Sudah maklum bahwa yang menjadi tuntutan bagi hamba Allah Subhanahu wa ta'ala ketika beribadah adalah supaya ia harus mengikhlaskan semua ketaatan yang menjadi perintah Allah Subhanahu wa ta'ala dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu yang lainnya
متى طلبت عوضا على عمل طولبت بوجود الصدق فيه ويكفى المريب وجدان السلامة
Artinya : " Kapan kamu menuntut Imbalan ('Iwadh) atas suatu amal, maka kamu dituntut atas wujudnya kebenaran/keikhlasan amal tersebut, dan cukuplah bagi seorang yang ragu atas (kebenaran/keikhlasan amal) akan wujudnya keselamatan atas dirinya ".
Sudah maklum bahwa yang menjadi tuntutan bagi hamba Allah Subhanahu wa ta'ala ketika beribadah adalah supaya ia harus mengikhlaskan semua ketaatan yang menjadi perintah Allah Subhanahu wa ta'ala dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu yang lainnya, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman :
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين .
Artinya : " Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus*.QS. Al-Bayyinah: 5.
*Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan. Banyak orang muslim, bahkan orang yang sering membicarakan tentang Islam dan berdakwah, mereka tidak bisa menemukan hakikat dari makna Ikhlas hanya karena Allah Subhanahu wa ta'ala dalam beribadah. Mereka menggambarkan kalau ibadah sudah lepas dari riya' (amal karena orang lain) itu disebut ikhlas. Padahal sebenarnya kandungan makna ikhlas jauh lebih dalam dari pengertian tersebut, perhatikanlah ayat Al Qur'an yang berbunyi :
فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا.
Artinya : " Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". QS.Al Kahfi : 110
Kalimah ( أحدا ) pada ayat tersebut lebih umum dan tidak khusus bagi orang yang berakal tapi mencakup sesuatu selain Allah Subhanahu wa ta'ala, barang siapa yang didalam ibadahnya ia meyekutukan Allah Subhanahu wa ta'ala dengan niat karena ingin harta, pangkat, sehat dan yang lainnya, seperti halnya ketika musholli ( orang yang sholat ) dangan niat supaya badannya sehat dengan gerakan-gerakan sholat atau karena tujuan duniawi, itu semua merupakan penghalang dari pada hakikat ikhlas kepada Dzat yang Maha Suci sesuai dengan dalil diatas yang sangat jelas ( ولا يشرك بعبادة ربه أحدا ) . Jadi, jelaslah bahwa ibadah karena selain Allah tidak bisa dikatakan Ikhlas, tidak ada bedanya antara amal karena duniawi ataupun karena ukhrowi (supaya masuk surga dan selamat dari neraka) sekalipun masih belum dikatakan ikhlas. Maka dari itu sesungguhnya ikhlas itu sangat berat. Mungkin sebagian orang ada yang musykil dengan memandang ayat Allah Subhanahu wa ta'ala :
أدخلوا الجنة بما كنتم تعملون.
Artinya : " Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan". QS. An Nahl : 32
وجزاهم بما صبروا جنة وحريرا .
Artinya : " Dan dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera". QS. Al Insan : 12
Serta ayat-ayat Al Qur'an lainnya yang menerangkan bahwasannya Allah Subhanahu wa ta'ala menjadikan surga sebagai balasan atas amal-amal sholeh dalam rangka untuk taqorrrub kepada-Nya ketika masih di dunia.
Sebagai jawabannya, sesungguhnya surga dijadikan balasan atas amal-amal sholeh, itu merupakan ketetapan dari satu arah (من طرف واحد) yang tidak lain adalah dari Allah subhanahu wa ta'ala. Adapun hamba-hambaNya yang mukmin, atas dasar ini (من طرف واحد), mereka tidak bisa memastikan sebuah a'qad (yang menuntut imbalan) kepada Allah dan juga karena mereka merupakan hamba yang dimiliki dan dikuasai oleh Allah.
Pada hikmah di atas, Ibnu 'Athoillah menuntut kita agar benar-benar bisa merefreksikan nilai ikhlas di dalam tha'at kepada Allah jikalau kita menginginkan imbalan atau i'wad. Sebenarnya tuntutan ini hanyalah sebagai peringatan bahwasanya ikhlas dalam beramal karena Allah tidak bisa dikumpulkan dengan menuntut imbalan dari-Nya, karena ikhlas itu menuntut adanya amal murni hanya karena Allah saja, dan tidak bisa dikatakan ikhlas apabila disertai dengan niatan minta imbalan dari-Nya.
Jadi, apabila seorang hamba yang ingin taqorrub / mendekatkan diri kepada Allah dengan bentuk suatu keta'atan dan ia menuntut imbalan atas amalnya, maka sesungguhnya ia bukanlah orang yang mukhlis karena Allah, jika ia dikatakan tidak mukhlis maka sangatlah tidak layak ia meminta imbalan atas amalnya. Kalau kita amati lembutnya i'barot yang dipaparkan oleh Ibnu Atho'illah yang mana beliau memakai kalimah "العواض" tidak memakai kalimah "الثواب" atau semisalnya, ini memberikan pemahaman bahwa kalimat "العواض" itu mengandung arti ada harapan meminta imbalan dari orang yang beramal atas amalnya, makna ini sangatlah berbeda dengan makna "الثواب" karena kalimah ini digunakan atas dasar ikrom إكرام / (memuliakan), anugerah dan ihsan dari Allah yang ditujukan kepada hamba-hamba-Nya yang benar-benar tha'at, dari segi ini "الثواب" tidaklah mengandung arti yang terkandung pada kalimat "العواض" (ganti dari sesuatu).
Penyebutan kalimat ats-tsawab, al-ajru dan al-jaza (الثواب, الأجر, الجزاء)merupakan penamaan dari satu arah yaitu dari Allah yang cinta terhadap hamba-hamba-Nya, maka dari itu wajiblah bagi seorang hamba agar tahu bahwasanya ia sama sekali tidak berhaq mendapatkan sesuatu walaupun amalnya sangat setinggi langit, akan tetapi Allah subhanahu wata'ala memberikan anugrah dengan sesuatu yang mengembirakan mereka yang disebut al-ajru, al-jaza' atau ats-tsawab. Jadi orang yang ikhlas, didalam hatinya tidak terlintas sedikitpun mengharapkan suatu imbalan, karena 'iwad tidak bisa mengarahkan sang amil kepada ridho Allah dan orang yang selalu mencari 'iwad maka hakikatnya didalam hati orang tersebut tidak ada nilai ikhlas kepada Allah. Ini memberikan pengertian bahwa penantian seorang hamba akan "الثواب" dari Allah dengan disertai rasa yaqin bahwasanya tsawab tersebut ia dapatkan dari Allah atas dasar anugerah, ihsan, dan ampunan dari Allah atas kesalahan-kesalahannya diiringi dengan selalu menunaikan dengan haq-haqNya itu, semua itu tidaklah merusak nilai kemurnian ikhlas karena Allah subnahu wata'ala, akan tetapi mengharap "الثواب" dan menantinya atas dasar ini termasuk sebagian dari tuntutan ‘ubudiyyah lillahi ta'ala.
Dari sini bisa difahami bahwa menuntut imbalan (العواض) adalah haliyahnya orang yang mempunyai i'tiqod bahwa ia mampu memberikan kemanfa'atan kepada orang lain yang menuntut akan imbalan. Adapun meminta "الثواب" adalah tingkah atau haliyahnya orang yang mengikrarkan dalam hatinya bahwa ia selalu membutuhkan anugerah dan dermanya Allah disetiap waktu. Kemudian Ibnu 'Athoillah memerintahkan bagi orang yang masih belum bisa ikhlas dan selalu meminta imbalan atas amalnya agar ia memohon keselamatan kepada Allah dari siksa yang disebabkan dari syirik yang samar (الشرك الخفيّ) yang menghinggapi hatinya. Dan tidaklah ada seorang hamba dari kalangan orang-orang sholih lebih-lebih dari kalangan orang yang selalu berbuat maksiat ia merasa tenang dan merasa sudah bersih dari kotoran-kotoran syirik khofi, akan tetapi sesungguhnya semakin ia dekat dengan Allah maka ia semakin tambah tahu akan kebesaran Allah dan semakin tambah keyakinannya akan kelancangannya disisi Allah serta ia akan lebih tahu keburukan haliyahnya dihadapan Nya. Mereka itu digambarkan sebagaimana yang termaktub dalam Al-qur'an surat Al-mukminun ayat 60 :
والذين يؤتون ما آتوا وقلوبهم وجلة أنهم إلى ربهم راجعون
Artinya : Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka#. QS. Al Mukminun : 60.
# Maksudnya: Karena tahu bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan untuk dihisab, Maka mereka khawatir kalau-kalau pemberian-pemberian (sedekah-sedekah) yang mereka berikan, dan amal ibadah yang mereka kerjakan itu tidak diterima Tuhan.
Kita tahu bahwa makna dari ( ما آتوا ) adalah berbagai macam bentuk ketaatan dan pendekatan kepada Allah, mereka adalah orang-orang yang takut akan tidak diterimanya amal-amal mereka disisi Allah dan ditolakNya dikarenakan cacatnya amal mereka. Merekalah orang -orang yang disifati Allah di dalam firman-Nya:
إن الذين هم من خشية ربهم مشفقون. والذين هم بآيات ربهم يؤمنون. والذين هم بربهم لا يشركون.
Artinya : " Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati Karena takut akan (azab) Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun). QS. Al Mukminun : 57-59
Coba kita bandingkan antara haliyah kita dengan haliyah mereka, apakah kita sudah sampai pada derajat mereka yang disifati oleh Allah didalam firman-Nya ? apabila kita jawab : ya, maka sungguh sangat hina haliyah kita dibandingkan dengan haliyahnya orang-orang yang maksiat kemudian ia menyesali atas kejelekan amalnya dan takut akan siksa Allah yang bisa jadi penyesalan dan rasa takut itu menjadi penolong atas perbuatan jeleknya. Sesungguhnya seorang hamba yang sudah naik pada level orang-orang sholeh dan shiddiqin tidak akan menemukan pada dirinya keyaqinan akan selamatnya ketaatan atau ibadahnya dan ia tidak akan meminta imbalan (العواض) atas amalnya karena menuntut imbalan menunjukkan tidak adanya nilai ikhlas dan hatinya masih dihinggapi syirik khofi.
Seyogyanya seorang hamba meminta "الثواب" kepada Allah bukan (العواض) atas dasar bahwa ia pada hakikatnya selalu membutuhkan Allah disertai memohon ampunan dan memohon sesuatu yang bisa memperbaiki urusan-urusannya baik di dunia maupun akhirat dan selalu memohon ridho Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar