidak mendengarnya. Kadang-kadang al-Imam telah “meninggalkan” pendapat yang tercantum di dalam kitabnya, tetapi tulisannya masih tetap seperti apa adanya semula. Hal itu disebabkan perubahan terjadi setelah tulisan itu dibukukan. Ketika itu cukuplah bagi al-Rabi’ membubuhi keterangan atau catatan kecil bahwa dalam masalah tersebut telah terjadi perubahan.
Demikianlah kesimpulan Imam Abu zahrah yang kemudian menambahkan, bahwa bagi orang yang dapat merasakan dzauq (rasa bahasa) pastilah akan berkesimpulan bahwa gaya bahasa al-Umm tidak berbeda dengan gaya bahasa al-Risalah yaitu gaya bahasa Imam Syafi’i. Adapun bila di beberapa tempat terasa agak lain, itu hanyalah pengaruh perbedaan situasi dan kondisi sewaktu dicetuskannya pendapat tersebut serta perbedaan topik atau subjek (maudhu’) yang sedang dibicarakan.
Akhimya, dalam keadaan yang demikianlah para ulama telah datang berbondong-bondong menyalin, mencatat dan menukil kitab-kitab Imam Syafi’i itu.
.
Sumber: Imam Syafi’i, Mujtahid Tradisional Yang Dinamis, Drs. Ismail Thaliby, M.A., Kalam Mulia, Jakarta, 1993.
.
KITAB-KITAB
[diambil dari buku: Ulama Syafi'i dan Kitab-Kitabnya Dari Abad ke Abad]
Berkata Imam Abu Muhammad Qadli Husein (wafat 462 H.) dalam Muqaddimah kitab Ta’Iiqahnya, bahwa Imam Syafi’i rhm mengarang 113 (seratus tiga belas) kitab, terdiri dari kitab-kitab fiqih, Tafsir, Adab, dll.
Memang banyak karangan beliau, diantaranya:
1. Ar Risalah. (ushul Fiqh yang pertama di dunia).
2. Al Hujjah. (fiqih qaulul qadim).
3. Al Umm (qaulul jadid – 4 jilid besar).
4. Mukhtashar al Buwaithi. (dihimpun oleh murid beliau Al Buwaithi).
5. Mukhtashar Ar Rabi’i. (dihimpun oleh murid beliau Ar Rabi’ al Muradi).
6. Mukhtashar al Muzannii. (dihimpun oleh murid beliau al Muzanni).
7. Risalah fi Bayanin Nasikh al Mansukh. (ushul fiqih).
8. Ahkamul Qur’an. (ayat-ayat hukum dalam al-Qur’ an).
9. lkhtilaful Ahadits. (Hadits)
10. Al Amaali al Kabir. (fiqih),
11. Al Fiqhul ,Akbar. (Fiqih).
12. Kitabus Sunan. (hadits).
13. Kitabul Asma wal Qabail. (sejarah).
14. Jam’i'i Muzanni al Kabir. (fiqih).
15. Jam’i'i Muzanni al Shagir. (fiqih).
16. Al Qassamah. (fiqih)
17. Qital ahlil Baghy. (fiqih).
18. Al Musnad. (Hadits).
19. Ibtalul Istihsaan. (ushul fiqih)
20. Istiqbalul Qiblatain. (fiqih).
21. AI Jizyah. (fiqih).
22. Al qiyas (ushul fiqih).
.
wallahu a’lam.
Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. (767 M) di Ghaza, Palestina, dan meninggal dunia pada hari Kamis malam Jum’at tanggal 29 Rajab 204 H (20 Januari 820M) di Pusthat, Mesir.
Para penulis biografi Imarn Syafi’i sepakat mengenai tahun kelahirannya, dan pada tahun itu pula Imam Abu Hanifah wafat di Bagdad. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai tempatnya. Ada tiga nama tempat atau daerah yang disebut-sebut, yaitu Ghazza(h), ‘Asqalan, Yaman. Ghazzah dan ‘Asqalan kebetulan terletak dalam wilayah Palestina. Yaqut dalam bukunya Mu’jam al-Udaba’ menyebut ketiga tempat itu berdasarkan tiga riwayat yang datang dari Imam Syafi’i sendiri, yaitu:
(1) “Wulidtu bi Ghazzah sanata mi’atin wa khamsin . . . “
(2) “Wulidtu bi ‘Asqalan wa ‘Asqalan bi Gllazzaft) ‘ala tsalatsi
farasilh wa kilahuma min Falasthin.”
(3) “Wulidtu bi al-Yaman wa khafat ummi ‘ala al-dhai’ah hamalatni
ilaMakkata ….”.[ Muhyiddin abdissalam Baltaji, Mauqif Imam Syf i, Mesir Mathabi' al-Ahram al-Tijariyah, 1972, hal 12.]
Riwayat yang berbeda-beda itu dapat digabungkan, yaitu beliau dilahirkan di Ghazza lalu dibesarkan di ‘Asqalan di tengah-tengah penduduk yang berasal dari Yaman. Yaqut sendiri setelah mengemukakan ketiga versi riwayat tersebut menegaskan, bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di Ghazza(h), kemudian pindah ke ‘Asqalan sampai usia remaja. [Dr. Ahmad al-Syurbasi, Al-Aimmat al-Arba'ah, terjemahan Staf Penerbit Mutiara, Jakarta 1979, hal. 119]
Bila kita perhatikan memang Yaman cukup jauh di Selatan, sehingga tidak mungkin dia salah sebut. Kenyataan menunjukkan, bahwa di daerah Palestina banyak terdapat orang Yaman, bahkan suku ibunya termasuk suku Yamani.
Syafi’i kecil bemama Muhammad. Lengkapnya: Muhammad bin Idris. Setelah anaknya yang bemama Abdullah lahir, maka beliau dipanggil Abu Abdillah. Silsilah leluhumya bertemu dengan silsilah Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf sebagaimana terlihat pada silsilah berikut: “Abu Abdillah, Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin al-Saib bin’Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf’. [Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah, Kairo: Mathba'ah al-Madani, tt, hal 246]
Abdu Manaf ini mempunyai empat orang puha, yaitu al- Muththalib, Hasyim, Abdu Syams dan Noufal. Kepada al-Muththalib inilah Syafi’i menisbatkan dirinya, dan al-Muththalib ini pula yang mengasuh Abdul Muththalib bin Hasyim, nenek Nabi Muhammad SAW.
Seperti juga ayahnya, maka Imam Syafi’i pun bersuku Quraisy. Hal itu berbeda dengan ibunya, Fathimah binti Abdillah al-Azdiyah yang bersuku Yaman. Sebenamya orang tua Imam Syafi’i itu penduduk Makkah. Tetapi pada suatu ketika mereka pergi ke Ghazza(h) untuk suatu keperluan, lalu mereka tinggal di perkampungan orang-orang asal Yaman, dan meninggal dunia di sana ketika Syafi’i masih bayi.
Hidup dalam keadaan yatim bersama ibunya yang miskin, namun mulia dalam keturunan telah membentuk pribadi Syafi’i menjadi orang yang dekat dengan masyarakat lingkungannya dan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Mungkin keadaan itu pula yang menyebabkannya berfikir tidak terlalu rasional tapi tidak pula terlalu hadisional. Berbeda dengan Abu Hanifah yang hidup serba berkecukupan dalam keluarga saudagar kaya; dan berbeda pula dengan Imam Mdik yang walaupun pada mulanya mengalami hidup miskin tapi akhimya beliau juga hidup berkectd
Imam Syafi’i pun selama berada di Madinah tinggal di rumah Imam Malik secara gratis, bahkan ketika Imam Syafi’i hendak pergi ke Iraq beliau disangoni uang untuk bekal dan biaya perjalanan. [Munawar Khalil op cit, hal. 167]
PENDIDIKAN
Bakat untuk menjadi alim besar oan mujtahid mandiri (mustaqil) xtdahmulai tampak dan tumbuh sejak rnasih kecil. Hal itu dapat dilihat pada ingatan dan hafalannya yang kuat, rninat dan semangat belajamya yang tinggi, ditunjang oleh kerajinan dan ketekunan yang tak kenal lelah. Bukti menunjukkan, bahwa ia sudah hafal serta telah menguasai isi kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia sepuluh tahun. Bahkan ia telah hafal al-Qu/an pada usia tujuh tahun. [Syarbini al-Khatib, Mughny al-Muhtaj, Mesin Musthafa al-Babi al-Halabi, 1985, hal 13]
Ia pemah tinggal di perkampungan Bani Hudzail untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan bahasa dan sasha Arab yang masih mumi dan asli, sehingga ia pun terkenal sebagai penyair yang mempesona pendengamya. Ia hidup bergaul dengan warga kabilah tersebut, mempelajari adat istiadat mereka dan cara hidup mereka sehari-hari. Kemudian ia belajar ilmu fiqh pada seorang alim besar, mufti kota Makkah dan guru besar di Masjidil haram bernama Muslim bin Khalid al-Zanji. Bahkan pada usia 15 tahun ia sudah mendapat kepercayaan dari sang guru untuk memberi fatwa di depan majlis yang banyak dikunjungi oleh ulama-ulama terkenal dari seantero pelosok dunia Islam ketika itu; di samping ia sendiri terus menambah ilmunya.
Di samping itu ia belajar ilmu hadits pada seorang ulama hadits kenamaan, al-Imam Sufyan bin’Uyainah (107 – 198 H). Karena merasa ilmunya masih kurang ditambah pula oleh adanya dorongan para ulama dan guru-gurunya yang berada di kota Makkah maka pergilah ia mengunjungi Imam Malik di Madinah untuk berguru dan bergaul. Di Madinah ia memperdalam ilmu tentang fiqh dan hadits, sehingga ia dikenal itu sebagai murid dan pengikut Imam Malik.
Apabila kita perhatikan riwayat-riwayat yang menceritakan tentang kegiatan dan usaha Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu, kita akan menemukan bermacam versi dan variasi, daq riwayat-riwayat itu bersumber dari beliau sendiri. Kalau riwayat-riwayat itu digabungkan maka akan diperoleh suatu gambaran adanya tahap-tahap yang dilalui oleh Imam Syafi’i.
Tahap-tahap itu adalah sebagai berikut:
Tahap l, masa kanak-kanak. Pada masa ini Syafi’i mulai belajar tulis baca, menghafal al-Qut’an dan beberapa buah hadits dengan cara turut menyimak pengajian yang diberikan oleh para guru di mesjid. Apa yang didengamya lalu dicatat dan dihafal. Karena keadaan ekonomi yang serba kekurangan,maka ia tidak segan-segan memanfaatkan barang-barang bekas seperti tulang,, ternbikar dan kertas-kertas bekas yang tak terpakai lagi sebagai tempat ia mencatat pelajaran sehingga ruangan tempat tidumya sarat dengan barang bekas penuh catatan. Dengan tekun catatan itu dihafalnya di luar kepala. Tidaklah heran bila pada tahap ini ia bersemboyan, bahwa “pengetahuan itu laksana binatang buruan, dan tulisan itulah talinya. Maka oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah suatu keteledoran apabila orang memburu masa lalu ia biarkan rusa itu di tengah orang ramai tanpa ikatan”.
Tahap II, masa remaja. Pada masa inilah ia pergi ke perkampungan kabilah Hudzail unfuk belajar bahasa dan adat istiadat mereka. Sekembalinya dari sana ia mulai pula belajar ilmu fiqh dan hadits serta mendapat kepercayaan memberi fatwa di Masjidilharam.
Tahap III, masa dewasa. Kegiatannya pada masa tahap ketiga ini ditandai dengan kepergiannya ke Madinah mengunjungi Imam Malik. Usianya ketika itu sudah mencapai 20 tahun. Sering ia diminta oleh gurunya (Imam Malik) membacakan isi al-Muwaththa’ di depan murid-murid madrasah Imam Malik di sana, di antara mereka terdapat pula ulama,ulama. Hal itu membuktikan, bahwa ia benar-benar telah menguasai isi kitab yang merupakan “bukuwajib”bagi mereka yang ingin mempelajari mazhab Malik pada masa itu.
Sementara itu ia mendengar pula bahwa di kota Baghdad berdiam dua orang ulama besar rnurid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah yaitu Imam Abu Yusuf dan Imam Muharnmad bin al-Hasan al-syaibani. Timbul hasra6rya untuk menyauk ilmu dari kedua ulama tersebut. Maka dengan resil dari Imam Malik berangkatlah ia ke Baghdad di Iraq itu. selama berada di kota Baghdad itu ia menjadi murid Imam Muhammad bin al-Hasan. Banyaklah kesempatannya untuk belajar, berdiskusi dan berbincang-bincang soal agama dengan sang guru; dan dapat pula ia rnenyalin dan mengutip naskah dan kitab-kitab yang terdapat di nrmah Imam tersebut.
Dengan demikian bertambah luaslah ilrnunya terutama tentang mazhab lraq yang dalam beberapa literatur disebut fiqh lragi.’ Di samping itu ia juga memperoleh pengetahuan tentang masalah-masalah peradilan dan hukum acara yang berlaku di Iraq tentang adat istiadat atau ‘uruf setempat. Imam Syafi’i rupanya menganut apa yang disebut “pendidikan seumur hidup” (the long life education) seperti diajarkan dalam Islam “thalabul ‘ilmi minal mahdi ilal lahdi”.
Bila direntang nama-nama para gurunya maka selain yang telah disebut di muka masih ada lagi nama-nama seperti Sa’ad bin Salim al-Qaddah, Daud bin Abdrrahman at-’Aththar dan AMulhamad bin Abdul ‘Aziz bin Abi Ruwad. Di Madinah beliau juga belajar pada Ibrahim bin Sa’ad al-Anshari, Abdul ‘Aziz bin Muhammad al- Darawardi, Ibrahim bin Yahya al-Usami, Muhammad bin Sa’id bin Abi Fudaik dan AMullah bin Nafi’ al-Shaig. Di Yaman Imam Syafi’i bertemu dengan ulama-ulama setempat seperti Mahaf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf (Hakim kota Shan’a), Amer bin Salmah (sahabat al-Auza’i) dan Yahya bin Hassan (sahabat al-Laits bin Sa’ad). Di Iraq, selain belajar pada Imam Abu Yusuf dan Imam Hasan al-Syaibani, juga beliau berguru kepada Waki’ bin al-Jarrah, Abu Usamah Hammad al-Kufi, Ismail bin ‘Athiyyah al-Bashri dan Abdulwahhab bin Adilmajid al Bastui.
Memperhatikan narna-nama di atas serta tempat tinggal mereka, jelas mereka memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu dan aliran yang tertentu pula, bahkan ada yang menganut faham muktazilah, Syi’ah dan sebagainya, dan adat istiadat yang berbeda pula. Belajar dan bergaul dengan orang-orang yang berbeda-beda keahlian, aliran dan faham serta tempat tinggal itu jelas akan memperluas cakrawala pemikirannya. Dalam diri Imam Syafi’i bertemu aliran hijazi dan iraqi alias aliran-aliran ahlul hadits dan ahlul ra’yi. Di samping itu pola pikir Mu’adz bin Jabal mengesan pula dalam otak Imam Syafi’i di mana pegangan utamanya adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sedangkan ra’yu hanya menrpakan altematif ketiga, artinya ra’yu baru dipakai bilamana hukum yang dicari tidak terdapat dalarn kedua sumber ini.
MURID-MURIDNYA
Tidaklah lengkap rasanya bila murid-murid tidak disebut di sini mengingat peranan mereka sangat besar di dalam menyebarluaskan mazhabnya. Mereka tersebar di mana-mana, terutama di Iraq dan Mesir, di samping mereka yang memilih kota Makkah sebagai tempat tinggalnya.
Di Iraq terdapat nama-nama antara lain:
(1) Al-Husein bin Muhammad al-Shabah al-Bazzar al-Za’farani (w. 260 H). Dialah yang menulis dan membukukan kitab Al-Hujjah, yang diimlakkan oleh Imam Syafi’i dan dia pula yang membacakannya di depan para peserta halaqah (pengajian) di Bagdad. Suaranya bagus dan bahasanya amat fasih. Pada mulanya dia menganut faham ‘iraqi, tetapi kemudian beralih kepada mazhab Syafi’i dan menjadi pengikut yang amat setia.
(2) Al-Husein bin Ali al-Karabisi (w. 240 H) seorang penulis yang produktif, telah menulis buku lebih seratus judul (juz). seperti juga temannya (al-Za’farani) al-Karabisi semula adalah penganut aliran iraqi, tetapi kemudian pindah kepada mazhab Syafi’i.
(3) Ahmad bin Hambal (164 – 241 H) mula berkenalan dengan Imam Syafi’i sejak di Makkah. Beliau ini seorang murid yang sangat brillian yang akhimya mendirikan mazhab sendiri.
(4) Sulaiman bin Daud al-Hasyimi (w. 220 H), berasal dari bani Abbas. Kecerdasannya menyamai Ahmad bin Hambal sehingga Imam Syafi’i pemah berucap: “Aku tidak tahu siapa di antara kedua orang ini yang lebih cerdas, Ahmad bin Hambal ataukah Suleiman bin Daud al-Hasyimi”.
(5) Ahmad bin Muhammad bin Yahya al-’Asy’ari al-Bashri, alim tentang hadits luas pengetattuannya dan berpandangan kritis, pembela mazhab gurunya sepeninggal sang guru dari kota Bagdad; lalu menggantikan gurunya mengajar di halaqah.
(6) Abu Tsaur al-Kilabi al-Bagdadi (w. 240 H), mula-mula menganut mazhab Hanafi kemudian pindah kepada mazhab Syafi’i.
Di Mesir terdapat nama-nama muridnya antara lain:
(1) Harmalanbin Yahya al-Tujibi (166 – 243H), guru Imam Muslim bin al-Hajjaj penyusun kitab shahih.
(2) Al-Rabi’bin sdaiman al-Muradi (w. 270H) yang menukil buku al-Risalah al-Jadidah dan al-tJmn karya Imarnsyafit, pindah dari Bagdad ke Mesir bersama-sama Imam Syafil.
(3) Abdullah bin Zubeir al-Humaidi (w. 219 H) juga darang dari Bagdad benama-sama Imam Syafi’i.
(4) Abu Ya’qub Yusuf bin yahya al-Bawaihi (w. 232 H). Dia lah yang menggantikan Imam Syafi’i mengajar di halaqah selama 27 tahun.
(5) Abu lbrahim.Ismail bin yahya al-Muzani (w. 264 H). Dia mengajar menggantikan al-Buwaithi mengisi lratqah, seorang ahli fiqh, banyak karyanya datam mazhab Syafi,i antara lain kitab al-Mukhtashar alKabir dan al-Shaghir.
(6) Abdurrahman bin Abdillah bin Abdilhakam (w. 257 H) seorang ahli sejarah Islam, sahabat kental Imam.Syafi’i.
(7) Muhammad bin Abdillah bin Abdilhakam (182 – 268 H). Sepeninggalan Imam Syafi’i ia kembali ke halaqah asuhan ayahnya dan mempelajari mazhab Maliki.
(8) Al-Rabi’ bin Sulaiman bin Daud at-Jizi (w. 256 H), seorang Faqih yang saleh tetapi sedikit sekali meriwayatkan buah pikiran Imam Syafi’i.
(9) Abu Bakar al-Humaidi (w 237 H), murid sekaligus sahabat Imam Syafi’i, belajar bersama-sama pada Sufyan bin’Uyaynah di Makkah kemudian pindah ke Mesir. Setelah Imam syafi’i wafat ia kembali ke Makkah.
(10) Ibnu Muqlas Abdul ‘aziz bin Umar (w. 234 H), ketika Imam Syafi’i tiba di Mesir ia segera bergabung sambil belajar.
(11) Abu Utsman Muhammad bin al-Syafi’i (w’ 232 H), putera sekaligus murid Imam Syafi’i.
(12) Abu Hanifah al-Asnawi (w’ 27lH)-orang Mesir asal Qibthi yang banyak menulis tentang mazhab Syafi’i.
SUKA DUKA KEHIDUPAN IMAM SYAFI’I
Kemangkatan Imam Malik sangat berpengaruh terhadap kehidupan lm-am Syafi’i, karena selama ia tinggal di Madinah yang cukup lama itu Imarn Maliklah yang menanggungnya. Sekarang Imam Malik telah tiada.
Pada suatu hari Wali (Gubemur) Yaman datang ke Madinah untuk ziarah ke makam Rasulullah SAW. Kepadanya diceritakan orang tentang keadaan Imam Syafi’i, kepribadiannya, kecakapannya dan ketinggian ilmunya. Maka tertariklah hati Gubemur, lalu diadakanlah pertemuan antara kedua beliau, dan tercapailah kesepakatan bahwa al Imam akan pindah ke Yaman diangkat sebagai sekretaris Gubernur. Tak lama kemudian beliau diangkat pula menjadi sekretaris Wilayah merangkap Kepala Daerah untuk Najran.
Di samping itu beliau tetap noengajar di mesjid-mesjid di wilayah Yaman sekaligus menjadi mufti. Ketika berada di Yaman itu, beliau menikah dengan seorang puteri bangsawan bemama Hamidah binti Nafi’ bin Utsman bin’Affan. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai tiga orang anak, seorang laki-laki dan dua orang perempuan
yang laki-laki bemama Muhammad, biasa dipanggil Abu Utsman yang kemudian menjadi ulama besar pula dan qadhi di daerahnya, meninggal dunia pada tahun 240 H. Adapun yang perempuan bemama Zainab dan Fathimah.
Di Yaman beliau terkenal seorang yang adil dan jujur. Karena itu beliau sangat disegani dan dihormati orang. Namun masih saja ada orang yang tidak merasa senang dengan keadilan dan kejujuran beliau, karena sulit bagi mereka untuk membujuk dan menjilat kepadanya agar ia memenuhi keinginan rnereka, hal mana sesungguhnya sudah menjadi kebiasaan orang pada waktu itu. Karena rasa iri dan frustasi, maka mereka lancarkanlah isyu dan fitnah atas diri Imam Syafi’i. Diisyukan bahwa Imam Syafi’i turut mengembangkan faham Syi’ah dan bersekongkol untuk menentang Khalifah Harun al-Rasyid di Bagdad. Akibat isyu dan fitnah tersebut beliau ditangkap, dan bersama-sama sepuluh orang pentolan Syi’ah dibawa ke Bagdad untuk dihadapkan ke muka sidang pengadilan Khalifah. Dengan kaki terikat beliau memasuki ruang sidang sambil mengucapkan salam keislaman “Asslamu ‘alaika ya amirul Mukminin wa barakatuh”. Beliau tidak menyebut kata “wa rahmatullahi”" Khalifah menjawab: “Wa ‘alaikassalam wa rahmatullahi wabarakatuh.”
Dengan perasaan heran Harun al-Rasyid memperhatikan sikap Imam Syafi’i yang begltu tenang padahal orang-orang Syi’ah yang dibawa bersamannya dari Yaman telah dijatuhi hukuman mati. Berkata al-Rasyid: ‘Engkau mulai dengan ucapan yang Sunnah tidak mewajibkannya, sedangkan kami menjawabnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban; amat mengherankan engkau telah berani bicara dalam majelis ini tanpa izin kami”. Imam Syafi’i nenjawab: “Sesungguhnya Allah telah berfirman ddam kitabNya yang mulia:
Selanjutnya beliau berkata: ‘Tuhan apabila berjanji pasti menepatinya. Kini DIA telah mengangkat baginda menjadi khalifah di bumiNya yang luas ini dan baginda telah rnemberi rasa aman kepada hamba ketika hamba dalam ketakutan dengan ucapan “warahmatullahi”, yang berarti baginda telah melimpahkan rahmat Tuhan kepada hamba atas kemurahan hati baginda sendiri”.
Mendengar ucapan Imam Syafi’i yang fasih itu rupanya tersentuh juga hati Harun al-Rasyid lalu ia berkata: “Bukankah engkau yang mempelopori komplotan pemberontak untuk menentangku? Bukankah engkau orang yang jelas kesalahannya?”. Imam Syafi’i menjawab: “Sekarang baginda telah mengemukakan apa yang terlintas di hati baginda, maha aku pun akan menjelaskan apa yang terasa di hati hamba untuk mencari keadilan dan kebenaran. Akan tetapi dapatkah orang melahirkan perasaannya dengan saksama kalau kakinya dirantai dengan besi yang berat ini? Hamba mohon kiranya rantai yang membelit di kaki hamba ini dapat dilepas, dan hamba diperkenankan duduk secara wajar. Allah Maha kaya lagi Maha terpuji”.
Khalifah lalu memerintahkan kepada pembantunya bernama Siraj supaya melepas rantai yang melingkari kaki Imam Syafi’i. Setelah rantai terlepas Imam Syafi’i terus membaca fimtan Allah yang berbunyi:
Selesai membaca ayat tersebut lalu ia berkata: ‘Hamba berlindung kepada Allah, baginda pihak yang menyuruh datang, sedangkan hamba yang disuruh datang. Tentu baginda dapat berbuat apa saja, sedangkan hamba tak dapat berbuat apapun. Benar-benar bohong orang yang telah mengadukan hamba kepada baginda. Hamba punya dua ikatan dengan baginda; pertama, hamba dan baginda sama-sama
muslim; kedua, hamba dan baginda masih satu turunan. Baginda haruslah berpegang kepada Kitabullah. Baginda anak paman Rasulullah yang harus rnelindungi agamanya”.
Mendengar kata-kata itu Khalifah tiba-tiba jadi gembira, lalu berkata: ‘Tenangkanlah pikiran anda. Saya menghargai ilmu-mu dan juga saya menghormati ikatan darah antara kita berdua”.
Kemudian terjadilah dialog antara kedua hamba Allah itu. Khalifah bertanya: “Seberapa jauh ilmu-mu tentang Kitabullah?” Dijawab oleh Lnam Syafi’i: “Kitab Allah itu banyak, mana yang baginda tanyakan?” Khalifah menjawab: ‘Yang kutanyakan adalah kitab yang diturunkan kepada anak paman saya, Muhammad Rasulullah”. Imam Syafi’i menimpa lagi: “^Al-Qur’an dari segi apa yang baginda maksud?” “Dari segi hafalan”, kata Khalifah. Imam Syafi’i menjawab tegas: “Hamba telah hafal al-Qut’an seluruhnya; hamba tahu tempat berhenti dan tempat memulai bacaan, tentang nasikh dan mansukhnya, yang samar-samar dan yang jelas tegas, yang mutasyabih dan yang rnuhkam, yang umum dan yang khusus”. Khalifah jadi heran lalu mengalihkan pertanyaan ke soal-soal ilmu falak (perbintangan), kedokteran, firasat dan lain-lain, yang semuanya dijawab oleh Imam Syafi’i dengan sangat memuaskan. Kemudian Khalifah bertanya pula: “Bagaimana pengetahuan Anda tentang silsilah keturunan bangsa Arab?” Imam Syafi’i lalu menjelaskan: ‘Ada yang mulia dan ada yang tidak baik. Hamba tahu silsilah keturunan hamba dan keturunan baginda”. Akhirnya Khalifah berkata “Apa yang akan Anda nasehatkan kepadaku?”
Lalu Imam Syafi’i menyampaikan nasehat yang pemah diucapkan oleh Thawus al-Yamani yang rupanya amat mengesan di hati Khalifah, sehingga baginda menangis rnendengamya. Khalifah kemudian memberi hadiah buat Imam Syafi’i, tetapi kali ini ditolaknya secara halus dan sopan.Maka bebaslah Imam Syafi’i dari tuduhan dan fitnah yang dilancarkan oleh omng-orang yang tidak senang kepadanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 184 H. ketika beliau berusia 34 tahun.
Beberapa hari kemudian Imam Syafi’i kembali mengunjungi Khalifah di istana. Pada pertemuan kali ini Khalifah memberinya hadiah berupa uang 1000 dinar, dan hadiah itu diterimanya. Akan tetapi uang itu diberikannya pula kepada pegawai-pegawai istana yang dijumpainya disepanjang jalan menuju gerbang keluar istana.
Akhimya sesampai di luar istana uangnya hanya tinggal sedikit lalu diberikannya kepada pelayan istana yang bemama Siraj yang sengaja membuntutinya untuk melihat apa yang dilakukan Imam Syafi’i dalam perjalanan menuju ke luar. Semua yang disaksikannya itu dilaporkannya kepada Khalifah, maka tahulah beliau bahwa Imam Syafi’i itu benar-benar seorang yang tinggi dan mulia dari keturunan bani al-Muththalib.
Pengalaman lain yang tak kurang pula berkesannya bagi Imam Syafi’i adalah pertemuannya dengan para ulama besar di masanya. Selama berada di Bagdad, kota budaya dan ilmu itu, ia sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah membahas masalah-masalah keagamaan, terutama dengan kedua murid dan sahabat abu Hanifah yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, pertemuan mana kadang-kadang juga dihadiri oleh Khalifah.
Wafatnya Imam Abu Yusuf tahun 182 H. dan Imam Muhammad bin al-Hasan tahun 188 H. kemudian mangkat pula Khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 193 H. disusul pula oleh al-Amin tahun 198 H. kesemuanya itu telah mendorong al lmam untuk kembali ke Bagdad. Yang jadi khalifah waktu itu adalah al-Makmun, adik al-Amin.
Sekalipun cuma sebulan ia tinggal di Bagdad, namun ia telah sempat menarik banyak pengunjung dari segala lapisan masyarakat, para ulama, cendikiawan, pegawai pemerintahan dan lain sebagainya.
Pada suatu ketika beberapa orang ulanna di Iraq bersepakat untuk mengadakan diskusi dengan Irnam Syafi’i. Topik diskusi telah ditetapkan. Tujuan diskusi itu sebenamya untuk mencari kelernahan Imam Syafi’i, namun yang kejadian malah sebaliknya. Semua masalah yang dikemukakan dapat dipecahkan oleh Imam Syafi’i dengan sangat memuaskan, bahkan Khalifah sendiri merasapuas dankagum sehingga Khalifah menawarkan jabatan “qadhi” untuk negeri Yaman kepada beliau. Untuk tawaran itu beliau menjawab: “Mudah-mudahan Allah memanjangkan usia baginda. Saya sama sekali tidak ambisi kepada pangkat dan jabatan yang tinggi itu. Saya bermaksud hendak pergi ke Mesir, itupun jika sekiranya baginda memperkenankannya”. Khalifah menjawab: “Jika demikian baiklah, Insya’ Allah.
Mengenai karya tulisnya, imam Syafi’i banyak menulis dalam berbagai bidang ilmu. Menurut beberapa ahli sejarah beliau telah menulis sebanyak 113 buah kitab/naskah dalam pelbagai bidang ilmu yang cukup luas dan beragam seperti ushul fiqh, fiqh, tafsir, sastera dan lain-lain. Sebagian besar karya Imam Syafi’i ditulis di Iraq sekitar tahun 195 – 199 H. pada waktu ia berusia antara 45 – 49 tahun. Tidak diperoleh informasi apakah Imam Syafi’i pemah menulis buku sewaktu berada di Mekkah. Yang jelas ketika ia berada di Mekkah pemah ia menulis surat (risalah) kepada seorang ulama ahli hadits bemama Abdul Rahman bin Mahdi yang kemudian meminta Imam Syafi’i agar mau menulis buku tentang ushul fiqh. Atas permintaan itu Imam Syafi’i lalu menulis kitab yang sangat populer yaitu Al-Risalah. Ada kemungkinan bahwa kitab itu mulai ditulis ketika dia berada di kota Mekkah, dan baru dipublikasi setelah dia pindah ke Iraq dengan perbaikan-perbaikan seperlunya atas kerja sama dengan murid-muridnya di sana. Al-Risalah merupakan kitab ushul fiqh yang tertua dan dianggap kitab ushul fiqh yang pertama.
Kitab-kitab Imam Syafi’i ada yang ditulis sendiri dan ada pula yang ia imlakkan kepada murid-muridnya, seperti kepada al Za’farani dan al-Rabi’. Perlu juga diketahui bahwa tidak semua kitab yang berisi buah pikiran Imam Syafi’i itu dinisbahkkan kepada namanya, tetapi ada pula yang dinisbahkan kepada murid-muridnya, umpamanya kitab-kitab mukhtashar. Kitab-kitab beliau seperti al-Umm, al-Risalah, Ikhtilaf aI ‘Iraqiyin, Ikhtilafu Malik, Ikhtilafu ‘AIi wa’ Abdillah dan masih ada beberapa lainnya, semuanya dinisbahkan kepada namanya sendiri, isi dan lafaznya asli dari beliau. Sedangkan kitab-kitab seperti Mukhtashar al-Buwaithi dan Mukhtashar al-Muzani adalah kitab-kitab yang dinisbahkan kepada murid-murid tersebut, isi dari beliau sedangkan lafaz dan susunan kalimatnya dari orang yang mengikhtisarkannya. Selain judul-judul yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi yang lainnya, seperti lbthal al-Istihsan, Ahkam al-Qur’an, Al-Musnad, Al-Ra’du ‘ala Muhammad ibn al-Hasan, Al-Qiyas, Al-lmla’, Al-Amali, Al-Qasamah, Al-Jizyah, Qital Ahl al- Baghyi, Siyar al-Auza’i, Ikhtilafu al-H adits, Istiqbal al-Qiblataini dan lain-lain.
Di antara judul-judul tersebut ada yang hanya dapat dijumpai namanya saja dalam karya-karya ulama sesudahnya dan ada pula yang dimasukkan ke dalam judul lain. Hanya beberapa judul saja yang dapat kita temukan beredar di Indonesia antara lain al-Risalah, al-Umm, al Ahkam al-Qur’an. Mengenai al-Umm yang dipandang sebagai “Buku Induk” dalam mazhab Syafi’i perlu mendapat perhatian khusus, karena ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa al-Umm itu bukan karya Imam Syafi’i tetapi karya Buwaiti yang diberikannya kepdada al-Rabi’ untuk disebarluaskan. Pendapat tersebut dilansir oleh seorang ulama tasawuf bemarna Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya Qut al-Qulub. Sementara itu ulama-ulama yang lain berpendapat bahwa al-Buwaithi hanyalah nnengurnpulkan apa yang ditulis atau diimlakkan Imam Syafi’i kemudian diserahkannya kepada al-Rabi’ dan oleh al-Rabi’ lalu ditambah dan dipublikasi.
Pendapat yang kedua ini tampaknya lebih benar tetapi perlu diselidiki lebih lanjut. Buwaiti bukanlah satu-satunya orang yang menulis dan meriwayatkan pendapat dan fatwa-fatwa al-Imam paling tidak masih ada dua orang lagi yang dekat dan giat mencatat dan meriwayatkan pendapat dan fatwa Imam Syafi’i selama ia berada di Iraq, yaitu al-za’farani dan al-Karabisi. sedangkan di Mesir terdapat pula nama-nama seperti Harmalah, al-Rabi’ dan lain-lain. Mengenai hubungan antara Imam Syafi’i dan al-Rabi’ ada dua hal yang perlu diperhatikan; pertama, bahwa al-Rabi’ boleh dikatakan orang yang paling rajin dan banyak mendampingi Imam Syafi’i selama di Mesir, Pada saat-saat ia tidak berada di dekat al-Imam, ia tetap mengikuti dari jauh, dan setelah berkumpul kembali maka ia tanyakan apa-apa yang tidak didengarnya selama ia absen. Jadi sedikit sekali kemungkinan al-Rabi’ tidak memiliki tulisan atau catatan langsung dari Imam Syafi’i selama ia berada di Mesir itu. Kedua, para ulama sepakat bahwa perawi kitab-kitab Imam Syafi’i adalah al-Rabi.
Dari berbagai informasi dapat kita dapati dan kemudian kita tarik kesimpulan bahwa Imam Syafi’i memang telah menyusun kitab-kitabnya; ada yang ditulisnya sendiri dan ada pula yang diimlakkannya kepada murid-muridnya, baik sewaktu ia berada di Iraq maupun setelah ia rnenetap di Mesir. Kitab-kitab ini telah dibacakan pula di hadapan murid-muridnya yang lain. Al-Za’farani adalah orang yang sangat fasih dan bagus membaca kitab-kitab Imam Syafi’i di Iraq, dan al-Rabi’ orang yang paling banyak menulis, mencatat dan meriwayatkan pendapat, fatwa dan kitab-kitab Imam Syafi’i di Mesir. Seperti diketahui, bahwa Imam Syafi’i setelah menetap di Mesir mengalami perkembangan baru dalam ijtihadnya, yaitu lahirnya pendapat atau qaul baru dalam beberapa masalah fiqh yang berbeda dengan pendapat atau qaul lama sewaktu ia berada di lraq. setelah terjadinya perubahan itu maka al-Rabi’ menulis dan meriwayatkan kembali apa yang pernah dinrlis oleh al-Buwaithi dan al-Za’farani sebelumnya (al-Hujjah atau al-Mabsut) serta memasukkan pendapat dan komentarnya sendiri. Itulah yang kita kenal sekarang dengan kitab al-Umm.
Logislah bila dikatakan, bahwa al-Umm itu intinya adalah al-Hujjah atau al-Mabsuth yang telah mengalami koreksi, penyaringan dan penambahan-penambahan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan dan adat istiadat setempat. Dalam hal ini rupanya al-Rabi’ sangatlah berhati-hati dan teliti. Redaksi (ibarat) yang terdapat di dalam naskah aslinya atau yang didengamya langsung dari Imam syafi’i tetap dipertahankannya sekalipun kadang-kadang jelas salah, namun tak lupa diberinya penjelasan. Dan apa-apa yang memang tidak didengamya langsung dari Imam Syafi’i dikatakannya bahwa dia tidak mendengarnya. Kadang-kadang al-Imam telah “meninggalkan” pendapat yang tercantum di dalam kitabnya, tetapi tulisannya masih tetap seperti apa adanya semula. Hal itu disebabkan perubahan terjadi setelah tulisan itu dibukukan. Ketika itu cukuplah bagi al-Rabi’ membubuhi keterangan atau catatan kecil bahwa dalam masalah tersebut telah terjadi perubahan.
Demikianlah kesimpulan Imam Abu zahrah yang kemudian menambahkan, bahwa bagi orang yang dapat merasakan dzauq (rasa bahasa) pastilah akan berkesimpulan bahwa gaya bahasa al-Umm tidak berbeda dengan gaya bahasa al-Risalah yaitu gaya bahasa Imam Syafi’i. Adapun bila di beberapa tempat terasa agak lain, itu hanyalah pengaruh perbedaan situasi dan kondisi sewaktu dicetuskannya pendapat tersebut serta perbedaan topik atau subjek (maudhu’) yang sedang dibicarakan.
Akhimya, dalam keadaan yang demikianlah para ulama telah datang berbondong-bondong menyalin, mencatat dan menukil kitab-kitab Imam Syafi’i itu.
.
Sumber: Imam Syafi’i, Mujtahid Tradisional Yang Dinamis, Drs. Ismail Thaliby, M.A., Kalam Mulia, Jakarta, 1993.
.
KITAB-KITAB
[diambil dari buku: Ulama Syafi'i dan Kitab-Kitabnya Dari Abad ke Abad]
Berkata Imam Abu Muhammad Qadli Husein (wafat 462 H.) dalam Muqaddimah kitab Ta’Iiqahnya, bahwa Imam Syafi’i rhm mengarang 113 (seratus tiga belas) kitab, terdiri dari kitab-kitab fiqih, Tafsir, Adab, dll.
Memang banyak karangan beliau, diantaranya:
1. Ar Risalah. (ushul Fiqh yang pertama di dunia).
2. Al Hujjah. (fiqih qaulul qadim).
3. Al Umm (qaulul jadid – 4 jilid besar).
4. Mukhtashar al Buwaithi. (dihimpun oleh murid beliau Al Buwaithi).
5. Mukhtashar Ar Rabi’i. (dihimpun oleh murid beliau Ar Rabi’ al Muradi).
6. Mukhtashar al Muzannii. (dihimpun oleh murid beliau al Muzanni).
7. Risalah fi Bayanin Nasikh al Mansukh. (ushul fiqih).
8. Ahkamul Qur’an. (ayat-ayat hukum dalam al-Qur’ an).
9. lkhtilaful Ahadits. (Hadits)
10. Al Amaali al Kabir. (fiqih),
11. Al Fiqhul ,Akbar. (Fiqih).
12. Kitabus Sunan. (hadits).
13. Kitabul Asma wal Qabail. (sejarah).
14. Jam’i'i Muzanni al Kabir. (fiqih).
15. Jam’i'i Muzanni al Shagir. (fiqih).
16. Al Qassamah. (fiqih)
17. Qital ahlil Baghy. (fiqih).
18. Al Musnad. (Hadits).
19. Ibtalul Istihsaan. (ushul fiqih)
20. Istiqbalul Qiblatain. (fiqih).
21. AI Jizyah. (fiqih).
22. Al qiyas (ushul fiqih).
.
wallahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)