Seorang hamba yang melakukan dosa tidak boleh beranggapan bahwa dosa yang telah dilakukannya adalah dosa besar yang tidak mungkin menjadikannya bisa dekat kepada Allah. Dia tidak boleh merasa bahwa Allah tidak akan mengampuni dosanya karena orang yang tahu bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah maka dosanya akan terasa kecil. Seorang hamba tidak boleh merasa bahwa kalau sudah berdosa maka Allah tidak akan mengampuninya sehingga akhirnya dia tidak mau melakukan ibadah dan justru melakukan maksiat kepada-Nya. Oleh karena itu Ibnu ‘Athaillah melarang hal tersebut.
لا يعظم الذنب عندك عظمة تصدك عن حسن الظن بالله تعالى فإن من عرف ربه استصغر في جنب كرمه ذنبه
“Janganlah suatu dosa yang terlihat begitu besar bagimu, merintangimu dari berprasangka baik kepada Allah. Sesungguhnya siapa yang mengenal Tuhannya akan menganggap dosanya tak seberapa dibanding kemurahan-Nya”
Seorang hamba yang melakukan dosa tidak boleh beranggapan bahwa dosa yang telah dilakukannya adalah dosa besar yang tidak mungkin menjadikannya bisa dekat kepada Allah. Dia tidak boleh merasa bahwa Allah tidak akan mengampuni dosanya karena orang yang tahu bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah maka dosanya akan terasa kecil. Seorang hamba tidak boleh merasa bahwa kalau sudah berdosa maka Allah tidak akan mengampuninya sehingga akhirnya dia tidak mau melakukan ibadah dan justru melakukan maksiat kepada-Nya. Oleh karena itu Ibnu ‘Athaillah melarang hal tersebut.
Kalau kita melakukan dosa kemudian takut kepada Allah dan menyesal telah melakukannya berarti kita telah menghargai diri kita sendiri karena kita takut pada siksa Allah. Kita diberi nikmat berupa mata, telinga, mulut, tangan dan kaki. Kemudian kita menggunakannya untuk maksiat kepada Allah, maka seharusnya kita malu. Oleh karena itu kita harus menggunakan nikmat yang telah diberikan oleh Allah untuk sesuatu yang menyenangkan-Nya.
Imam Fudhail Ibn Iyadh pernah wuquf di padang Arafah. Ketika semua orang sedang sibuk melakukan do’a, dia justru hanya diam, menundukkan kepala dan menangis. Hal ini dilakukan karena dia merasa telah banyak melakukan dosa dan yang baik adalah hanya terdiam serta merasa malu karena telah melakukan maksiat kepada Allah.
Jika seorang hamba mau melakukan kebaikan, maka Allah pasti akan membalas kebaikan tersebut. Dan kita sudah diberi kebaikan oleh Allah berupa nikmat-nikmat, oleh itu kita harus membalas kebaikan Allah yaitu dengan melakukan ibadah kepada-Nya. Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an :
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ [الرحمن/60]
60. Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).
Dalam surat Al-Baqarah juga telah disebutkan :
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ [البقرة/245]
245. Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
Jika kita membaca ayat ini maka kita akan malu. Bagaimana mungkin Allah meminta hutangan kepada kita. Kita telah diberi kesehatan (احسان الله) sehingga bisa beribadah lalu bagaimana kita bisa membalas kebaikan Allah tersebut. Oleh karena itu kita tidak boleh menuntut sesuatu hal kepada Allah dan kita juga harus berkhusnu dzon kepada-Nya. Dalam sebuah hadits telah disebutkan :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
صحيح مسلم - (ج 13 / ص 167)
#
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar