Sampai sejauh ini, secara garis besar sebagai jam'iyyah kemasyarakatan, arah perjuangan NU memang masih tetap berpegang pada dasar-dasar akidah Ahlussunnah, meskipun ada juga sebagian kalangan yang mengatakan NU semakin liberal. Yang perlu dikawatirkan bisa saja dalam beberapa tahun kedepan ideologi yang sudah mapan ini akan segera bergeser seiring menguatnya pengaruh kader-kader JIL pada jajaran kepengurusan organisasi. Dengan wewenang lebih, tentu mereka akan leluasa melakukan manuver-manuver politiknya dalam rangka merubah pola pikir NU, baik dalam sisi jam'iyyah maupun jamaahnya menuju corak berpikir lilberal. Sekarang, ketakutan akan hal ini semakin tampak nyata dengan hadirnya tiga kandidat ketua PBNU untuk periode mendatang yang sering diberitakan berpandangan liberal.
Selamatkan NU-mu!
Kerangka pemikiran yang membangun ideologi JIL sebenarnya sangat rapuh. Kenyataan ini melemahkan asumsi bahwa tujuan ideology yang mereka perjuangkan adalah mencari kebenaran sejati. Dan sebaliknya untuk menguatkan dugaan, gerakan mereka sejatinya hanyalah sebuah bentuk propaganda untuk melemahkan dan menghancurkan pondasi-pondasi islam yang telah berdiri kokoh berabad abad lamanya dan berkamuflase dengan menggunakan atribut islam untuk menutupi maksud utamanya. Sebab, seandainya saja asumsi pertama benar, seharusnya mereka tak perlu ngotot mempertahankan pemikiran yang dibangun atas dasar argument dan paradigma yang telah terbukti lemah, adalah suatu kesalahan fatal bagi seorang pencari kebenaran sejati untuk tetap berpijak pada argumen lemah dalam usaha menggapai tujuan.
Berarti, kita boleh sepakat menabuh genderang perang melawan liberalisasi islam dengan segala macam bentuknya. Namun demi menghasilkan kemenangan kita mesti memahami terlebih dahulu seluk beluk, latar belakang serta kekuatan dan kelemahan lawan kita. Nah, sebagai pijakan dasar ada sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab sebelumnya. Mengapa faham yang mereka tawarkan laris manis diterima sebagian masyarakat, terutama kaum mudanya padahal hanya berdasar pada pola pikir serampangan. Bahkan lebih jauh, mereka mampu menembus struktur organisasi yang dipenuhi ulama-ulama hebat. Perlu diingat juga, perang yang sedang kita hadapi adalah perang ideologi. Tentunya senjata yang kita butuhkan bukanlah pedang, senapan atau senjata militer lainnya. Karena dengan hanya berbekal senjata seperti tadi kita hanya mampu memusnahkan manusia-manusianya saja, tidak dengan hasil pemikirannya. Dan selama pemikiran itu belum dihancurkan hingga ke akar-akarnya, maka suatu saat dengan mudah pemikiran tersebut akan muncul kembali dengan wajah baru. Dengan begitu, sangat jelas betapa pentingnya sebuah media yang mampu memblok ideologi mereka serta mementahkan semua argument yang mendasarinya agar tidak sampai mempengaruhi pola pikir masyarakat kita. Tapi sayangnya salah satu media itu kini berada dalam bahaya. NU, ormas yang mengusung dan memperjuangkan faham ahlus sunnah dan telah memiliki pengaruh luas di Indonesia, malah harus menghadapi bahaya liberalisasi dalam tubuh keanggotaan strukturalnya sendiri.
Sebagai informasi tambahan, menurut Laode Ida dalam "NU Muda"nya, sebenarnya cikal bakal ancaman yang tengah dihadapi NU saat ini telah dimulai sejak lama. Diawali dengan terpilihnya mendiang Gus Dur, yang mewakili generasi muda NU saat itu, menjadi ketua PBNU pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Sejak saat itu NU memiliki dua kubu besar yang saling bertentangan. Yang pertama berada di belakang kiai-kiai sepuh dengan ciri berwatak tradisional (konservatif). Di pihak lain, muncul kubu pembaharu (progresif) yang dimotori Gus Dur. Kubu yang terakhir ini, dengan generasi mudanya berhasrat mendobrak sistem lama yang dirasa kurang cocok dengan semangat demokrasi dan alam modern. Salah satunya adalah tradisi sikap patronasi (menjadikan suri tauladan) berlebih yang telah mendarah daging di kalangan warga NU selama ini yang merupakan bentuk kelaziman latar belakang pesantren yang dibawa mayoritas warganya. Dengan duduknya Gus Dur di tampuk kepemimpinan organisasi, kalangan NU progresif pun semakin mudah menancapkan pengaruhnya dan mulai mendominasi control dalam menentukan arah perjuangan keorganisasian NU. Gesekan dua pola pikir di dalam NU ini masih tetap adem ayem -mungkin karena masih dianggap sebagai perbedaan yang membawa rahmat- sampai pada akhirnya Gus Dur mulai "berulah" dengan sering mengorbankan perasaan warga nahdliyin sendiri hanya demi membela kepentingan golongan minoritas di negeri ini. Meskipun sikap "beliau" diakui menyakitkan, berkat rasa patrilineal (sistem pengelompokan sosial yang mementingkan garis keturunan dari jalur ayah) yang kental, warga nahdliyin masih saja mentakwil berbagai kenyelenehan Gus Dur. Maklum saja, Gus Dur itu kan "gus triple" dan mewarisi gen pendiri NU. Jadi selalu saja ada rasa ewuh pakewuh, untuk menegur atau mengingatkan kalau-kalau berbuat keliru. Baru sekitar lima tahun belakangan saat kesabaran warga NU habis atau mungkin juga mulai sadar untuk membuka mata labar-lebar. Mereka tidak bisa lagi mentolerir kenyelenehan Gus Dur yang semakin menjadi-jadi dan semakin tidak bisa didiamkan. Kalau saja yang terjadi memang demikian, berarti sudah dua puluh lima tahun lebih benih-benih liberalisme tumbuh subur di dalam tubuh NU. Dan bisa dibayangkan seberapa kuat dan besarnya pengaruh liberalisme terhadap arah pemikiran warga NU.
Sampai sejauh ini, secara garis besar sebagai jam'iyyah kemasyarakatan, arah perjuangan NU memang masih tetap berpegang pada dasar-dasar akidah Ahlussunnah, meskipun ada juga sebagian kalangan yang mengatakan NU semakin liberal. Yang perlu dikawatirkan bisa saja dalam beberapa tahun kedepan ideologi yang sudah mapan ini akan segera bergeser seiring menguatnya pengaruh kader-kader JIL pada jajaran kepengurusan organisasi. Dengan wewenang lebih, tentu mereka akan leluasa melakukan manuver-manuver politiknya dalam rangka merubah pola pikir NU, baik dalam sisi jam'iyyah maupun jamaahnya menuju corak berpikir lilberal. Sekarang, ketakutan akan hal ini semakin tampak nyata dengan hadirnya tiga kandidat ketua PBNU untuk periode mendatang yang sering diberitakan berpandangan liberal. Mungkin kita bertanya-tanya bagaimana orang-orang seperti Ulil Abshor bebas melangkah sampai sejauh ini tanpa ada usaha menghentikan atau kasarannya (lebih kasar lagi red) memboikot mereka beserta pemikirannya dari tubuh NU. Bukankah disana masih banyak kyai-kyai yang selalu memperjuangkan dan menjaga akidah masyarakatnya dari setiap hal yang berpotensi menjerumuskan pada kesesatan?! Yach, harus disadari memang, NU sendiri hidup ditengah-tengah kebangsaan yang demokratis, profan dan plural. Selain itu, wajah NU juga sudah banyak berubah. Kini NU tidak lagi hanya milik kalangan yang mligi dari pesantren. Tapi juga milik mereka-mereka dengan basic non-pesantren. Maka dengan sendirinya, masing-masing dari pihak ini harus disinergikan agar tidak memunculkan benturan di dalam orientasi perjuangan NU sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan. Kemudian, kenyataan bahwa demokrasi di Indonesia lebih cenderung bersifat liberal, suatu sitem politik yang begitu getol membela kebebasan hak berpendapat, menjadi kesulitan tersendiri untuk mengcounter faham-faham baru, meskipun jelas-jelas menyimpang dan berpotensi merusak tatanan masyarakat. Jadi, sekeras apapun kita meneriaki sesat, mereka tak mungkin berhenti, karena merasa apa yang mereka lakukan sah-sah saja, apalagi sampai harus takut pada pencekalan oleh UU. Dengan demikian jalan yang tersisa, kita harus menghadapi dengan terbuka.
Tidak kalah penting, mungkin perlu adanya kesepakatan mengenai batasan-batasan sampai dimana suatu pendapat dikatakan liberal dan mana yang sekedar penyesuaian dengan perkembangan atau perubahan kondisi yang ada, tapi masih dalam batasan yang dibenarkan, sebab sepertinya setiap orang punya persepsi sendiri-sendiri tentang liberalisme. Terkadang hanya berargumentasi dengan logika, seseorang bisa memvonis anda liberal. Bukankah yang semacam ini terlalu dilebih-lebihkan, malahan semakin mengaburkan esensi liberalisme sendiri. Ujung-ujungnya, bisa-bisa setiap orang dicap liberal oleh yang lainnya. Ini memang masalah sensitif, kita tidak bisa sembarangan memvonis atas suatu pernyataan tanpa memahami secara utuh pernyatan tersebut. Kalau masih bisa didiskusikan, kenapa tidak, dari pada harus saling serang argumen yang bisa menjurus kedebat kusir, bukannya menghasilkan kesepakatan , yang ada malah mempertajam perselisihan.
Akhirnya sudah saatnya kita mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan dimasa depan yang saat ini sudah muncul di depan mata. Dan, terserah anda memilih aktif terlibat dalam organisasi NU atau sekedar menjadi warga NU, selamatkan kendaraan yang berfungsi mengakomodir langkah dan tujuan kita ini dari segala ancaman ideologi yang menyimpang. Namun juga tidak boleh dilupakan NU itu terbuka bagi sipa saja tanpa memandang latar belakang mereka. Dan untuk mampu bertahan hidup ditengah masyrakat yang plural, kita dituntut untuk bersikap toleran dan terbuka atau (open minded), tinggal nantinya bagaimana kita harus tegas menentukan garis, sampai sejauh mana toleransi masih dibenarkan. Terakhir, meskipun kita tidak boleh asal menuduh seseorang dikatakan liberal, namun kita tetap perlu mewaspadai bibit-bibit liberalisme yang tumbuh disekitar kita, apalagi dengan menyadari, pengaruh sebuah ideologi bisa masuk kepikiran seseorang tanpa pernah ia sadari, mulailah peduli dan tanggap terhadap orang-orang disekitar anda. Sebelum mereka berubah menjadi pribadi-pribadi yang belum pernah anda kenal sebelumnya,. Wal'iyadzbillah.
Sabtu, 30 Juli 2011
MENGENAL TAFSIR SUNNI
Tak dapat dipungkiri posisi sentral Al-Quran bagi seluruh aliran-aliran yang lahir dalam rahim Islam. Semua larut menikmati hidangan Al-Quran. Ada dua sifat yang menjadikan Al-Quran selalu menjadi rujukan. Pertama Al-Quran sebagai hudan, petunjuk bagi umat manusia, dan kedua Al-Quran sebagai furqan, pembeda antara yang benar dan yang batil. Selain itu, Al-Quran adalah satu-satunya teks Islam yang terjaga otentisitasnya. Al-Quran di hadapan kita sekarang tak berbeda sedikitpun dari al-Quran yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Maka bisa dimengerti, bahwa aliran yang mampu mengidentifikasi diri sebagai aliran yang sejalan-harmonis dengan teks-teks al-Quran dengan mudah memanen kepercayaan dari umat, sementara yang tampak kontras-berlawanan dengannya akan terseret arus peminggiran.
Ironisnya hampir semua (untuk tidak mengatakan seluruhnya) aliran tak mampu menikmati hidangan al-Quran dengan renyah. Dalam banyak kasus mereka justeru tersedak saat berupaya menikmatinya. Hal ini karena Al-Quran tak menghidangkan satu menu dan untuk sekelompok tertentu. Al-Quran adalah mutiara yang bisa dinikmati oleh berbagai lapisan umatnya, masing-masing dengan tingkat intelektualnya. Ditambah lagi satu kenyataan bahwa al-Quran tidak turun sekali tempo dalam bentuk yang utuh, akan tetapi turun dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, dan dalam berbagai munasabah. Dengan demikian, tak pelak al-Quran menghidangkan makna-makna yang beragam, dan bahkan seringkali ambigu yang tak semuanya bisa dinikmati oleh aliran tertentu dengan renyah. Ada diantaranya yang renyah karena menunjuk pada makna yang serasi-setujuan dengan setruktur pemikiran anggitannya, dan ada pula diantaranya yang perlu "diolah" agar "terasa" renyah.
Atas dasar ini, tak ada aliran dalam Islam yang mampu menghindarkan diri dari mekanisme ta'wil dalam arti yang luas, termasuk aliran yang mengaku paling murni sekalipun. Maksud ta'wil dalam arti yang luas adalah seperangkat mekanisme di lingkungan tafsir yang dipergunakan untuk mengatasi teks-teks yang tampak tak sejalan-harmonis. Mekanisme ini bisa berbentuk majâz, ta'wîl, sistematika tarjîh, isyârî, dan lain sebagainya. Tafsîr bil ma`tsur, seperti tafsirnya ibnu Katsîr, yang acap disangka tak membutuhkan mekanisme ta'wil tersebut pada hakikatnya penuh dengannya. Untuk meletakkan hadîts dan atsar pada ayat-ayat tertentu misalnya, dibutuhkan seperangkat metode yang dapat diukur, dan itu tak lain adalah mekanisme ta'wil itu tadi. Juga kesadaran linguistik, alwa'yu allughawî, untuk tidak menerima majâz sebagai bagian dari ta'wil sejatinya adalah bagian dari ta'wil itu sendiri, mirip dengan ungkapan ‘adamul idrâki huwa idrâkun.
Perdebatan-perdebatan akademik antar aliaran-aliran dalam Islam seputar seperangkat ta'wil di muka telah melahirkan khazanah ilmu-ilmu al-Qur`an dan tafsir yang amat kaya. Dan pada kesempata ini, akan kita bicarakan sekelumit dari bagian khazanah tersebut, yakni tradisi tafsir-tafsir sunni. Untuk keperluan ini, kita ajukan dulu satu pertanyaan: Apa itu Sunni? Atau: mencakup siapa saja aliran Sunni itu?
Ini adalah salah satu pertanyaan amat sulit, yang untuk menjawabnya dibutuhkan kerja keras dan melelahkan. Demi menghindari itu, kita menerima begitu adanya sebuah "rumah besar" yang sering diasumsikan menaungi keluarga besar Sunni, tanpa melihat kamar-kamar yang ada di dalamnya, yang boleh jadi tersekat antara satu dengan lainnya, hingga pada posisi diametral. Rumah besar ini lazimnya dihadapkan pada rumah lain yang berseberangan, yang ditinggali oleh Syî'ah, Mu'tazilah, Khawârij, dan lain sebagainya. Dengan demikian, Sunni yang dimaksud di sini adalah kelompok besar yang mencakup salafî, kalâmî asy'arî-mâturidî, dan shûfî-sunnî (untuk membedakannya dari shûfî-falsafî seperti Ibn ‘Arabî). Perselisihan faham teologis diantara shûfî-sunnî dan salafî, yang biasanya berujung pada klaim paling berhak menyandang gelar sunni misalnya, tak perlu diangkat.
Dengan memasukkan unsur tafsir pada pemetaan ini, bisa kita kemukakan, bahwa dalam tradisi Sunni terdapat tiga aliran tafsir: ittijâh salafî, ittijâh kalâmî, dan ittijâh shûfî. Termasuk aliran yang pertama adalah tafsir Ibn Katsîr, dan termasuk aliran yang kedua adalah Attafsir al-Kabîr-nya Fakhrur Râzî, sementara diantara tafsir yang ketiga adalah Lathâiful Isyârât-nya Imam Al-Qusyairî. Menilik posisi aliran-aliran ini yang berada di rumah besar Sunni, sudah barang tentu mereka memiliki garis besar metode yang sama, misalnya tafsîrul Qur`ân bil Qur`ân, bil hadîts, bi aqwâlish shahâbah, bi aqwâlittâbi'îin, dan billughah yang mencakup misalnya: makna lafadz yang ditafisiri harus sesuai dengan bahasa Arab; al-Qur'an harus ditafsirkan dengan yang umum dalam bahasa; dalam menentukan makna harus sesuai dengan konteks (assiyâq); dalam menafsirkan harus memperhatikan situasi sabab nuzûl dan alur cerita (qishshah); mendahulukan ma'na syar'î ketimbang ma'na ‘urfî; dan lain sebagainya.
Ini berbeda misalnya dari tafsir-tafsir di luar tradisi Sunni yang tak menerima semua konsep-konsep tafsir di muka secara sempurna. Syiah misalnya, tak menerima hadits-hadits yang ditransmisikan melalui sanad Sunni, walau konsep dasarnya mengenai tafsîr bil ma`tsûr sama. Contoh lain adalah Mu'tazilah yang terlalu mudah membuang hadits, apalagi atsar sahabat dan tabi'în, jika tampak bertentangan dengan arra`yu, sehingga mengurangi keutuhan konsep tafsîr bil ma`tsûr. Begitu juga dengan tafsîr falsafî yang berani "melampaui" makna nash ayat dengan konsep dialektika khithâbî-burhânî-nya, atau tafsîr shûfî nadzarî yang merambah ke wilayah bâthin teks dan meninggalkan dzâhir-nya. Ayat 17 QS Al-Hâqqah[1] misalnya, tafsirnya dibiarkan apa adanya sesuai dengan pemahaman "masyarakat awam", akan tetapi bagi para filsuf, ‘arsy diartikan sebagai planet ke sembilan yang merupakan mahaplanet, sementara delapan malaikat yang menyangganya adalah delapan planet yang bermarkas di bawahnya. Dan ayat 6-7 QS Al-Baqarah[2], oleh Ibn ‘Arabî, melalui konsep dzâhir-bâthin-nya ditafsirkan, bahwa orang-orang kafir itu menutupi kecintaan mereka atas Allah, sehingga peringatan-peringatan Nabi Muhammad SAW. tak akan mereka imani, karena telah sibuk hanya dengan Allah SWT.
Di luar kesamaan-kesamaan metode di atas, aliran-aliran Sunni juga memiliki sejumlah perbedaan, terutama menyangkut tafsîr birra'yi. Misalnya pendekatan aliran kalâmî terhadap ayat-ayat shifâtiyah, yang ditolak keras oleh aliran salâfî. Imam Fakhrur Râzî yang dianggap sebagai mufassir yang berhasil menyuguhkan teks-teks al-Quran sebagai hidangan teologis Asy'ariyah menjadi sorotan tajam aliran Salafî. Ibn Taimiyah, pentolan aliran ini, bahkan menyampaikan grundelannya terhadap attafsîr al-kabîr anggitannya: "fîhi kullu syai'in illâ attafsîr", tafsir tersebut memuat segala hal kecuali tafsir itu sendiri. Contoh lain adalah pendekatan isyârî yang dikenalkan oleh aliran shûfî-sunnî, yang bukan saja ditolak oleh aliran salafî, tapi juga oleh sejumlah kalangan dari aliran kalâmî.
Tafsir isyârî adalah tafsir yang menta'wili ayat-ayat al-Quran tidak sesuai dengan apa yang dzahir, melalui petunjuk dari isyarat-isyarat esotoris yang hanya diberikan kepada mereka yang telah sempurna dalam meniti jalan menuju Allah SWT. Model penafsiran ini murni mengandalkan ilham dari Allah SWT. tanpa terikat secara ketat dengan logika bahasa, keselarasan konteks, dan dukungan premis-premis ilmiah. Dalam hal ini, seorang mufassir diwajibkan untuk selalu mengisi hatinya hanya dengan dzikir Allah SWT, sehingga saat ia membaca Al-Quran Allah membuka hatinya untuk menerima pencerahan-pencerahan baru yang terkandung di dalam isyarat-isyaratnya. "Wa'allamnâhu milladunnâ ‘ilmâ". QS. Al-Kahfi : 65. Sahl Attustarî (200-283 H.) , seorang sufi kenamaan, saat membaca ayat 22 QS Al-Baqarah[3], seperti mendapat ilham dari ‘âlamul malakût, bahwa andâd terbesar adalah hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan, menyimpang dari tafsir dzharinya yang adalah berhala-berhala sesembahan orang-orang kafir. Dengan menafsiri andâd dengan nafs ammârah, Attustarî tidak bermaksud menafikan makna dzharinya tersebut, akan tetapi itu hanya sebagai "tafsir lain" yang ditimpakan ke dalama hatinya melalui penghampiran total kepada Allah SWT.
Tafsir isyârî atau faidhî yang lahir dalam tradisi tasawwuf sunnî demikian ini sangat problematis. Di satu sisi ia terpancarkan dari hati bening para peniti jalan kesucian, akan tetapi pada sisi lain ia seperti melahirkan logika bahasa baru yang mustahil tersentuh oleh pengalaman normal. Imam An-Nasafî, penganut tradisi tafsîr kalâmî, mengecam model penafsiran tersebut, karena telah menarik lafadz-lafadz al-Quran dari habitat dzahirnya. Menurut dia, menggeser lafadz al-Quran dari konteks dzahirnya adalah bentuk ilhâd.
**
Selain pemetaan salafî-kalâmî-shûfî, tradisi tafsir sunni juga terkelompokkan dalam sejumlah corak atau warna tafsir. Sebut saja misalnya, tafsîr fiqhî, tafsîr lughowî, tafsîr adabî, tafsir ijtimâ'î-hudâ`î, dan tafsîr ‘ilmî. Tafsîr fiqhî adalah salah satu tafsir yang paling mulus dan tak banyak dipersoalkan. Jika ta'wil hanya berarti mencari tahu hukum Allah (ta'wîl fiqhî) pada semua kasus yang terjadi di muka bumi, maka hampir pasti semua aliran sunni tak akan mempermasalahkan legalitasnya. Dalam khazanah sunni, tak ada satu aliran pun yang berani menarik diri dari keterkaitan dengan hukum syar'î, sehingga ta'wîl fiqhî dengan demikian mutlak diperlukan. Dan untuk memenuhi kebutuhan ini, sejumlah tafsîr fiqhî telah lahir, seperti Ahkâmul Qur`ân karya Ibn al-‘Arabî dan Ahkâmul Qur`ân karya al-Jashshâs.
Tafsîr lughawî lahir dari satu kenyataan bahwa al-Quran diturunkan melalui media bahasa Arab yang jelas. "dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas." QS. Asy-Syu'arâ`:193-195. Sehingga untuk memahaminya diperlukan penguasaan yang sangat baik terhadap tatabahas dan kosakata Arab. Ini adalah syarat mutlak bagi mufassir. Di sinilah kemudian lahir buku-buku tafsir yang banyak atau bahkan khusus membahas sintaksis dan morfologi Arab. Sebut misalnya Ma'ânil Qur`ân, karya Imam Al-Farrâ', Ma'ânil Qur`ân karya Az-Zajjâj, Addurrul Mashûn karya Assamîn al-Halabî, dan lain sebagainya.
Tafsîr adabî adalah bentuk pertanggungjawaban ulama-ulama Islam untuk menjelaskan nilai sastra al-Quran yang diyakini mengandung i'jâz. Corak tafsir ini banyak dielaborasi oleh kalangan Mu'tazilah seperti Al-Jahidz (163-255 H.), ar-Rummânî (296-384 H.) dan al-Marzabânî (297-394 H.), yang pada generasi belakangan lahirlah al-Kasysyâf-nya Imam az-Zamakhsyarî (467-538 H.). Belakangan, generasi Sunni juga merambah wilayah ini, seperti Imam al-Bâqilânî (328-402 H.), Abdul Qâhir al-Jurjânî (w. 471 H.), dan kemudian generasi Imam Baidlowî (w. 685 H.) yang mengintisarikan kandungan sastra tafsîr al-Kasysyâf dengan membuang teologi i'tizîli-nya. Dan di era modern, corak adabî ini dielaborasi lebih mendalam oleh Amîn al-Khoulî (1895-1966 M.) dengan asumsinya bahwa al-Quran adalah karya sastra, sebelum merupakan yang lainnya. Kata dia, "Al-Qur`ân huwa kitâbul ‘arabiyah al-akbar", al-Quran adalah karya sastra adi agung. Ia adalah milik umum bangsa Arah, sebelum merupakan petunjuk bagi umat Islam. Dengan ini, al-Quran mutlak harus didekati dengan teori-teori sastra dan linguistik. Sebagai pengampu matakuliah sastra Arab di Cairo University, pengaruhnya sangat besar di Mesir yang saat itu merupakan kiblat akademik di Arab. Bola ilmiah yang ia gulirkan terus menggelinding, lalu ditangkap oleh dua arus: arus klasik, dan arus modern-sekuler. Yang pertama diwakili oleh istrinya, Binti asy-Syâthi' (1912-1998 M.) yang menelurkan terori tafsîr bayânî, dan yang kedua diwakili oleh muridnya, Muhammad Ahmad Khalafullâh (1904-1983 M.) yang menelurkan tinjauan sastra terhadap kisah-kisah al-Qur'an, al-Fann al-Qashashî fil-Qur`ân al-Karîm. Yang keterakhir ini kemudian semakin berkembang hingga menarik al-Quran pada wilayah linguistik modern seperti semiotika, semantika, dan hermeneutika yang oleh banyak pakar Sunni dianggap telah keluar dari "rumah besar Sunni".
Tafsîr ijtimâ'i-hudâ`î yang dipelopori oleh Muhammad Abduh (1849-1905 M.) ini muncul dari keresahan melihat tafsir-tafsir yang berkembang hingga saat itu, di mana pesan-pesan al-Quran sebagai petunjuk (hudan) seperti tenggelam dalam lautan pembahasan tatabahasa, balaghah, ilmu kalam, dan falsafat yang melingkupi teks-teks al-Quran. Setelah mendalami al-Kasysyâf misalnya, pembaca keluar dari itu dengan membawa ilmu balaghah. Atau menyeami at-Tafsîr al-Kabîr-nya Fakhr Râzî, pembaca akan semakin mengetahui teologi-teologi Asy'ariyah. Begitu juga ketika membaca al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur`ân-nya al-Qurthubî, pembaca akan disuguhi hidangan fiqih. Di semua itu, al-Quran sebagai petunjuk yang menerangi jalan hidup insan Muslim seperti absen, dan hanya sesekali saja muncul dalam gemuruh pembahasan-pembahasan pendamping. Dari keresahan ini, Abduh memperkenalkan model penafsiran yang concern utamanya adalah menggali petunjuk-petunjuk al-Quran untuk membaca umat Islam dari keterbelakangan. Corak tafsir yang dikenalkan oleh Abduh ini kemudian menjadi populer, dan memiliki pengaruh yang luas, terutama setelah dikenalkan oleh muridnya, Rasyîd Ridlâ (1865-1935 M), lalu oleh Syaikhul Azhar, al-Marâghî (1881-1945 M.).
Tafsîr ‘ilmî, atau tafsir saintifik, dibangun diatas keyakinan bahwa agama yang benar dan ilmu pengetahuan adalah dua saudara yang saling membantu menuju yang haqq. Agama yang benar termanifestasikan dalam bentuk âyat-âyat Qur'âniyah, sementara ilmu pengetahuan termanifestasikan dalam bentuk âyat-âyat kawniyah. Keduanya tak mungkin saling bertentangan, karena sama-sama diciptakan oleh Allah SWT. yang Maha Mengetahui. Barangkali orang pertama yang mengenalkan corak tafsir seperti ini adalah Imam al-Ghazâlî (w. 520 H.) dalam bukunya, Jawâhirul Qur`ân. Namun tampaknya lemparan al-Ghazâlî ini kurang mendapatkan tempat di hati para pakar saat itu. Bahkan Imam asy-Syâthibî (w. 790 M.) dalam bukunya, al-Muwâfaqât sangat menentang upaya-upaya tersebut, dengan dalih al-Quran diturunkan kepada masyarakat yang ummî, yang tak mengenal ilmu pengetahuan sejauh itu. Menurut dia, al-Quran harus dipahami seperti saat pertama diturunkan. Di era modern, saat hampir seluruh dunia Islam tunduk dalam kolonialisme Barat, umat Islam terpuruk bukan saja peradabannya, akan tetapi juga mentalnya. Agar mereka bangkit, kepala mereka harus ditegakkan terlebih dahulu. Di antaranya dengan menumbuhkan percaya diri terhadap peradaban yang pernah mereka bangun. Dan itu salah satunya ditemukan dalam kitab suci mereka, yaitu al-Quran. Bahwa kemajuan-kemajuan Barat di bidang teknologi, ilmu alam, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya sejatinya telah disampaikan oleh al-Quran secara gamblang atau dalam bentuk isyarat-isyarat. Di sinilah nama Thanthâwî Jauharî (1870-1940 M.) menjadi sangat terkenal. Ia dengan piawai menunjukkan dalam tafsirnya, al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, bahwa sekian banyak teori-teori alam yang ditemukan di era modern sebetulnya telah disampaikan oleh al-Quran.
Ironisnya hampir semua (untuk tidak mengatakan seluruhnya) aliran tak mampu menikmati hidangan al-Quran dengan renyah. Dalam banyak kasus mereka justeru tersedak saat berupaya menikmatinya. Hal ini karena Al-Quran tak menghidangkan satu menu dan untuk sekelompok tertentu. Al-Quran adalah mutiara yang bisa dinikmati oleh berbagai lapisan umatnya, masing-masing dengan tingkat intelektualnya. Ditambah lagi satu kenyataan bahwa al-Quran tidak turun sekali tempo dalam bentuk yang utuh, akan tetapi turun dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, dan dalam berbagai munasabah. Dengan demikian, tak pelak al-Quran menghidangkan makna-makna yang beragam, dan bahkan seringkali ambigu yang tak semuanya bisa dinikmati oleh aliran tertentu dengan renyah. Ada diantaranya yang renyah karena menunjuk pada makna yang serasi-setujuan dengan setruktur pemikiran anggitannya, dan ada pula diantaranya yang perlu "diolah" agar "terasa" renyah.
Atas dasar ini, tak ada aliran dalam Islam yang mampu menghindarkan diri dari mekanisme ta'wil dalam arti yang luas, termasuk aliran yang mengaku paling murni sekalipun. Maksud ta'wil dalam arti yang luas adalah seperangkat mekanisme di lingkungan tafsir yang dipergunakan untuk mengatasi teks-teks yang tampak tak sejalan-harmonis. Mekanisme ini bisa berbentuk majâz, ta'wîl, sistematika tarjîh, isyârî, dan lain sebagainya. Tafsîr bil ma`tsur, seperti tafsirnya ibnu Katsîr, yang acap disangka tak membutuhkan mekanisme ta'wil tersebut pada hakikatnya penuh dengannya. Untuk meletakkan hadîts dan atsar pada ayat-ayat tertentu misalnya, dibutuhkan seperangkat metode yang dapat diukur, dan itu tak lain adalah mekanisme ta'wil itu tadi. Juga kesadaran linguistik, alwa'yu allughawî, untuk tidak menerima majâz sebagai bagian dari ta'wil sejatinya adalah bagian dari ta'wil itu sendiri, mirip dengan ungkapan ‘adamul idrâki huwa idrâkun.
Perdebatan-perdebatan akademik antar aliaran-aliran dalam Islam seputar seperangkat ta'wil di muka telah melahirkan khazanah ilmu-ilmu al-Qur`an dan tafsir yang amat kaya. Dan pada kesempata ini, akan kita bicarakan sekelumit dari bagian khazanah tersebut, yakni tradisi tafsir-tafsir sunni. Untuk keperluan ini, kita ajukan dulu satu pertanyaan: Apa itu Sunni? Atau: mencakup siapa saja aliran Sunni itu?
Ini adalah salah satu pertanyaan amat sulit, yang untuk menjawabnya dibutuhkan kerja keras dan melelahkan. Demi menghindari itu, kita menerima begitu adanya sebuah "rumah besar" yang sering diasumsikan menaungi keluarga besar Sunni, tanpa melihat kamar-kamar yang ada di dalamnya, yang boleh jadi tersekat antara satu dengan lainnya, hingga pada posisi diametral. Rumah besar ini lazimnya dihadapkan pada rumah lain yang berseberangan, yang ditinggali oleh Syî'ah, Mu'tazilah, Khawârij, dan lain sebagainya. Dengan demikian, Sunni yang dimaksud di sini adalah kelompok besar yang mencakup salafî, kalâmî asy'arî-mâturidî, dan shûfî-sunnî (untuk membedakannya dari shûfî-falsafî seperti Ibn ‘Arabî). Perselisihan faham teologis diantara shûfî-sunnî dan salafî, yang biasanya berujung pada klaim paling berhak menyandang gelar sunni misalnya, tak perlu diangkat.
Dengan memasukkan unsur tafsir pada pemetaan ini, bisa kita kemukakan, bahwa dalam tradisi Sunni terdapat tiga aliran tafsir: ittijâh salafî, ittijâh kalâmî, dan ittijâh shûfî. Termasuk aliran yang pertama adalah tafsir Ibn Katsîr, dan termasuk aliran yang kedua adalah Attafsir al-Kabîr-nya Fakhrur Râzî, sementara diantara tafsir yang ketiga adalah Lathâiful Isyârât-nya Imam Al-Qusyairî. Menilik posisi aliran-aliran ini yang berada di rumah besar Sunni, sudah barang tentu mereka memiliki garis besar metode yang sama, misalnya tafsîrul Qur`ân bil Qur`ân, bil hadîts, bi aqwâlish shahâbah, bi aqwâlittâbi'îin, dan billughah yang mencakup misalnya: makna lafadz yang ditafisiri harus sesuai dengan bahasa Arab; al-Qur'an harus ditafsirkan dengan yang umum dalam bahasa; dalam menentukan makna harus sesuai dengan konteks (assiyâq); dalam menafsirkan harus memperhatikan situasi sabab nuzûl dan alur cerita (qishshah); mendahulukan ma'na syar'î ketimbang ma'na ‘urfî; dan lain sebagainya.
Ini berbeda misalnya dari tafsir-tafsir di luar tradisi Sunni yang tak menerima semua konsep-konsep tafsir di muka secara sempurna. Syiah misalnya, tak menerima hadits-hadits yang ditransmisikan melalui sanad Sunni, walau konsep dasarnya mengenai tafsîr bil ma`tsûr sama. Contoh lain adalah Mu'tazilah yang terlalu mudah membuang hadits, apalagi atsar sahabat dan tabi'în, jika tampak bertentangan dengan arra`yu, sehingga mengurangi keutuhan konsep tafsîr bil ma`tsûr. Begitu juga dengan tafsîr falsafî yang berani "melampaui" makna nash ayat dengan konsep dialektika khithâbî-burhânî-nya, atau tafsîr shûfî nadzarî yang merambah ke wilayah bâthin teks dan meninggalkan dzâhir-nya. Ayat 17 QS Al-Hâqqah[1] misalnya, tafsirnya dibiarkan apa adanya sesuai dengan pemahaman "masyarakat awam", akan tetapi bagi para filsuf, ‘arsy diartikan sebagai planet ke sembilan yang merupakan mahaplanet, sementara delapan malaikat yang menyangganya adalah delapan planet yang bermarkas di bawahnya. Dan ayat 6-7 QS Al-Baqarah[2], oleh Ibn ‘Arabî, melalui konsep dzâhir-bâthin-nya ditafsirkan, bahwa orang-orang kafir itu menutupi kecintaan mereka atas Allah, sehingga peringatan-peringatan Nabi Muhammad SAW. tak akan mereka imani, karena telah sibuk hanya dengan Allah SWT.
Di luar kesamaan-kesamaan metode di atas, aliran-aliran Sunni juga memiliki sejumlah perbedaan, terutama menyangkut tafsîr birra'yi. Misalnya pendekatan aliran kalâmî terhadap ayat-ayat shifâtiyah, yang ditolak keras oleh aliran salâfî. Imam Fakhrur Râzî yang dianggap sebagai mufassir yang berhasil menyuguhkan teks-teks al-Quran sebagai hidangan teologis Asy'ariyah menjadi sorotan tajam aliran Salafî. Ibn Taimiyah, pentolan aliran ini, bahkan menyampaikan grundelannya terhadap attafsîr al-kabîr anggitannya: "fîhi kullu syai'in illâ attafsîr", tafsir tersebut memuat segala hal kecuali tafsir itu sendiri. Contoh lain adalah pendekatan isyârî yang dikenalkan oleh aliran shûfî-sunnî, yang bukan saja ditolak oleh aliran salafî, tapi juga oleh sejumlah kalangan dari aliran kalâmî.
Tafsir isyârî adalah tafsir yang menta'wili ayat-ayat al-Quran tidak sesuai dengan apa yang dzahir, melalui petunjuk dari isyarat-isyarat esotoris yang hanya diberikan kepada mereka yang telah sempurna dalam meniti jalan menuju Allah SWT. Model penafsiran ini murni mengandalkan ilham dari Allah SWT. tanpa terikat secara ketat dengan logika bahasa, keselarasan konteks, dan dukungan premis-premis ilmiah. Dalam hal ini, seorang mufassir diwajibkan untuk selalu mengisi hatinya hanya dengan dzikir Allah SWT, sehingga saat ia membaca Al-Quran Allah membuka hatinya untuk menerima pencerahan-pencerahan baru yang terkandung di dalam isyarat-isyaratnya. "Wa'allamnâhu milladunnâ ‘ilmâ". QS. Al-Kahfi : 65. Sahl Attustarî (200-283 H.) , seorang sufi kenamaan, saat membaca ayat 22 QS Al-Baqarah[3], seperti mendapat ilham dari ‘âlamul malakût, bahwa andâd terbesar adalah hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan, menyimpang dari tafsir dzharinya yang adalah berhala-berhala sesembahan orang-orang kafir. Dengan menafsiri andâd dengan nafs ammârah, Attustarî tidak bermaksud menafikan makna dzharinya tersebut, akan tetapi itu hanya sebagai "tafsir lain" yang ditimpakan ke dalama hatinya melalui penghampiran total kepada Allah SWT.
Tafsir isyârî atau faidhî yang lahir dalam tradisi tasawwuf sunnî demikian ini sangat problematis. Di satu sisi ia terpancarkan dari hati bening para peniti jalan kesucian, akan tetapi pada sisi lain ia seperti melahirkan logika bahasa baru yang mustahil tersentuh oleh pengalaman normal. Imam An-Nasafî, penganut tradisi tafsîr kalâmî, mengecam model penafsiran tersebut, karena telah menarik lafadz-lafadz al-Quran dari habitat dzahirnya. Menurut dia, menggeser lafadz al-Quran dari konteks dzahirnya adalah bentuk ilhâd.
**
Selain pemetaan salafî-kalâmî-shûfî, tradisi tafsir sunni juga terkelompokkan dalam sejumlah corak atau warna tafsir. Sebut saja misalnya, tafsîr fiqhî, tafsîr lughowî, tafsîr adabî, tafsir ijtimâ'î-hudâ`î, dan tafsîr ‘ilmî. Tafsîr fiqhî adalah salah satu tafsir yang paling mulus dan tak banyak dipersoalkan. Jika ta'wil hanya berarti mencari tahu hukum Allah (ta'wîl fiqhî) pada semua kasus yang terjadi di muka bumi, maka hampir pasti semua aliran sunni tak akan mempermasalahkan legalitasnya. Dalam khazanah sunni, tak ada satu aliran pun yang berani menarik diri dari keterkaitan dengan hukum syar'î, sehingga ta'wîl fiqhî dengan demikian mutlak diperlukan. Dan untuk memenuhi kebutuhan ini, sejumlah tafsîr fiqhî telah lahir, seperti Ahkâmul Qur`ân karya Ibn al-‘Arabî dan Ahkâmul Qur`ân karya al-Jashshâs.
Tafsîr lughawî lahir dari satu kenyataan bahwa al-Quran diturunkan melalui media bahasa Arab yang jelas. "dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas." QS. Asy-Syu'arâ`:193-195. Sehingga untuk memahaminya diperlukan penguasaan yang sangat baik terhadap tatabahas dan kosakata Arab. Ini adalah syarat mutlak bagi mufassir. Di sinilah kemudian lahir buku-buku tafsir yang banyak atau bahkan khusus membahas sintaksis dan morfologi Arab. Sebut misalnya Ma'ânil Qur`ân, karya Imam Al-Farrâ', Ma'ânil Qur`ân karya Az-Zajjâj, Addurrul Mashûn karya Assamîn al-Halabî, dan lain sebagainya.
Tafsîr adabî adalah bentuk pertanggungjawaban ulama-ulama Islam untuk menjelaskan nilai sastra al-Quran yang diyakini mengandung i'jâz. Corak tafsir ini banyak dielaborasi oleh kalangan Mu'tazilah seperti Al-Jahidz (163-255 H.), ar-Rummânî (296-384 H.) dan al-Marzabânî (297-394 H.), yang pada generasi belakangan lahirlah al-Kasysyâf-nya Imam az-Zamakhsyarî (467-538 H.). Belakangan, generasi Sunni juga merambah wilayah ini, seperti Imam al-Bâqilânî (328-402 H.), Abdul Qâhir al-Jurjânî (w. 471 H.), dan kemudian generasi Imam Baidlowî (w. 685 H.) yang mengintisarikan kandungan sastra tafsîr al-Kasysyâf dengan membuang teologi i'tizîli-nya. Dan di era modern, corak adabî ini dielaborasi lebih mendalam oleh Amîn al-Khoulî (1895-1966 M.) dengan asumsinya bahwa al-Quran adalah karya sastra, sebelum merupakan yang lainnya. Kata dia, "Al-Qur`ân huwa kitâbul ‘arabiyah al-akbar", al-Quran adalah karya sastra adi agung. Ia adalah milik umum bangsa Arah, sebelum merupakan petunjuk bagi umat Islam. Dengan ini, al-Quran mutlak harus didekati dengan teori-teori sastra dan linguistik. Sebagai pengampu matakuliah sastra Arab di Cairo University, pengaruhnya sangat besar di Mesir yang saat itu merupakan kiblat akademik di Arab. Bola ilmiah yang ia gulirkan terus menggelinding, lalu ditangkap oleh dua arus: arus klasik, dan arus modern-sekuler. Yang pertama diwakili oleh istrinya, Binti asy-Syâthi' (1912-1998 M.) yang menelurkan terori tafsîr bayânî, dan yang kedua diwakili oleh muridnya, Muhammad Ahmad Khalafullâh (1904-1983 M.) yang menelurkan tinjauan sastra terhadap kisah-kisah al-Qur'an, al-Fann al-Qashashî fil-Qur`ân al-Karîm. Yang keterakhir ini kemudian semakin berkembang hingga menarik al-Quran pada wilayah linguistik modern seperti semiotika, semantika, dan hermeneutika yang oleh banyak pakar Sunni dianggap telah keluar dari "rumah besar Sunni".
Tafsîr ijtimâ'i-hudâ`î yang dipelopori oleh Muhammad Abduh (1849-1905 M.) ini muncul dari keresahan melihat tafsir-tafsir yang berkembang hingga saat itu, di mana pesan-pesan al-Quran sebagai petunjuk (hudan) seperti tenggelam dalam lautan pembahasan tatabahasa, balaghah, ilmu kalam, dan falsafat yang melingkupi teks-teks al-Quran. Setelah mendalami al-Kasysyâf misalnya, pembaca keluar dari itu dengan membawa ilmu balaghah. Atau menyeami at-Tafsîr al-Kabîr-nya Fakhr Râzî, pembaca akan semakin mengetahui teologi-teologi Asy'ariyah. Begitu juga ketika membaca al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur`ân-nya al-Qurthubî, pembaca akan disuguhi hidangan fiqih. Di semua itu, al-Quran sebagai petunjuk yang menerangi jalan hidup insan Muslim seperti absen, dan hanya sesekali saja muncul dalam gemuruh pembahasan-pembahasan pendamping. Dari keresahan ini, Abduh memperkenalkan model penafsiran yang concern utamanya adalah menggali petunjuk-petunjuk al-Quran untuk membaca umat Islam dari keterbelakangan. Corak tafsir yang dikenalkan oleh Abduh ini kemudian menjadi populer, dan memiliki pengaruh yang luas, terutama setelah dikenalkan oleh muridnya, Rasyîd Ridlâ (1865-1935 M), lalu oleh Syaikhul Azhar, al-Marâghî (1881-1945 M.).
Tafsîr ‘ilmî, atau tafsir saintifik, dibangun diatas keyakinan bahwa agama yang benar dan ilmu pengetahuan adalah dua saudara yang saling membantu menuju yang haqq. Agama yang benar termanifestasikan dalam bentuk âyat-âyat Qur'âniyah, sementara ilmu pengetahuan termanifestasikan dalam bentuk âyat-âyat kawniyah. Keduanya tak mungkin saling bertentangan, karena sama-sama diciptakan oleh Allah SWT. yang Maha Mengetahui. Barangkali orang pertama yang mengenalkan corak tafsir seperti ini adalah Imam al-Ghazâlî (w. 520 H.) dalam bukunya, Jawâhirul Qur`ân. Namun tampaknya lemparan al-Ghazâlî ini kurang mendapatkan tempat di hati para pakar saat itu. Bahkan Imam asy-Syâthibî (w. 790 M.) dalam bukunya, al-Muwâfaqât sangat menentang upaya-upaya tersebut, dengan dalih al-Quran diturunkan kepada masyarakat yang ummî, yang tak mengenal ilmu pengetahuan sejauh itu. Menurut dia, al-Quran harus dipahami seperti saat pertama diturunkan. Di era modern, saat hampir seluruh dunia Islam tunduk dalam kolonialisme Barat, umat Islam terpuruk bukan saja peradabannya, akan tetapi juga mentalnya. Agar mereka bangkit, kepala mereka harus ditegakkan terlebih dahulu. Di antaranya dengan menumbuhkan percaya diri terhadap peradaban yang pernah mereka bangun. Dan itu salah satunya ditemukan dalam kitab suci mereka, yaitu al-Quran. Bahwa kemajuan-kemajuan Barat di bidang teknologi, ilmu alam, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya sejatinya telah disampaikan oleh al-Quran secara gamblang atau dalam bentuk isyarat-isyarat. Di sinilah nama Thanthâwî Jauharî (1870-1940 M.) menjadi sangat terkenal. Ia dengan piawai menunjukkan dalam tafsirnya, al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, bahwa sekian banyak teori-teori alam yang ditemukan di era modern sebetulnya telah disampaikan oleh al-Quran.
TASAWWUF DAN PERADABAN
Hal ini terjadi karena memang tasawuf adalah thoriqohnya Arbab Al-Ahwal yakni thoriqohnya orang-orang yang berjalan menuju kepada Allah SWT (Salik), bukan thoriqohnya Ahl Al-Aqwal (orang yang menitik beratkan sesuatu pada ucapan). Dan para Salikin dalam melakukan aktifitas kesufiannya tidak hanya mendasarkan pada dalil-dalil yang tertulis (Naqliyyah) ataupun dalil-dalil yang rasional (Aqliyyah) saja, akan tetapi juga dalil yang berupa intuisi (Dzauq)[1].
Bila mendengar kata tasawuf seketika yang terbayangkan dibenak penulis adalah sederet nama para Auliya' Allah, mulai dari Ibnu Athoillah As-Sakandari, Syekh Abul Hasan As-Syadzili, Syekh Ahmad Ar-Rifa'I, Al-Imam Al-Ghozali dan masih banyak lagi nama-nama lain yang merupakan tokoh-tokoh tasawuf yang kita miliki. Disamping itu, penulis juga teringat akan beberapa judul buku yang mengupas tentang tasawuf, mulai dari yang Turots seperti Ihya'nya Al-Imam Al-Ghozali, Hikamnya Ibnu Athoillah dan risalahnya Al-Qusyairi, ataupun yang terbaru, seperti Syarh (kupasan) Hikam yang ditulis Dr. Said Romadlon Al-Buthi dan beberapa buku kecil karya beliau yang membahas tentang tasawuf. Jika menelaah beberapa literatur yang membahas tentang tasawuf, yang sebagian telah penulis sebut diatas, maka akan banyak kita temukan definisi tentang tasawuf yang biasanya adalah merupakan ungkapan dari para pelaku taSAWuf itu sendiri.
Hal ini terjadi karena memang tasawuf adalah thoriqohnya Arbab Al-Ahwal yakni thoriqohnya orang-orang yang berjalan menuju kepada Allah SWT (Salik), bukan thoriqohnya Ahl Al-Aqwal (orang yang menitik beratkan sesuatu pada ucapan). Dan para Salikin dalam melakukan aktifitas kesufiannya tidak hanya mendasarkan pada dalil-dalil yang tertulis (Naqliyyah) ataupun dalil-dalil yang rasional (Aqliyyah) saja, akan tetapi juga dalil yang berupa intuisi (Dzauq)[1].
Sedang antara Dzauq satu orang dan yang lain tentunya berbeda-beda, inilah salah satu penyebab terjadinya perbedaan dalam pendefinisian tasawuf diatas[2].
Kesulitan dalam memahami tasawuf seperti diatas tidak hanya terjadi pada pemaknaan tasawuf secara definitif, akan tetapi hal itu juga terjadi pada asal muasal kata tasawuf sendiri. Karena para Ulama yang mengkaji tentang tasawuf sendiri ada yang berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa arab, ada pula yang berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa ‘Ajam (bahasa selain bahasa arab).
Sedang ulama yang berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa arab pun juga berbeda pendapat, apakah Tasawuf adalah kata yang Musytaq (ada kata dasarnya) atau tidak? Dan yang mengatakan bahwa kata Tasawuf adalah kata yang Musytaq pun berbeda pendapat tentang kata dasar dari kata Tasawuf itu sendiri yang jika kita perhatikan, ternyata kita akan menemukan betapa banyak akar kata Tasawuf yang ditawarkan oleh para ulama[3].
Ya sudahlah, kita tidak usah terlalu pusing tentang hal-hal diatas. Karena pada dasarnya, tasawuf merupakan implementasi dari Al-Ihsan, yang disebutkan dalam sebuah hadis riwayat Sayyidina Umar RA, dan Tazkiyyah An-Nafs yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an Al-Karim[4]. Dalam hadis diatas Rosulullah SAW menempatkan Al-Ihsan pada posisi terakhir, yakni setelah Al-Iman dan Al-Islam. Hal ini memberi pengetian bagi kita, bahwa derajat Al-Ihsan, yang bisa juga disebut dengan tasawuf, dapat dicapai oleh seseorang jika ia telah beriman dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan islam secara sempurna. Karena Al-Ihsan merupakan perwujudan dari kuatnya Tauhid dalam hati seseorang.
Sedang hakekat dari Tauhid, sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghozali, adalah jika seorang hamba melihat dan meyakini bahwa segala sesuatu yang di alam semesta ini dari Allah SWT[5]. Buah dari tauhid tersebut adalah Al-Ihsan yang berarti penyembahan seseorang terhadap Allah sekan-akan ia melihat Allah SAW atau ia dilihat oleh Allah SWT. Jadi, kesungguhan iman dan kesempurnaan islam seseorang merupakan syarat mutlak bagi seseorang yang ingin mencapai derajat Al-Ihsan atau tasawuf.
Termasuk hal yang wajib diimani oleh umat islam, lebih-lebih mereka yang ingin mencapai derajat Al-Ihsan atau paling tidak ingin menjadi seorang sufi, adalah Qadla dan Qadar, sebagaimana hal itu bisa kita lihat pada hadis riwayat sayyidina umar diatas. Akan tetapi banyak dari kalangan umat islam sendiri yang tidak beriman pada Qadla dan Qadar, bahkan sekarang ini hal itu muncul dari sebagian orang yang memposisikan dirinya sebagai seorang sufi.
Mereka pun beranggapan bahwa percaya pada Qadla dan Qadar adalah biang dari kemunduran umat Islam saat ini, jika umat islam ingin maju maka mereka harus menanggalkan keimanan mereka terhadap Qadla dan Qadar.
Benarkah statement tersebut? Atau malah sebaliknya yang benar? Dalam tulisan singkat ini penulis akan berusaha untuk mengurai benang kusut seputar Qadla dan Qadar. Seputar Qadla Dan Qadar. Sebelum kita membahas lebih jauh, maka kita jawab dulu pertanyaan, Apa itu Qadla dan Qadar? Qadla adalah ilmu atau ketetapan Allah SWT berkenaan dengan seluruh makhluk-Nya, yang telah ditetapkan-Nya pada azal (sesuatu yang tak bermula), yang diantaranya adalah ketetapan Allah SWT berkenaan dengan semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan yang Ikhtiyari (dari kehendak manusia sendiri) ataupun tidak. Adapun Qadar adalah terjadinya penciptaan sesuai dengan keputusan yang ditetapkan oleh Allah sebelumnya (Qadla). Dengan demikian, berarti Qadar merupakan implementasi dari Qadla.
Setelah mengetahui definisi Qadla dan Qadar sebagaimana diatas, maka yang muncul dibenak penulis selanjutnya adalah sebuah pertanyaan baru, apa korelasi antara iman terhadap qadla dan qadar dan kemunduran yang dialami umat saat ini? Jika kita cermati dengan sungguh-sungguh, sebenarnya tidak ada korelasi sama sekali antara iman kepada qadla dan qadar dengan kemunduran umat islam saat ini, Bahkan keduanya pada ujung yang berbeda.
Karena iman terhadap qadla dan qadar adalah bagian dari keyakinan kita terhadap Dzat dan sifat-sifat Allah SWT, sedang segala perbuatan dan tingkah laku manusia merupakan bentuk ketundukannya terhadap perintah dan larangan Allah SWT. Untuk membuktikan hal diatas coba saja kita perhatikan beberapa hal dibawah ini:
a. Banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan manusia untuk Imarah Al-Ardl (membangun, memberdayakan, mengolah dan mengembangkan potensi yang ada di bumi), baik secara materi ataupun peradaban.
Hal tersebut bisa kita baca pada Q.S. Al-Hud: 6: " dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya ".
Allah juga menyuruh agar kita memperhatikan bumi yang telah Dia jadikan "pelayan" bagi kita, untuk kemudian kita bisa menggali dan mengeluarkan semua potensi yang terkandung didalamnya.
Coba kita perhatikan Q.S. Al-Mulk: 15: " Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan ".
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang mengisyaratkan perintah Allah SWT yang senada dengan perintah-perintah diatas. Yang sekarang perlu kita renungkan, apakah mungkin setelah Allah SWT memerintahkan kita untuk mengolah dan mengembangkan potensi bumi yang kita huni ini, lalu setelah itu Dia pun juga memerintahkan kita agar bermalas-malasan, dengan dalih bahwa konsekuensi dari iman terhadap qadla dan qadar adalah bermalas-malasan?
Bukankah arti Taskhir Al-Ard (menjadikan bumi sebagai "pelayan" manusia) yang terdapat pada firman Allah Q.S. luqman: 20: " Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan ",
adalah dengan mengerahkan semua daya dan upaya yang kita miliki? Atau malah sebaliknya, yakni dengan santai-santai, tidur-tiduran dan bermalas-malas? Tentu kita sudah tahu jawaban dari pertanyaan diatas.
b. Kalau kita membaca Sirah atau perjalanan hidup dan perjuangan para As-Salaf As-Sholih, seperti para sahabat Nabi Muhammad SAW, Tabi'in dan Tabi' At-Tabi'in, maka kita akan melihat bahwa mereka hidup dalam kesejahteraan baik secara lahiriah maupun bathiniah, dan hal itu tidak bisa dipungkiri oleh siapapun kecuali orang-orang yang memang tidak bisa melihat terangnya sinar matahari di siang bolong.
Para sahabat adalah orang-orang yang paling sah untuk kita jadikan tauladan dalam berbagai aspek kehidupan, mereka telah berhasil merajut kebangkitan ilmiah, budaya, ekonomi, militer dan banyak yag lainnya, padahal sebelumnya mereka hanya bangsa arab yang Ummi, hidup di padang pasir yang gersang dan tidak punya nilai dihadapan bangsa-bangsa lain.
Yang mengganjal dibenak penulis sekarang adalah sebuah pertanyaan besar, apakah kesejahteraan yang diperoleh oleh para para sahabat itu adalah merupakan hasil dari tidak iman mereka terhadap qadla dan qadar? Tentunya, bagi orang-orang yang menganggap iman terhadap qadla dan qadar sebagai biang dari kemunduran dan kekalahan umat islam saat ini harus menjawab "iya" pertanyaan penulis diatas.
Karena hal itu adalah konsekuensi secara logis dari keyakinan mereka. Akan tetapi hal itu terbantahkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam muslim dalam buku shohihnya. Alkisah, ketika Ma'bad Al-Juhani, orang pertama yang menafikan adanya qadar Allah, muncul di kota Bashrah ada dua orang yang sedang melaksanakan ibadah haji sowan kepada sahabat Nabi Adullah bin Umar RA untuk menanyakan perihal Ma'bad Al-Juhani tersebut. Lalu jawaban Ibnu umar adalah: " jika engkau bertemu dengan mereka maka kabarkanlah bahwa aku lepas dari apa yang mereka yakini dan mereka juga terlepas dari apa yang aku yakini, andaikan salah satu dari mereka memiliki emas sebesar gunung uhud dan kemudian mereka infaqkan niscaya allah tidak akan menerima amal mereka tersebut selagi mereka tidak beriman terhadap qadar [6]".
Kemudian beliau menyitir hadis riwayat sayyidina umar tentang iman, islam, dan ihsan diatas. Ungkapan sahabat Ibnu Umar diatas memberi ketegasan kepada kita bahwa para sahabat pun beriman terhadap qadla dan qadar, dan serta merta juga membantah logika bahwa kemajuan yang mereka peroleh didorong oleh sebuah pengingkaran terhadap qadla dan qadar.
Dari dua poin yang sudah penulis sebutkan diatas, tentu sekarang kita bisa yakin bahwa kemunduran umat Islam saat ini bukan disebabkan keimanan mereka terhadap qadla dan qadar. Bahkan malah sebaliknya, keimanan mereka terhadap qadla dan qadarlah yang mendorong mereka untuk menjadi bangsa yang berperadaban tinggi.
Bagaimana logikanya? Jika sebuah bangsa telah mempunyai iman yang kuat terhadap Allah SWT, dan bahkan iman tersebut tidak hanya sebatas Taqlid tapi sudah mencapai taraf cinta, mengagungkan, memuliakan, hanya bergantung pada Allah SWT saja dan meyakini seyakin-yakinnya bahwa hanya Allah lah sumber dari segala kekuatan yang ada, maka ia akan bertambah tunduk setunduk-tunduknya terhadap semua perintah-perintah Allah SWT.
Dan termasuk dari perintah Allah SWT adalah agar manusia membangun dan memberdayakan bumi dan segala isinya sesuai dengan amanat yang telah Allah bebankan kepada kita sebagai Kholifah. Coba saja perhatikan sebegitu banyak makam para sahabat yang tersebar dimana-mana, kira-kira apa yang mendorong mereka untuk melakukan perjalanan begitu jauh bahkan sampai bermil-mil dalam rangka Jihad Fi Sabilillah dan menyebarkan agama Islam? padahal waktu itu belum ada pesawat terbang, kereta api, mobil dan alat tranportasi yang lain.
Tidak lain semua itu adalah karena kuatnya iman dalam hati mereka yang membuahkan ketundukan total seorang hamba dihadapan Rabb-nya. Andai yang mereka jadikan pijakan adalah kekuatan mereka sendiri, tentu islam tidak akan tersebar sebegitu luasnya, karena logika manusia tidak akan bisa mencerna dan menerima.
Bayangkan saja, tiga ribu pasukan perang umat islam melawan seratus lima puluh ribu pasukan romawi, tapi apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Rowahah selaku panglima perang " wahai kaumku, sebenarnya sesuatu yang kalian benci adalah sesuatu yang kalian keluar perang karenanya pula. Kalian keluar karena mencari syahadah, jadi kita tidak berperang dengan kekuatan penuh ataupun dengan peralatan yang banyak dan lengkap, akan tetapi kita dengan agama yang Allah telah memuliakan kita dengan agama tersebut, yakni Islam.
Sungguh yang kita cari adalah salah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid ". Iman sebuah bangsa terhadap qadla dan qadar akan mengangkat mereka dari jurang kehinaan, keimanan tersebut mendidik mereka menjadi orang yang mulia, kuat dan percaya diri karena selalu menyandarkan semua langkahnya hanya pada Allah SWT semata, tidak yang lain.
Disinilah akan benar-benar terealisasi sabda baginda Nabi Muhammad SAW:" orang mu'min yang kuat itu lebih baik dan dicintai allah dari pada yang lemah, akan tetapi keduanya baik semuanya[7]". Walhasil, Jika kita ingin maju dan menjadi pemimpin dunia, maka marilah kita berkaca dan meneladani As-Salaf As-Sholih, bagaimana mereka bisa mencapai kemuliaan tersebut, bukankah begitu?
catatan kaki
[1] Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (tt), Al-Munqidz Min Al-Dholal, h.h.69-71. Tuban: Mathba'ah Al-Balagh.
[2] Abu Muhammad Rohimuddin Nawawi Al-Bantani (2003), Madkhol Ila Al-Tashowwuf Al-Shohih Al-Islami, h.73. Kairo: Dar El-Fikr.
[3] Ibid.
[4] Penggalan Hadis diatas adalah sebagai berikut: أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك . Abu Al-Husain Muslim Bin Al-Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi (2000), Shohih Muslim, h.31, No Hadis:1. Beirut: Dar El-Fikr.
[5] Muhammad Bin Muhammad Al-Ghozali (tt), Ihya' Ulumiddin, . h. 33. Semarang: Toha Putra
[6] Muslim Bin Al-Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi. Op.Cit.
[7] Ibid h. 1311, No Hadis: 6669.
Bila mendengar kata tasawuf seketika yang terbayangkan dibenak penulis adalah sederet nama para Auliya' Allah, mulai dari Ibnu Athoillah As-Sakandari, Syekh Abul Hasan As-Syadzili, Syekh Ahmad Ar-Rifa'I, Al-Imam Al-Ghozali dan masih banyak lagi nama-nama lain yang merupakan tokoh-tokoh tasawuf yang kita miliki. Disamping itu, penulis juga teringat akan beberapa judul buku yang mengupas tentang tasawuf, mulai dari yang Turots seperti Ihya'nya Al-Imam Al-Ghozali, Hikamnya Ibnu Athoillah dan risalahnya Al-Qusyairi, ataupun yang terbaru, seperti Syarh (kupasan) Hikam yang ditulis Dr. Said Romadlon Al-Buthi dan beberapa buku kecil karya beliau yang membahas tentang tasawuf. Jika menelaah beberapa literatur yang membahas tentang tasawuf, yang sebagian telah penulis sebut diatas, maka akan banyak kita temukan definisi tentang tasawuf yang biasanya adalah merupakan ungkapan dari para pelaku taSAWuf itu sendiri.
Hal ini terjadi karena memang tasawuf adalah thoriqohnya Arbab Al-Ahwal yakni thoriqohnya orang-orang yang berjalan menuju kepada Allah SWT (Salik), bukan thoriqohnya Ahl Al-Aqwal (orang yang menitik beratkan sesuatu pada ucapan). Dan para Salikin dalam melakukan aktifitas kesufiannya tidak hanya mendasarkan pada dalil-dalil yang tertulis (Naqliyyah) ataupun dalil-dalil yang rasional (Aqliyyah) saja, akan tetapi juga dalil yang berupa intuisi (Dzauq)[1].
Sedang antara Dzauq satu orang dan yang lain tentunya berbeda-beda, inilah salah satu penyebab terjadinya perbedaan dalam pendefinisian tasawuf diatas[2].
Kesulitan dalam memahami tasawuf seperti diatas tidak hanya terjadi pada pemaknaan tasawuf secara definitif, akan tetapi hal itu juga terjadi pada asal muasal kata tasawuf sendiri. Karena para Ulama yang mengkaji tentang tasawuf sendiri ada yang berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa arab, ada pula yang berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa ‘Ajam (bahasa selain bahasa arab).
Sedang ulama yang berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa arab pun juga berbeda pendapat, apakah Tasawuf adalah kata yang Musytaq (ada kata dasarnya) atau tidak? Dan yang mengatakan bahwa kata Tasawuf adalah kata yang Musytaq pun berbeda pendapat tentang kata dasar dari kata Tasawuf itu sendiri yang jika kita perhatikan, ternyata kita akan menemukan betapa banyak akar kata Tasawuf yang ditawarkan oleh para ulama[3].
Ya sudahlah, kita tidak usah terlalu pusing tentang hal-hal diatas. Karena pada dasarnya, tasawuf merupakan implementasi dari Al-Ihsan, yang disebutkan dalam sebuah hadis riwayat Sayyidina Umar RA, dan Tazkiyyah An-Nafs yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an Al-Karim[4]. Dalam hadis diatas Rosulullah SAW menempatkan Al-Ihsan pada posisi terakhir, yakni setelah Al-Iman dan Al-Islam. Hal ini memberi pengetian bagi kita, bahwa derajat Al-Ihsan, yang bisa juga disebut dengan tasawuf, dapat dicapai oleh seseorang jika ia telah beriman dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan islam secara sempurna. Karena Al-Ihsan merupakan perwujudan dari kuatnya Tauhid dalam hati seseorang.
Sedang hakekat dari Tauhid, sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghozali, adalah jika seorang hamba melihat dan meyakini bahwa segala sesuatu yang di alam semesta ini dari Allah SWT[5]. Buah dari tauhid tersebut adalah Al-Ihsan yang berarti penyembahan seseorang terhadap Allah sekan-akan ia melihat Allah SAW atau ia dilihat oleh Allah SWT. Jadi, kesungguhan iman dan kesempurnaan islam seseorang merupakan syarat mutlak bagi seseorang yang ingin mencapai derajat Al-Ihsan atau tasawuf.
Termasuk hal yang wajib diimani oleh umat islam, lebih-lebih mereka yang ingin mencapai derajat Al-Ihsan atau paling tidak ingin menjadi seorang sufi, adalah Qadla dan Qadar, sebagaimana hal itu bisa kita lihat pada hadis riwayat sayyidina umar diatas. Akan tetapi banyak dari kalangan umat islam sendiri yang tidak beriman pada Qadla dan Qadar, bahkan sekarang ini hal itu muncul dari sebagian orang yang memposisikan dirinya sebagai seorang sufi.
Mereka pun beranggapan bahwa percaya pada Qadla dan Qadar adalah biang dari kemunduran umat Islam saat ini, jika umat islam ingin maju maka mereka harus menanggalkan keimanan mereka terhadap Qadla dan Qadar.
Benarkah statement tersebut? Atau malah sebaliknya yang benar? Dalam tulisan singkat ini penulis akan berusaha untuk mengurai benang kusut seputar Qadla dan Qadar. Seputar Qadla Dan Qadar. Sebelum kita membahas lebih jauh, maka kita jawab dulu pertanyaan, Apa itu Qadla dan Qadar? Qadla adalah ilmu atau ketetapan Allah SWT berkenaan dengan seluruh makhluk-Nya, yang telah ditetapkan-Nya pada azal (sesuatu yang tak bermula), yang diantaranya adalah ketetapan Allah SWT berkenaan dengan semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan yang Ikhtiyari (dari kehendak manusia sendiri) ataupun tidak. Adapun Qadar adalah terjadinya penciptaan sesuai dengan keputusan yang ditetapkan oleh Allah sebelumnya (Qadla). Dengan demikian, berarti Qadar merupakan implementasi dari Qadla.
Setelah mengetahui definisi Qadla dan Qadar sebagaimana diatas, maka yang muncul dibenak penulis selanjutnya adalah sebuah pertanyaan baru, apa korelasi antara iman terhadap qadla dan qadar dan kemunduran yang dialami umat saat ini? Jika kita cermati dengan sungguh-sungguh, sebenarnya tidak ada korelasi sama sekali antara iman kepada qadla dan qadar dengan kemunduran umat islam saat ini, Bahkan keduanya pada ujung yang berbeda.
Karena iman terhadap qadla dan qadar adalah bagian dari keyakinan kita terhadap Dzat dan sifat-sifat Allah SWT, sedang segala perbuatan dan tingkah laku manusia merupakan bentuk ketundukannya terhadap perintah dan larangan Allah SWT. Untuk membuktikan hal diatas coba saja kita perhatikan beberapa hal dibawah ini:
a. Banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan manusia untuk Imarah Al-Ardl (membangun, memberdayakan, mengolah dan mengembangkan potensi yang ada di bumi), baik secara materi ataupun peradaban.
Hal tersebut bisa kita baca pada Q.S. Al-Hud: 6: " dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya ".
Allah juga menyuruh agar kita memperhatikan bumi yang telah Dia jadikan "pelayan" bagi kita, untuk kemudian kita bisa menggali dan mengeluarkan semua potensi yang terkandung didalamnya.
Coba kita perhatikan Q.S. Al-Mulk: 15: " Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan ".
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang mengisyaratkan perintah Allah SWT yang senada dengan perintah-perintah diatas. Yang sekarang perlu kita renungkan, apakah mungkin setelah Allah SWT memerintahkan kita untuk mengolah dan mengembangkan potensi bumi yang kita huni ini, lalu setelah itu Dia pun juga memerintahkan kita agar bermalas-malasan, dengan dalih bahwa konsekuensi dari iman terhadap qadla dan qadar adalah bermalas-malasan?
Bukankah arti Taskhir Al-Ard (menjadikan bumi sebagai "pelayan" manusia) yang terdapat pada firman Allah Q.S. luqman: 20: " Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan ",
adalah dengan mengerahkan semua daya dan upaya yang kita miliki? Atau malah sebaliknya, yakni dengan santai-santai, tidur-tiduran dan bermalas-malas? Tentu kita sudah tahu jawaban dari pertanyaan diatas.
b. Kalau kita membaca Sirah atau perjalanan hidup dan perjuangan para As-Salaf As-Sholih, seperti para sahabat Nabi Muhammad SAW, Tabi'in dan Tabi' At-Tabi'in, maka kita akan melihat bahwa mereka hidup dalam kesejahteraan baik secara lahiriah maupun bathiniah, dan hal itu tidak bisa dipungkiri oleh siapapun kecuali orang-orang yang memang tidak bisa melihat terangnya sinar matahari di siang bolong.
Para sahabat adalah orang-orang yang paling sah untuk kita jadikan tauladan dalam berbagai aspek kehidupan, mereka telah berhasil merajut kebangkitan ilmiah, budaya, ekonomi, militer dan banyak yag lainnya, padahal sebelumnya mereka hanya bangsa arab yang Ummi, hidup di padang pasir yang gersang dan tidak punya nilai dihadapan bangsa-bangsa lain.
Yang mengganjal dibenak penulis sekarang adalah sebuah pertanyaan besar, apakah kesejahteraan yang diperoleh oleh para para sahabat itu adalah merupakan hasil dari tidak iman mereka terhadap qadla dan qadar? Tentunya, bagi orang-orang yang menganggap iman terhadap qadla dan qadar sebagai biang dari kemunduran dan kekalahan umat islam saat ini harus menjawab "iya" pertanyaan penulis diatas.
Karena hal itu adalah konsekuensi secara logis dari keyakinan mereka. Akan tetapi hal itu terbantahkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam muslim dalam buku shohihnya. Alkisah, ketika Ma'bad Al-Juhani, orang pertama yang menafikan adanya qadar Allah, muncul di kota Bashrah ada dua orang yang sedang melaksanakan ibadah haji sowan kepada sahabat Nabi Adullah bin Umar RA untuk menanyakan perihal Ma'bad Al-Juhani tersebut. Lalu jawaban Ibnu umar adalah: " jika engkau bertemu dengan mereka maka kabarkanlah bahwa aku lepas dari apa yang mereka yakini dan mereka juga terlepas dari apa yang aku yakini, andaikan salah satu dari mereka memiliki emas sebesar gunung uhud dan kemudian mereka infaqkan niscaya allah tidak akan menerima amal mereka tersebut selagi mereka tidak beriman terhadap qadar [6]".
Kemudian beliau menyitir hadis riwayat sayyidina umar tentang iman, islam, dan ihsan diatas. Ungkapan sahabat Ibnu Umar diatas memberi ketegasan kepada kita bahwa para sahabat pun beriman terhadap qadla dan qadar, dan serta merta juga membantah logika bahwa kemajuan yang mereka peroleh didorong oleh sebuah pengingkaran terhadap qadla dan qadar.
Dari dua poin yang sudah penulis sebutkan diatas, tentu sekarang kita bisa yakin bahwa kemunduran umat Islam saat ini bukan disebabkan keimanan mereka terhadap qadla dan qadar. Bahkan malah sebaliknya, keimanan mereka terhadap qadla dan qadarlah yang mendorong mereka untuk menjadi bangsa yang berperadaban tinggi.
Bagaimana logikanya? Jika sebuah bangsa telah mempunyai iman yang kuat terhadap Allah SWT, dan bahkan iman tersebut tidak hanya sebatas Taqlid tapi sudah mencapai taraf cinta, mengagungkan, memuliakan, hanya bergantung pada Allah SWT saja dan meyakini seyakin-yakinnya bahwa hanya Allah lah sumber dari segala kekuatan yang ada, maka ia akan bertambah tunduk setunduk-tunduknya terhadap semua perintah-perintah Allah SWT.
Dan termasuk dari perintah Allah SWT adalah agar manusia membangun dan memberdayakan bumi dan segala isinya sesuai dengan amanat yang telah Allah bebankan kepada kita sebagai Kholifah. Coba saja perhatikan sebegitu banyak makam para sahabat yang tersebar dimana-mana, kira-kira apa yang mendorong mereka untuk melakukan perjalanan begitu jauh bahkan sampai bermil-mil dalam rangka Jihad Fi Sabilillah dan menyebarkan agama Islam? padahal waktu itu belum ada pesawat terbang, kereta api, mobil dan alat tranportasi yang lain.
Tidak lain semua itu adalah karena kuatnya iman dalam hati mereka yang membuahkan ketundukan total seorang hamba dihadapan Rabb-nya. Andai yang mereka jadikan pijakan adalah kekuatan mereka sendiri, tentu islam tidak akan tersebar sebegitu luasnya, karena logika manusia tidak akan bisa mencerna dan menerima.
Bayangkan saja, tiga ribu pasukan perang umat islam melawan seratus lima puluh ribu pasukan romawi, tapi apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Rowahah selaku panglima perang " wahai kaumku, sebenarnya sesuatu yang kalian benci adalah sesuatu yang kalian keluar perang karenanya pula. Kalian keluar karena mencari syahadah, jadi kita tidak berperang dengan kekuatan penuh ataupun dengan peralatan yang banyak dan lengkap, akan tetapi kita dengan agama yang Allah telah memuliakan kita dengan agama tersebut, yakni Islam.
Sungguh yang kita cari adalah salah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid ". Iman sebuah bangsa terhadap qadla dan qadar akan mengangkat mereka dari jurang kehinaan, keimanan tersebut mendidik mereka menjadi orang yang mulia, kuat dan percaya diri karena selalu menyandarkan semua langkahnya hanya pada Allah SWT semata, tidak yang lain.
Disinilah akan benar-benar terealisasi sabda baginda Nabi Muhammad SAW:" orang mu'min yang kuat itu lebih baik dan dicintai allah dari pada yang lemah, akan tetapi keduanya baik semuanya[7]". Walhasil, Jika kita ingin maju dan menjadi pemimpin dunia, maka marilah kita berkaca dan meneladani As-Salaf As-Sholih, bagaimana mereka bisa mencapai kemuliaan tersebut, bukankah begitu?
catatan kaki
[1] Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (tt), Al-Munqidz Min Al-Dholal, h.h.69-71. Tuban: Mathba'ah Al-Balagh.
[2] Abu Muhammad Rohimuddin Nawawi Al-Bantani (2003), Madkhol Ila Al-Tashowwuf Al-Shohih Al-Islami, h.73. Kairo: Dar El-Fikr.
[3] Ibid.
[4] Penggalan Hadis diatas adalah sebagai berikut: أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك . Abu Al-Husain Muslim Bin Al-Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi (2000), Shohih Muslim, h.31, No Hadis:1. Beirut: Dar El-Fikr.
[5] Muhammad Bin Muhammad Al-Ghozali (tt), Ihya' Ulumiddin, . h. 33. Semarang: Toha Putra
[6] Muslim Bin Al-Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi. Op.Cit.
[7] Ibid h. 1311, No Hadis: 6669.
KEUTAMAAN ILMU
Ayat Allah Subhanu Wata'ala yang mulia ini menjelaskan keutamaan para ahli ilmu dan orang -orang yang senantiasa menuntut ilmu agama . Di samping karena keimanan yang mereka miliki , mereka juga di angkat kedudukannya oleh Allah karena bertambahnya ilmu agama mereka yang menjadikannya semakin jauh dari kejahilan dan mendekatkan kepada keridhaan Allah Subhanahu wata'ala .
Allah Subhanahu Wata'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya :
Hai orang-orng beriman apabila di katakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah kalian dalam majlis". Maka lapangkanlah untukmu . apabila dikatakan : berdirilah kamu " , maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah maha mengetahuai apa yang kamu kerjakan . ( QS. Al- Mujadalah : 11 )
Mengenal beberapa makna sebagai mufrodat
يرفع الله
"Allah meninggikan " maknanya Allah mengangkat , yaitu mengangkat kaum mu'minin di atas selain kaum dan mengangkat orang yang berilmu di atas orang yang tidak berilmu.
أوتوا العلم
" Orang-orang yang berilmu dalam ayat ini adalah ilmu syar'i, sebab dengan Nyalah seseorang akan mendapatkan keterangan dalam mengamalkan agamanya berdasarkan tuntutan Allah dan RosulNya.
درجات
"Beberapa derajat " . Al imam al qurtubi rohimahullah berkata : yaitu derajat di dalam agama ketika mereka melaksanakan apa yang di perintahkan.
Tafsir Ayat
Ayat Allah Subhanu Wata'ala yang mulia ini menjelaskan keutamaan para ahli ilmu dan orang -orang yang senantiasa menuntut ilmu agama . Di samping karena keimanan yang mereka miliki , mereka juga di angkat kedudukannya oleh Allah karena bertambahnya ilmu agama mereka yang menjadikannya semakin jauh dari kejahilan dan mendekatkan kepada keridhaan Allah Subhanahu wata'ala .
Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang tafsir ayat ini :
Al imam ibnu jabir ath-Thobari rahimullah berkata: "Allah Subhanahu Wata'ala mengangkat kaum mukminin dari kalian wahai kaum dengan ketaatan mereka kepada Rabb mereka, maka (mereka taat) kepada apa yang di perintahkan kepada mereka untuk melapangkan (majlis) ketika mereka di perintahkan untuk melapangkannya , Atau mereka bangkit menuju kebaikan apabila di perintahkan mereka untuk bangkit kepadanya , Dan dengan keutamaan ilmu yang mereka miliki , Allah Subhanahu wata'ala mengangkat derajat orang-orang yang dari ahlul imam (kaum mukminin) di atas kaum mukminin yang tidak di beri ilmu , jika mereka mengamalkan apa yang mereka di perintahkan " Lalu beliau menukilkan beberapa perkataan ulama salaf. Diantaranya Qataddah rahimullah, beliau berkata :"sesungguhnya dengan ilmu pemiliknya memiliki keutamaan . Sesungguhnya dengan ilmu memiliki hak atas pemiliknya . dan hak ilmu terhadap kamu, wahai seorang alim adalah keutamaan . Dan Allah memberikan kepada setiap pemilik keutamaannya ."( Tafsir Ath Thabari juz 28 hal 19 )
Antara ilmu dan ibadah menurut ilmu juga merupakan jenis ibadah yang memiliki nilai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan jenis ibadah lainnya. Sebagaimana yang telah di sabdakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam :
فضل العلم خير من فضل العبادعة وملاك الدين الورع
Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah , dan kunci agama adalah bersikap wara' ( meninggalkan sesuatu yang di khawatirkan memudhorotkan di akhirat . ( di riwayatkan oleh al bazzar.abu nu'man .al-hakim dll. Dari hadist mudhoifah ibnul yaman. Juha diriwayatkan oleh ibnu abi syaibah dari qois bin ‘Amr al - muta'i, dishohihkan al-atbani dalam dhohih al - jami' no 4214 . Lihat pula shohih jami' bayan al- Umi wa fadhlihi no 27 )
Hadist ini menjelaskan demikian mulianya ilmu dan penuntutan ilmu. Ini disebabkan karena seseorang yang berilmu kemudian mengajarkan ilmunya. mendakwahkannya hingga Allah memberikan hidayah kepada orang lain dengan sebab dakwahnya, maka menjadi salah satu amal jariyah baginya selama ada yang mengamalkan ilmunya tersebut, maka dia akan terus mendapatkan pahala dari Allah SWT walaupun dia telah meninggal . Berbeda dengan orang yang mengerjakan shalat sunnah dan semisalnya. Tidak ada yang merasakan manfa'aatnya kecuali hanya dirinya sendiri .
Ishaq bin mansur rahimahullah berkata:" Aku bertanya pada al imam ahmad tentang perkataan nya : mudzakaroh ( mengulang-ulangi ) ilmu pada sebagian malam lebih aku senangi dari pada menghidupkannya ( dengan qiyamullail ) . Ilmu apakah yang dimaksud ? " Beliau menjawab: " Yaitu ilmu yang memberi manfaat yang memberi manfaat pada manusia dalam perkara agamanya, aku bertanya lagi : " Dalam hal ( cara ) berwudhu , shalat, haji. thalak dan semisalnya?" Beliau menjawab:" ya" ( shahih jami' al -bayan 30 -45)
Dan berkata pula Rabi' bin sulaimn al muradhi : al imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata
طلب العلم افضل من الصلاة النافلة
" Menuntut ilmu lebih utama dari pada shalat sunnnah." ( shahih jami' al bayan 31/48) . sufyan ats tsauri rahimahukkah berkata: " aku tidak mengetahui ada satu ibasah yang lebih afdhol dari pada seseorang yang mempelajari ilmu " ( Shohih jamo' al bayan 46/78)...............
Allah Subhanahu Wata'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya :
Hai orang-orng beriman apabila di katakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah kalian dalam majlis". Maka lapangkanlah untukmu . apabila dikatakan : berdirilah kamu " , maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah maha mengetahuai apa yang kamu kerjakan . ( QS. Al- Mujadalah : 11 )
Mengenal beberapa makna sebagai mufrodat
يرفع الله
"Allah meninggikan " maknanya Allah mengangkat , yaitu mengangkat kaum mu'minin di atas selain kaum dan mengangkat orang yang berilmu di atas orang yang tidak berilmu.
أوتوا العلم
" Orang-orang yang berilmu dalam ayat ini adalah ilmu syar'i, sebab dengan Nyalah seseorang akan mendapatkan keterangan dalam mengamalkan agamanya berdasarkan tuntutan Allah dan RosulNya.
درجات
"Beberapa derajat " . Al imam al qurtubi rohimahullah berkata : yaitu derajat di dalam agama ketika mereka melaksanakan apa yang di perintahkan.
Tafsir Ayat
Ayat Allah Subhanu Wata'ala yang mulia ini menjelaskan keutamaan para ahli ilmu dan orang -orang yang senantiasa menuntut ilmu agama . Di samping karena keimanan yang mereka miliki , mereka juga di angkat kedudukannya oleh Allah karena bertambahnya ilmu agama mereka yang menjadikannya semakin jauh dari kejahilan dan mendekatkan kepada keridhaan Allah Subhanahu wata'ala .
Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang tafsir ayat ini :
Al imam ibnu jabir ath-Thobari rahimullah berkata: "Allah Subhanahu Wata'ala mengangkat kaum mukminin dari kalian wahai kaum dengan ketaatan mereka kepada Rabb mereka, maka (mereka taat) kepada apa yang di perintahkan kepada mereka untuk melapangkan (majlis) ketika mereka di perintahkan untuk melapangkannya , Atau mereka bangkit menuju kebaikan apabila di perintahkan mereka untuk bangkit kepadanya , Dan dengan keutamaan ilmu yang mereka miliki , Allah Subhanahu wata'ala mengangkat derajat orang-orang yang dari ahlul imam (kaum mukminin) di atas kaum mukminin yang tidak di beri ilmu , jika mereka mengamalkan apa yang mereka di perintahkan " Lalu beliau menukilkan beberapa perkataan ulama salaf. Diantaranya Qataddah rahimullah, beliau berkata :"sesungguhnya dengan ilmu pemiliknya memiliki keutamaan . Sesungguhnya dengan ilmu memiliki hak atas pemiliknya . dan hak ilmu terhadap kamu, wahai seorang alim adalah keutamaan . Dan Allah memberikan kepada setiap pemilik keutamaannya ."( Tafsir Ath Thabari juz 28 hal 19 )
Antara ilmu dan ibadah menurut ilmu juga merupakan jenis ibadah yang memiliki nilai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan jenis ibadah lainnya. Sebagaimana yang telah di sabdakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam :
فضل العلم خير من فضل العبادعة وملاك الدين الورع
Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah , dan kunci agama adalah bersikap wara' ( meninggalkan sesuatu yang di khawatirkan memudhorotkan di akhirat . ( di riwayatkan oleh al bazzar.abu nu'man .al-hakim dll. Dari hadist mudhoifah ibnul yaman. Juha diriwayatkan oleh ibnu abi syaibah dari qois bin ‘Amr al - muta'i, dishohihkan al-atbani dalam dhohih al - jami' no 4214 . Lihat pula shohih jami' bayan al- Umi wa fadhlihi no 27 )
Hadist ini menjelaskan demikian mulianya ilmu dan penuntutan ilmu. Ini disebabkan karena seseorang yang berilmu kemudian mengajarkan ilmunya. mendakwahkannya hingga Allah memberikan hidayah kepada orang lain dengan sebab dakwahnya, maka menjadi salah satu amal jariyah baginya selama ada yang mengamalkan ilmunya tersebut, maka dia akan terus mendapatkan pahala dari Allah SWT walaupun dia telah meninggal . Berbeda dengan orang yang mengerjakan shalat sunnah dan semisalnya. Tidak ada yang merasakan manfa'aatnya kecuali hanya dirinya sendiri .
Ishaq bin mansur rahimahullah berkata:" Aku bertanya pada al imam ahmad tentang perkataan nya : mudzakaroh ( mengulang-ulangi ) ilmu pada sebagian malam lebih aku senangi dari pada menghidupkannya ( dengan qiyamullail ) . Ilmu apakah yang dimaksud ? " Beliau menjawab: " Yaitu ilmu yang memberi manfaat yang memberi manfaat pada manusia dalam perkara agamanya, aku bertanya lagi : " Dalam hal ( cara ) berwudhu , shalat, haji. thalak dan semisalnya?" Beliau menjawab:" ya" ( shahih jami' al -bayan 30 -45)
Dan berkata pula Rabi' bin sulaimn al muradhi : al imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata
طلب العلم افضل من الصلاة النافلة
" Menuntut ilmu lebih utama dari pada shalat sunnnah." ( shahih jami' al bayan 31/48) . sufyan ats tsauri rahimahukkah berkata: " aku tidak mengetahui ada satu ibasah yang lebih afdhol dari pada seseorang yang mempelajari ilmu " ( Shohih jamo' al bayan 46/78)...............
Langganan:
Postingan (Atom)